Author's Note: Bagian kali ini masih ngobrol-ngobrol. Wkwkwk. Semoga kalian suka ^^
******
Jalan-jalan sore di hutan selalu bisa menenangkan pikiran. Dedaunan mengeluarkan oksigen dan menyejukkan udara secara alami. Tidak pengap seperti dalam markas yang terkadang penghangatnya terlalu kencang.
Aku menendang kerikil sekadarnya. Batu kecil itu membentur akar-akar besar yang mencuat dari permukaan tanah. Kondisiku mirip si kerikil.
Terbentur dan terpaksa berhenti.
Aku harus menunggu tes berikutnya gara-gara gagal.
Haruskah?
Desahanku mengeluarkan asap putih.
"Huatsyuiii!"
Ah, iya juga. Scarlet masih mengikuti di belakang. Merepotkan saja. Sekilas kulihat dia mengusap-usap kedua lengan sambil menggigil. Saat mata kami bertemu, aku segera mengembalikan tatapan ke rangkaian pepohonan pinus di sekitar sambil tetap melanjutkan langkah.
"Kaubilang, kau sering ke sini?" Suara Scarlet bergetar, diiringi desis kedinginan. Payah juga. Enam belas derajat seharusnya masih terhitung sejuk.
"Dulu kau tinggal di mana?" tanyaku.
"Dulu?"
"Sebelum markas."
"Ah, salah satu negara di Asia Tenggara," jawab Scarlet, yang entah kenapa tidak dijelaskan detail berikut nama negaranya. "Jangan bilang kalau kau tidak tahu Asia Tenggara itu apa," tambahnya.
"Oi!" Aku memicingkan mata menatap Scarlet. "Aku tidak seidiot itu!"
"Bihihi! Aku tidak pernah bilang begitu, lho~"
Cekikikannya tampak puas sekali. Seolah hal itu membuatnya bertenaga, Scarlet melepas pelukan pada kedua lengan, lalu memindahkan genggaman ke tali perangkat Drive yang tersangkut di bahu seperti ransel. Postur tubuhnya berubah tegap. Dia melangkah melewatiku—yang bergeming kehilangan kata-kata—sambil bersenandung.
Aku ingin melontarkan satu-dua patah kata balasan, tapi rasanya mustahil bisa mendiamkan cewek macam Scarlet.
Sialan!
Aku sudah tahu, tak seharusnya kubiarkan dia mengikuti.
Kutundukkan kepala mencari-cari ide. Dari tanah, pandanganku mengedar ke deretan pohon di sebelah kiri, lalu kembali ke Scarlet yang memunggungiku di empat pohon sebelah kanannya. Heh!
Aku ambil saja rute kiri ini. Hutan kan cabangnya tak terhitung, tidak ada jalan tetap. Ketika Scarlet tidak melihat, aku berjinjit cepat-cepat ke sana. Rerumputan lebih lebat menimbulkan gemerisik. Aku menoleh ke belakang. Scarlet tidak ada. Heheh!
Setelah rasanya sudah cukup jauh, aku memelankan laju, kemudian menghirup oksigen segar dengan lebih bebas. Rasanya seperti ada beban yang terlepas. Kicauan burung juga terdengar lebih jelas. Ketenangan dan keheningan inilah yang kuincar di luar markas.
"Sudah selesai buang air kecilnya?"
"Huaaaahahah!" Aku mundur dengan langkah tak seimbang sampai membentur pohon. "Scarlet?!" Pelan-pelan, kuhirup napas lagi sambil memegang dada. Gila! Jantungku hampir saja copot. "Kok, kau bisa ada di sini?"
"Hmm? Aku cuma mengikutimu."
"Mengikutiku?" Aku menunjuk jalan yang tadi kulewati. "Tapi kau tidak—"
"Ah, tentu saja dari sana." Scarlet mengacungkan jempol ke belakangnya, ke balik barisan pepohonan lain yang sepertinya tersambung ke jalur pilihan Scarlet tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Golden Catalyst [COMPLETED]
Science FictionGenre: Action, Romance (Minor), Fantasy, Soft Scifi. (Mengandung beberapa adegan kekerasan tapi tidak terlalu eksplisit.) [NASKAH SUDAH SELESAI DITULIS DAN AKAN TERBIT SECARA INDIE] Semenjak Katalis mengunjungi Bumi tahun 2001, teknologi dan penghij...