Trisno Merangkul Travolta, Wisnu Digandeng Syiwa
Pihak-pihak resmi di Daerah Istimewa Yogyakarta awal tahun 1980 sibuk menjajagi dan coba mematangkan kemungkinan pendirian suatu Youth Centre dalam rangka maksud yang 'kultural edukatif' atas kalangan generasi muda. Paralel dengan itu hendak ditempuh juga usaha penelitian yang akan mengidentifikasi daya apresiasi remaja terhadap bidang-bidang seni budaya dan olahraga - dua 'sektor' yang lazim menjadi isi kegiatan Gelanggang Remaja.
Seni budaya dipandang sebagai modus yang cukup dan efektif yang bisa memberikan pendekatan atau metodologi ke arah yang ingin dicapai oleh program pembinaan dan pengembangan generasi muda. DIY yang dalam hal ini 'merasa' tak meragukan lagi potensinya (Yogya adalah 'kota budaya') berusaha menjawab seberapa jauh kegairahan seni budaya itu telah merata tumbuh di kalangan anak-anak muda itu, sehingga diharapkan bisa mendorong potensi tersebut berkembang lebih maju. Pihak resmi yang saya sebut ini ingin dapat merumuskan metodologi pengembangannya, dan kebauran persepsi yang sampai kini masih terdapat atas kenyataan ini, meminta kepada hasil penelitian suatu perumusan yang lebih dan tegas.
Penelitian itu sendiri hendak dilaksanakan dalam dua tahapan. Kualitatif, kuantitatif, lantas pengujian kembali. Pada fase pra-observasi akan ditempuh juga semacam eksperimen misalnya dengan menyelenggarakan pentas gado-gado: fashion show campur poetry reading dan body building, kemudian pantomim campur seni sulap, ndangdut campur tari balet dan lain-lain. Diduga ini dalam rangka meraba gambaran awal identifikasi di atas.
Usaha-usaha tersebut dilatarbelakangi oleh semacam kecemasan budaya atas gejala-gejala yang makin tajam pada pertumbuhan kehidupan generasi muda. Secara makro kegelisahan itu bisa dilihat pada keseluruhan sosok kultural anak-anak muda sekarang: orientasi mereka, pilihan selera mereka, segala yang lazim disebut 'kenakalan remaja', plus berbagai dugaan adanya krisis, umpamanya krisis idealisme, nasionalisme, atau krisis identitas. Sedangkan secara makro bisa dilihat misalnya dahsyatnya demam disko di Yogya dewasa ini: idola Trisno pemuda mBantul itu adalah John Travolta. Semangat ngebut yang tak habis-habis juga meskipun sudah disediakan sekian sarana penyaluran. Kegemaran pada 'novel-novel yang dianggap picisan dan tak memenuhi persyaratan kultur edukatif. Atau (menirukan keluhan-keluhan dari pihak-pihak resmi yang saya sebut itu): "Kalau ada acara di gedung pertunjukan, begitu ada gamelan berbunyi anak-anak itu cenderung gelisah, kalau tidak berteriak dan menyuruh turun, padahal begitu pemain band menyetel-nyetel gitarnya saja mereka sudah mengaplaus ..........."
Maka, "demi pendidikan dan penanaman jiwa nasionalisme, maka film November 1828 dimenangkan dalam FFI di Palembang, tetapi kenapa anak-anak muda kurang menyukainya, misalnya di Yogya saja film itu hanya bertahan tiga hari ...."
Yogyakarta kini bagaikan sedang 'sentimental' dan murung. Justru karena kebanggaannya yang begitu besar akan identitas dirinya yang termasyhur sebagai kota budaya, sebagai pusat kebudayaan Jawa yang adiluhung demikian mengakar. Tetapi, putra-putrinya kini mulai banyak yang berduyun-duyun meninggalkan warisan leluhurnya itu untuk berlari menyongsong Olivia Newton John dan mengusap keringat Suzi Quatro. Dus sekarang ini yang berkecamuk dibenak sang Yogya ialah seputar bagaimana dilangsungkan 'pelestarian kebudayaan', bagaimana mengusahakan ketahanan nasional dalam bidang kebudayaan yang mampu membentengi diri dari infiltrasi nilai-nilai budaya asing. Pihak-pihak resmi tersebut berprinsip pada Pedoman Wawasan Nusantara: bagaimana kebinekaan yang berupa puncak-puncak kebudayaan daerah (barangkali diilhami oleh konsep Koentjaraningrat) bisa menemukan kesatuan sikap - salah satu sosok keikaan kata mereka - dalam rangka ketahanan nasional tersebut. Artinya, bagaimana kebudayaan-kebudayaan daerah dilestarikan, tetapi tetap dalam komitmen nasional yang menseyogiakan persatuan dan kesatuan dari semuanya.
Dari wawasan pamong-pamong Yogya itu diperlihatkan kerangka permasalahan nasional kita, dalam 'bidang kebudayaan' begitu gamblang. Garis-garis konsepnya begitu tajam menggambarkan medan yang harus kita garap. Rasanya 'tanah liat' sudah kita genggam, tinggal lagi kesiapan kita untuk membikinnya menjadi keramik bentuk gajah atau burung. Tak ada kaitan-kaitan simpang siur benang persoalan yang ruwet.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cak Nun - Sebuah Kumpulan Tulisan
RandomSeperti yang tertulis pada covernya, "Jangan Berhenti Pada Kata Cinta, Alamilah Getarannya . . .", ini adalah sebuah getar-getar yang mencoba mengurai cinta tak hanya sekedar dari kata, melainkan dari pengalaman kehidupan yang meluas dan mendalam, r...