solicit

1.4K 130 25
                                    

"Kau indah, Yoongi."

Kesekian kalinya hari ini. Suaranya berbisik pelan manakala angin berhembus lamat, intonasi halus lantas mengalihkan atensi Yoongi padanya segera, juga dalam; penuh makna.

Siang itu, dimana terik matahari masih begitu menyilaukan ketika keduanya memilih keluar dari kukungan kamar. Mencari udara segar, katanya, melepas penat selain berguling dalam selimut dan laptop yang menyita waktu. Berakhir berdiam diri di atas bukit, tempat favorit ketika keduanya masih kecil.

Tidak berubah. Masih dengan bukit yang penampilkan pemandangan kota Seoul, dan dua anak adam yang juga tak berubahㅡah, tidak, ada yang berubah. Sedikit. Dalam opini Jimin.

Berubah ke arah yang lebih baik. Park Jimin tidak mengartikannya pada bukit yang makin rimbun akan rumput, bukan pula angin yang makin terasa menyejukkan karena bernostalgia menemani. Park Jimin juga tidak mengartikannya pada dirinya sendiri yang makin dewasa seiring waktu.

Ada yang berubah. Dan menurut pandangan Park Jimin, itu Min Yoongi.

Park Jimin mengenalnya sejak lama. Sangat lama. Hingga, jikalau dalam pandangannya Min Yoongi memiliki banyak perubahan, Jimin tau. Sekecil apapun.





Dan menurut Park Jimin, yaitu; indahnya.

Tidak. Park Jimin tidak mengatakan Yoongi dulunya tidaklah seindah ini. Park Jimin mengatakan; ia lebih indah lagi. Dan lagi. Lagi, seterusnya. Tanpa ujung.

Jimin sendiri tidak menyangkal bagaimana hari berganti, dan ada menit dimana ia akan mengatakan hal yang sama. Min Yoongi itu indah.

Dan sebenarnya, perubahan Yoongi juga membuat Jimin berubah;

Makin mendamba.

"Aku bicara tentang langitnya, Jimin." Yoongi berujar, berhasil membuat pemuda Park di sampingnya mengedip manakala ia berkelana dengan pikirannya sendiri.

"Iya, aku tau." Jimin mengangguk pelan, sebuah pengakuan bahwa ia memang mendengar apa yang diceritakan Yoongi dari awal. "Dan aku bicara tentang kaunya."

Yoongi mendengus geli, "Kau menyebalkan." Lalu, kepalanya kembali terdongak. Hanya untuk kembali melihat langit biruㅡlebih biru dan jernih dari biasanyaㅡyang ia katakan indah beberapa detik yang lalu.

Karena nyatanya, melanjutkan percakapan dengan Park Jimin itu melelahkan.

Jimin sendiri hanya memilih diam. Tidak kembali membuka percakapan kala pemuda itu memutuskan pandangan.




Pernah, saat itu, Min Yoongi pernah balik bertanya ketika ia lelah mendengar kata yang sama masuk pada telinganya, dan dari suara milik satu orang yang sama; Kenapa? Tanyanya.

Saat itu, jawabannya hanyalah Jimin yang diam membisu. Kenapa? Iya, kenapa? Jimin tidak tau. Bukan, bukan ia tidak tau kenapa Yoongi indah seperti yang ia katakan setiap hari (walau, nyatanya Jimin juga tidak tau, yang membuat Min Yoongi indah dari pandangannya itu, sebenarnya apa?) Tapi ia tidak tau, kata yang seperti apa yang harus mewakilkan indahnya Min Yoongi.

Karena, sesempurna apapun Jimin bisa merakit kalimat selama ini, tidak akan pernah bisa mewakilkan segala indah yang Yoongi miliki.

Maka, ketika hari itu ditutupi oleh decihan Yoongi, bertanda ia kesal juga penat, Jimin masih diam membisu.

Esoknya, dan terhitung hari ini, Jimin masih mencari tau; bagaimana ia harus merakit kalimat yang mewakilkan indahnya Yoongi di pandangannya.




Hidup Jimin setelah hari itu adalah mencari.

Tapi ia pencari yang gagal. Pencari yang mutlak tak menemukan. Pencari, yang harusnya ia tak harus menemukan, karena dari awal, apa yang ia tuju hanyalah dongengㅡtak nyata.


SOLICIT. / MINYOONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang