Bagian 12

22 7 0
                                    

Aku masuk ke messenger untuk melihat siapa yang mengirim pesan. Seperti dugaanku ....

Toru: who are you?
Aku: sorry, I didn't mean to send you a friend request

Pesanku hanya dibaca. "Hmm apa lebih baik aku tanya tentang Dave kepadanya?" gumamku. Aku stalk profilnya lagi. Ternyata dia se-sekolah dengan Dave dan banyak juga fotonya bersama Dave. Mungkin dia teman dekatnya.

Aku: are you Dave's friend?
Toru: do you know him?

Bagaimana menjelaskannya ya? Aku tidak begitu mengenalnya.

Aku: not really tho. I know him from Facebook 😂. But I have met him. I also attended to his concert
Toru: I see

Kulanjutkan chat dengan Toru lagi. Dia sekarang juga se-universitas dengan Dave. Tapi mereka beda fakultas. Toru mengambil program film production sedangkan Dave mengambil program piano. Dia juga mengatakan bahwa Dave adalah teman dekatnya. Ah... Ada untungnya juga ponselku lag tadi.

Esoknya aku bangun kesiangan. Tadi aku baru bisa tidur di jam 1 dini hari. Mataku masih perih. Rasanya hari ini aku tidak mood untuk pergi ke minimarket. Aku ingin memainkan piano itu lagi.

Yuko mengetuk pintu kamarku, "Rin? Sudah bangun belum?".
"Sudah ma", dengan malas aku membuka pintu.
"Tumben bangun siang, nak. Begadang ya?"
Konsentrasi ku belum pulih sehingga dengan tak acuhnya aku mengabaikan Yuko dan langsung menuju ke meja makan.

Sesudah sarapan aku memaksakan diri untuk mandi dan segera pergi ke minimarket. Sampai di minimarket sudah pukul 9. Tapi bukannya fokus, aku malah sibuk mencari artikel tentang piano. Hari ini memang aku tidak mood untuk menjadi kasir. Di pikiranku hanya ada piano.
"Rin, dari tadi kamu main hp terus," tegur Diah.
Aku tak menghiraukan nya. Banyak juga yang harus ku pelajari. Aku tetap fokus ke artikel-artikel tersebut. Semenjak hari ini juga aku hanya di minimarket sampai pukul 5 sore.

Setiap harinya aku semakin rajin memainkan piano dan mencari tahu segalanya yang berkaitan dengan piano. Ryuji sangat kagum dengan antusias ku. Bahkan saat Diah memberitahu Ryuji bahwa aku tidak fokus saat menjadi kasir, Ryuji pun tidak marah. Dia benar-benar mendukungku.

Hari Sabtu pun tiba, kini Ayu yang menemaniku. "Kamu beneran pengen jadi pianis, Rin?" tanya Ayu.
"Doakan saja. Setiap hari aku belajar piano kok"
"Hmm cuma gara-gara Dave itu kamu bisa jadi gini ya"
"Haha setidaknya ini bermanfaat. Lagipula ini bukan sepenuhnya hanya karena Dave"

Aku memperhatikan ke arah pintu masuk minimarket. Seorang cowok yang mirip dengan Toru masuk ke minimarket ini. "Yu, kayaknya itu kenalanku deh"
"Kenalan?"
"Iya. Temennya Dave"
Ayu menggelengkan kepalanya, "haduh... Dave lagi".

Cowok itu mengambil beberapa snack dan membawanya ke kasir. Semakin dekat, semakin yakin bahwa dia adalah Toru. Dia juga menatapku seperti pernah mengenal ku. Belum sempat aku membuka mulutku, dia bertanya duluan, "Rina? You work here?"
"Ah... you recognize me?"
"Well I have seen your pictures but you look prettier here. It's really great to meet you", Toru terdengar sangat semangat.
Aku tertawa mendengarnya, "do you live near here?"
"Yes. Dave's house is near here too, if you want to visit him haha".
"Yeah you should take me there!" candaku.
"Sure. Uh... I don't want to say goodbye but I have to go".
"Haha. See you later, Toru".

Toru melambaikan tangannya dan keluar minimarket.

Aku agak terkejut dengan sikap Toru yang sangat ceria. Padahal di Facebook selalu diriku yang memulai chat dan mencari topik pembicaraan.

"Baru sebentar di sini dah punya kenalan banyak ya", ucap Ayu. Haha. Padahal yang aku kenal hanya Ayu, Dave, dan Toru. Aku malah belum sempat untuk mengenal tetangga-tetanggaku. Atau mungkin aku memang tidak ada niat untuk mengenal mereka.

Waktu sudah menunjukkan pukul 5. Aku langsung pulang dan meneruskan latihan piano ku. Not balok sudah bisa kubaca dengan lancar. Bukan memuji diri, tapi otakku benar-benar cepat menangkap semua hal yang diajarkan Ryuji kepadaku. Kemarin-kemarin aku juga sudah memainkan beberapa lagu pop yang mudah. "Yah, untuk latihan kali ini aku pengen coba musik klasik, boleh?" pintaku. "Baiklah. Ini ada yang cukup simpel", ucap Ryuji seraya memberikanku sheet music Bach - Minuet in G Major.

Aku mulai mengamati sheet itu. Jari-jari ku kuletakkan di tuts piano dan mulai memainkannya. Di piece ini tidak banyak menggunakan tuts hitam. Musiknya sangat menyenangkan dan mudah. Aku dapat memainkan nya tanpa ada kesalahan. "Kalau aku bisa belajar secepat ini mungkin aku bisa dengan segera memainkan piece favoritku", batinku.

Ryuji memberikan tepuk tangan, "kamu belajar dengan sangat cepat ya, Rin."
"Yang ini mudah yah"
"Piece yang pengen kamu pelajari selanjutnya apa?" akhirnya Ryuji menanyakan itu.
"Kalau piano concerto 2 nya Rachmaninoff gimana yah?"
Ryuji tampak terkejut dengan jawabanku, "kamu mau main itu? Kalau yang itu agak sulit Rin. Mungkin bisa berbulan-bulan. Kamu kan masih pemula. Apa gak lebih baik piece yang lain dulu?".

Ryuji benar, namun aku sangat menginginkan untuk memainkan piece itu, "tapi kalau besok aku coba gak apa-apa kan yah?"
"Hmm oke lah. Lagipula kamu juga sudah lancar membaca notasi kok".
Aku ingin berteriak saking senangnya, "Wah... makasih. Tenang saja, yah. Besok pasti aku lebih semangat kalau memainkan piece itu".

Tak terasa sudah hampir 2 minggu aku tinggal di sini. Aku terlalu asyik dengan kehidupan ku di sini sehingga lama tidak menelepon orangtua kandungku. Malam ini aku memilih untuk tidak makan malam dan langsung menuju kamar.

Kuambil ponselku dan kutelpon mamaku. Mama langsung mengangkatnya, "halo Rin! Mama kangen banget. Apa kabar kamu di sana?". Air mataku keluar, aku sangat senang bisa mendengar suara yang sudah lama tak kudengar, "kabar baik ma. Maafin aku kalau aku gak telpon mama... Aku juga kangen mama".

Aku bercerita banyak tentang kehidupan ku di sini. Tapi belum selesai aku bertelepon dengan mama, Yuko masuk ke kamarku membawakan sepiring kukis dan segelas susu, "Rin... Kamu telepon sama siapa?". Ia lalu duduk di sampingku, "Ini mama buatin spesial untukmu. Cobain dulu. Kamu belum makan malam kan? Nanti aja teleponnya".

Yuko terus saja mengajakku berbicara. Aku heran dengannya. Apa dia tidak tau kalau aku sedang bertelepon dengan mamaku yang sudah lama tak kutemui. Tapi jelas-jelas aku bertelepon di hadapannya. "Maaf Tan, aku sedang bicara dengan mamaku. Nanti saja kalau mau ngobrol," aku berusaha sesopan mungkin dalam perkataan ku terhadap Yuko meskipun aku terlalu kesal dengannya.

Tiba-tiba Yuko menarik tanganku yang sedang menggenggam ponsel, "kamu masih rindu sama mama mu? Aku kan ada di sini. Aku sekarang mama mu, Rin". Aku terkejut. Apa maksudnya Yuko berbuat seperti ini. Aku tak menghiraukan nya dan melanjutkan berbicara dengan mama. Tapi mama malah menyuruh ku untuk menyudahi telepon dan segera menanggapi Yuko. Aku menurut saja dengan perintah mamaku.

Kutatap Yuko yang tersenyum kepadaku. "Sudah selesai telponnya? Ini cobain dulu kukisnya". Aku mengambil kukis itu. Rasanya memang enak meskipun agak asin karena air mataku yang terus keluar. Sepertinya Yuko tak menyadari diriku yang menangis karena lampu kamarku yang tidak kuhidupkan.

Aku hanya diam tak bicara sama sekali. Lantas Yuko menggenggam kedua telapak tanganku, "besok mau gak mama ajak shopping? Besok mama beliin baju yang bagus-bagus buat kamu". Aku masih terdiam. "Mama mu yang di sana gak pernah ngajak kamu kayak gini kan? Makanya besok kamu ikut mama ya", lanjutnya. Sudah cukup. Ini sudah keterlaluan. Aku tentu marah mendengarnya tapi aku tetap tak menanggapinya.

Yuko memelukku, "ya sudah. Istirahat dulu ya nak. Besok kita belanja bareng ya". Ia mengecup keningku dan meninggalkan ku sendiri di kamar. Aku membaringkan tubuhku. Rasanya ganjil dengan sikap mama yang selalu menyuruhku untuk menutup telepon jika mama mendengar suara Yuko. Jelas aku heran. Terlebih lagi dengan anehnya sikap Yuko setiap kali aku menelpon mamaku.

A Tribute For You (Hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang