Bapak selayaknya memang sudah tak lagi bekerja berat. Rindi dan Rizal, harusnya sudah bisa meringankan beban di pundaknya. Di tanah rantau, di penjuru yang berbeda, kedua anaknya masih berjuang.Jakarta, menjadi pilihan anak gadisnya membulatkan tekad hanya untuk berbakti. Sayang, ketika kekuatan masih mampu menopang tubuh, justeru semua pintu seolah terkunci rapat. Tidak ada sedikitpun celah bagi Rindi untuk sekadar menyusupkan tubuhnya yang ramping.
Yang lebih sakit, ketika pintu menganga. Kehormatan yang paling berharga harus dipertaruhkan. Rindi mengepal-ngepalkan tinjunya. Marah. Gadis itu melangkah ke daun pintu, menuruni anak tangga, berjalan sejauh-jauhnya kaki melangkah.
Langit Jakarta masih menyisakan harapan untuknya. Ketika pintu-pintu di hadapannya tertutup, ia yakin ada pintu lain yang siap menyambut kehadirannya.Gadis itu terus berjalan, memandangi langit yang terbentang biru. Berusaha sekuat hati tidak menoleh kebelakang. Apapun boleh menghalau langkahnya dengan cara bermacam-macam, tapi dia bertekad tidak akan menyerah kalah. Dia merasa sudah hampir menemukan jalan.
Berpuluh-puluh meter sudah Rindi mengayunkan langkah, dia berdiri di persimpangan jalan. Memandangi lalu-lalang kendaraan, gamang.
Terik matahari tepat di atas kepala, seolah menampar kedua belah pipi halusnya.
Seorang pengendara motor memanggil namanya. Beberapa meter menyingkir, kembali ia menyebut nama gadis itu.
Mata rindi menyipit, mengamati wajah seseorang di balik helm yang hanya memperlihatkan kedua mata. Rindi mengenali, seseorang yang belakangan ini begitu baik padanya. Pelan, kendaraan itu mundur teratur.
“Denis?”
Lelaki yang kini tepat berada di hadapannya memandang serius. Ada tanda tanya mengental dalam dadanya. Seolah mengerti keadaan Rindi sedang dalam kekalutan. Disunggingkannya senyum tipis. Mempersilakan gadis itu ikut pulang bersamanya.
“Kemarin malam aku ke tempatmu. Kamu enggak ada,” suara lelaki itu berhembus bersama angin yang menyelubungi laju kendaraan. Meski agak kurang jelas, Rindi mengerti apa yang dimaksud.
Haruskah Rindi berterus terang?
Tetapi hatinya keras menolak. Meski Denis bukan siapa-siapa, selain sebatas teman. Namun gadis itu merasa jujur dengan semua ini akan membuat dirinya terhina. Lalu apa yang harus dikatakan? Sejak kecil dirinya selalu diajarkan untuk bersikap jujur. Bahkan ketika langkah terakhir kali Bapak melepas kepergiannya, pesan itu kembali digaungkan.
Baiknya diam. Bukankah Denis pun tidak bertanya kemana dirinya saat lelaki itu datang. Rindi enggan menyela. Meski dalam hatinya begitu banyak cerita yang tumpang tindih.
Denis memaklumi, mungkin ucapannya tidak didengar jelas karena hembusan angin yang menerbangkan. Ia tak mengulang kalimatnya dan lebih memilih mempercepat laju kendaraan.
Rumah kos yang yang ditempati keduanya sudah di depan mata. Setelah memarkir sepeda motornya, mereka menaiki anak tangga.
Seperti sudah mengerti, tanpa diperintah Rindi mengambil sebuah amplop besar berwarna cokelat dan menyerahkannya pada Denis. Lelaki itu memeriksa kembali berkas lamaran itu. Menulis nama sebuah perusahaan pada kolom kosong di sudut kanan atas.
“Oke, Rin. Mudah-mudahan kali ini ada kesempatan, ya.”
Rindi tersenyum tipis, mengaminkan kalimat Denis.
“Lagi sedih ya, Rin?” Denis menyadari keadaan yang tak biasa dari wanita dihadapannya.
Rindi mengangguk pendek.“Karena belum juga mendapat pekerjaan?”
Rindi hanya diam. Merenung.
Denis menyesali pertanyaannya. Jika bisa, ingin sekali ia menarik kembali kata-katanya.Lelaki yang masih berseragam kerja itu bukan tidak tau, sepanjang malam ia menunggu Rindi pulang. Setiap mendengar jejak kaki menaiki anak tangga, buru-buru ia mengintip dari jendela kamarnya. Lagi-lagi ia harus menelan kekecewaan, sebab yang datang bukan orang yang dimaksud.
Baru ketika menjelang adzan subuh berkumandang, ia melihat Rindi berjalan gontai dengan pakaian yang tak biasa. Meski cahaya tidak terlalu terang, Denis bisa melihat wajah Rindi diliputi kesedihan. Ia ingin sekali bertanya. Tapi takut melangkahi ruang privasi Rindi.
Denis begitu menaruh perhatian besar pada gadis bermata bening itu. Namun ia bukan seperti lelaki kebanyakan. Mengutarakan perasaan yang sedang menggebu-gebu, lalu buru-buru ingin mendapat jawaban. Menjalani hubungan yang menuntut kebersamaan hari demi hari. Lalu berujung pada kejenuhan, dan jalinan kasih seumur jagung itu kandas di tengah jalan.
Bagi lelaki berambut ikal itu, sesuatu yang lahir dari hati, harus diperlakukan secara lembut. Penuh dengan kesabaran. Ia tak ingin hubungan yang diawali dengan nafsu yang menggebu-gebu, kemudian waktu cepat mengakhiri dengan keadaan dingin.
Suasana seketika hening. Keduanya tampak sibuk dengan dunia hayalnya masing-masing.
Rindi sangat menghargai kebaikan Denis hingga detik ini. Lelaki penuh kelembutan namun tetap tegas itu selalu berusaha ada di setiap kesulitan yang tengah dihadapinya. Seperti yang baru saja dilakukan, di tengah kesibukannya di tempat kerja. Ia menyempatkan diri datang mengambil surat lamaran Rindi. Gadis berwajah oval itu terkadang heran, mengapa yang lebih bersemangat adalah lelaki itu. Bukan dia.Ditatapnya wajah lelaki di hadapannya yang tengah termenung. Kehabisan kata-kata setelah beberapa pertanyaan tidak mendapat jawaban langsung. Hanya anggukan kecil dan senyuman yang disuguhkan. Kembali bayangan tentang pertama kali mengenal lelaki itu berkelebat di depan mata. Mengingatnya, Rindi tertawa keras sekali, sampai membuat Denis tersadar dari lamunannya dan menatap dengan penuh kebingungan.
“Rin, kok ketawa sendiri?” lelaki itu menatap heran dengan sepasang mata yang memicing.
“Enggak, Den. Inget sesuatu yang lucu.”“Oohh…” Denis diam, dalam hati tak mengerti kenapa Rindi malah tertawa.
Rindi bangkit. Mengayunkan kedua kakinya, dan berhenti di balkon.
“Den…”
Denis menoleh, lalu menyusul Rindi.
“Den?” ulang Rindi.
“Ya, Rin.”
“Kenapa sih kamu baik banget?”
Denis tergeragap. Agak gerogi dia menatap kedua mata gadis di hadapannya. Bahkan dirinya pun tak mampu menjawab pertanyaan Rindi barusan. Nalurinyalah yang menggerakkan hati untuk menolong.
“Kok, diem?” kejar Rindi.
“Bukankah kita memang harus baik pada sesama?” tak ada pilihan, Denis malah menangkis pertanyaan dengan kembali bertanya. Otak kiri Denis dengan cepat mengganti kalimat yang seharusnya dia katakan sebenenarnya.
Entah mengapa, aku selalu ingin membuatmu bahagia, Rin.
“Pada semua orang?”Seperti tidak puas, Rindi terus mengejar.
Denis menatap wajah Rindi lekat-lekat. Sorot mata gadis itu penuh harap menunggu sesuatu keluar dari mulut lelaki di hadapannya.
“Ya, pada semua orang.” Denis tersenyum tulus.
Kebersamaan yang semakin manis, setidaknya itulah yang Denis rasakan. Ia menyesali jam yang melingkar di pergelangan tangan harus menunjuk angka 11.50 WIB. Ia harus kembali bekerja, setelah sejam meluangkan waktu istirahatnya untuk Rindi.
***
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
Seberkas Kasih Rindiani (TAMAT)
Подростковая литератураSinopsis: Meski kuat hatinya menolak, Rindiani terpaksa harus menjalani profesi sebagai pemandu lagu pada sebuah tempat hiburan malam di Jakarta. Nasib mengantarkannya bergumul di dunia baru yang nyaris merenggut kehormatannya. Sekuat hati ia mempe...