Aku melihat kedua kakiku. Menggerakkan jemari kaki kanan sebelum menapakkannya ke tanah lalu berjalan keluar dari gedung tua tak berpenghuni. Aku menutup mataku tepat ketika kakiku berdiri di trotoar depan rumah, menghirup dalam udara kota yang berpolusi, kemudian tersenyum. Entah mengapa udara kotor khas perkotaan kini menjadi favoritku.
Aku berjalan menyusuri trotoar itu. Beberapa mobil melintas cepat disampingku. Tak peduli ada seorang lelaki aneh yang sedang mengagumi tubuh barunya.
Ya, ini tubuh baru yang akhirnya kupadatkan setelah sekian lama aku berjuang keras untuk mendapatkannya. Tubuh ini bagus. Aku rasa sempurna. Kaki dengan lima jari, tangan yang hangat dengan lima jari juga. Dan, hmm.. tubuh ini cukup berotot. Kurasa memang benar sempurna. Oh iya, satu lagi.
"A.. a.. hmm.. aaaa iiii uuuuu tes tes satu dua tiga. Hmm.. hihihi" aku segera menutup mulut. Tertawa dengan mulut yang tertutup sambil melompat-lompat.. suaraku betul-betul indah.. suara berat persis seperti yang kuharapkan.
Kurasa kutukan itu tak berguna bagiku. Maksudku, penyihir yang mengubahku berkata bahwa akan ada kecacatan dalam diriku jika aku berubah menjadi manusia, seperti Ariel yang harus merelakan suara indahnya demi sepasang kaki. Tapi, tak ada yang kurang dari tubuhku, bahkan suarakupun indah.
Aku merasa sempurna. Setidaknya, sampai seorang perempuan yang berjalan berlawanan arah denganku kaget melihatku. Matanya terbelalak, aku bisa melihat mulutnya yang menganga lebar dibalik tangan yang menutup. Aku pikir, dia terpesona dengan ketampananku hingga akhirnya dia berteriak!!
"Kamu tidak apa apa?" Tanyaku hendak membantu. Tapi, bahkan belum selesai aku berucap, teriakannya semakin kencang, kemudian ia lari terbirit-birit menjauh dariku.
Ada apa denganku? Apa aku buruk rupa?? Atau wajahku masih berbentuk rusa??
Aku menutup wajah sambil terus menyusuri jalan trotoar dengan cepat.
Aku harus cepat sampai ke alamat itu. Alamat rumah yang diberi si penyihir untuk aku tinggal. Dia bilang
"Ini alamat rumahnya. Kau harus ingat! Namanya Johanes rumahnya berpagar, catnya putih keseluruhan hingga ke atap. Tamannya depannya luas, rerumputan yang hijau dan pohon sakura yang selalu berbunga. Disana tempat yang aman bagimu. Sampai disana, kau harus memencet tombol yang ada di dinding pagar, namanya bel. Dan, oh iya jangan sampai ada orang yang mengetahui dirimu sebelum kau sampai disana" aku bahkan masih ingat suara serak bergetar tapi tegas milik si penyihir saat itu.
Aku membuka kertas pemberian penyihir yang sedari tadi ada di kantung jaketku. Hari semakin gelap, aku harus sampai sebelum matahari tenggelam.
Entah bagaimana caranya, aku hanya mengikuti kakiku yang melangkah, kini rumah serba putih itu terlihat dihadapanku.
Pagarnya putih, cukup tinggi, tapi aku tetap bisa melihat ke dalamnya. Rumah yang betul betul putih hingga atap dan jendelanya pun putih. Bahkan kursi taman dan meja kecil disampingnya juga putih.
Rumputnya yang hijau tertutup putihnya salju. dan yang paling penting, pohon sakura yang berbunga. Hari ini pertengahan musim dingin. Hari kesekian salju turun. Ah, tidak.. hari ini untuk pertama kalinya salju turun, Bagi tubuhku.Aku memencet tombol putih kotak yang ada di dinding pagar. Tiba-tiba terdengar suara entah dari mana.
"Siapa?" Suara berat itu, pasti Johanes.
Aku berputar-putar mencari sumber suara. Tapi nihil. Tak ada orang.
"Ini benar rumah Johanes?" Tanyaku dengan mata yang masih menilik sekitar.
"Aku bertanya siapa kamu nak. Bukan memintamu untuk bertanya siapa aku. Dan, jangan mencari aku karena sumber suara itu ada di bel. Ya, betul aku pemilik rumah ini. Johanes. Eh tunggu, kau.. aahhh... Betul.. kau pasti syrus.. Maaf telat mengenalimu nak. Sebentar, aku akan membuka pintunya" ucapnya panjang lebar. Darimana dia tahu aku? Padahal melihatnya saja aku tak bisa. Siapa dia? Tuhan yang tak terlihat?
Belom selesai aku berpikir, suara pagar yang terbuka mengagetkanku.
"Hai nak. Aku Johanes. Ayo masuk, sebentar lagi matahari terbenam. Kau harus di dalam rumah." Ucap seorang lelaki bertubuh tinggin dan cukup besar. Ia memakai kemeja dan celana bahan berwarna putih. Rambutnya tak sampai 3 cm dan beruban. Tapi, kulitnya gelap kecoklatan dengan garis wajah tegas tapi bersahabat.
Aku mengikutinya ke dalam rumah tanpa mengatakan apapun lagi.
Ketika si penyihir berkata bahwa rumahnya berwarna putih, ia bersungguh-sungguh akan hal itu. Segala yang ada di sini benar-benar putih. Permadani nya, sofa nya, bahkan televisi dan lemarinya pun berwarna putih. Satu hal yang tidak putih dari rumah ini hanyalah sebuah foto yang bersandar diatas meja laci di samping televisi. Foto Johanes bersama seseorang yang.. entahlah sulit untuk menjelaskannya. Aku bahkan tak tahu dia lelaki atau perempuan.
"Ini kamarmu nak" ucapnya sambil mendorong pintu putih. Membiarkanku terperangah melihat kedalamnya.
Ah, satu lagi yang tidak putih dari rumah ini adalah kamarku. Aku tersenyum lebar. Kamar ini benar-benar seperti pemikiran ku dulu. Kamar yang cukup luas, dengan kamar mandi di dalamnya. Dinding yang kehijauan dan pohon disamping kasur. Ini benar-benar mimpiku dulu. Betapa tidak beruntungnya Ariel saat itu.
"Nah, silakan mandi dan ganti bajumu nak. Setelah itu datanglah ke ruang depan. Ada yang harus kubicarakan denganmu." Ucap Johanes memecah lamunanku.
"Ya" jawabku singkat lalu masuk ke kamar.
Aku menuju kamar mandi. Akhirnya.. setelah 8 tahun lamanya aku hidup sebagai rusa, kini.. untuk pertama kalinya, setelah 5 tahun aku menunggu untuk bisa mandi seperti manusia, akhirnya aku bisa mandi..
Aku melepas seluruh pakaianku. Merendamkan diri pada bath up yang sudah terisi air hangat.
"Aahh... Segarnya.."
"Di luar tadi dingin sekali. Biasanya kami bersatu untuk menghangatkan diri. Tapi, bath up ini cukup untukku menghangatkan diri."
Ah ya, aku lupa menjelaskan ke kalian. Aku lahir sebagai seekor rusa yang dimanja. Seingatku, dulu aku mempunyai seorang majikan. Aku lupa siapa namanya. Dia yang membiarkanku tidur di kamarnya. Memandikanku yang dulu masih kecil. Tapi, saat umurku 3 tahun, ia membuangku ke sebuah kebun binatang. Aku tak tahu mengapa, aku kesepian, sedih berkepanjangan. Walau akhirnya, aku bisa beradaptasi dan bergabung dengan yang lainnya.
Kenapa aku ingin jadi manusia? Entahlah. Hasrat itu muncul begitu saja sejak aku umur 3 tahun. Aku hanya penasaran bagaimana rasanya menjadi manusia. Dan ternyata cukup menyenangkan.
Selesai mandi, aku mencuci muka di wastafel. Setelah membilas, aku menatap wajahku di cermin.
Aku kaget! Mulutku terbuka lebar tapi tak mengeluarkan suara apapun. Mataku.. mataku..
Ah.. kini aku sadar mengapa wanita tadi ketakutan melihatku. Juga bagaimana bisa Johanes langsung mengetahui ku. Mataku, memang berbeda. Aku.. tak sempurna.
Aku menarik napas panjang. Yah, siluman sepertiku jika terlalu sempurna bukannya lebih aneh?
Aku mengeringkan wajah sambil terus menatap diriku di cermin.
Yah.. setidaknya bagian tubuhku yang lain sangat indah. Hihii..
***
SYRUS
Aku baru sadar beberapa saat kemudian kalau tandukku akan tumbuh saat matahari terbenam.
KAMU SEDANG MEMBACA
syrus
Randomjika kalian berfikir menjadi siluman itu hal yang mudah, kalian salah total. seperti Ariel yang merelakan suara indahnya agar bisa memiliki kaki, aku juga merelakan sesuatu agar bisa menjadi manusia. aku Syrus. dan aku siluman rusa