Ranu tengah terduduk di kursi goyang yang ada di beranda rumahnya. Angin berhembus pelan mengelus pipi merahnya. Rambut coklat sepinggangnya mengayun akibat gerakan kursi. Secangkir teh hangat di meja putih bundar, menemani kehangatan cahaya jingga yang mengecup mesra langit.
Ia selalu menunggu saat-saat mentari terbenam di ujung barat. Burung-burung kembali dari peraduannya. Mengais beberapa makanan yang akan dipersembahkan untuk anaknya.
Anak-anak lelaki yang sedari siang bermain bola di tanah lapang, bergegas pergi tatkala seruan Tuhan menjelang. Tak peduli siapa yang menang, siapa yang kalah. Kala matahari terbenam dan panggilan-Nya diserukan, itu pertanda bagi mereka untuk kembali ke rumah.
Seketika Ranu terdorong pada sebuah kenangannya di masa lalu. Di pesisir pantai, paling ujung barat pulau Jawa, Ranu menikmati lembayung yang dipersembahkan alam kepadanya.
Pantai yang kala itu tak ramai oleh pengunjung seperti biasanya. Hanya ada beberapa orang saja; menikmati kelapa muda, menghabiskan waktu bersama keluarga, menyaksikan mentari memasuki batas edarnya.
Ranu memilih untuk menyaksikan sang surya mengubah warna langit biru yang telanjang tanpa gumpalan wol.
Bibir sang lelaki di sebelahnya mendekati telinga Ranu, "Aku adalah mentari yang terbenam di pelupuk matamu. Biarkanlah camar-camar itu, mengiring kepulanganku."
Ranu mematung. Pipinya kian merah setelah sang lelaki menyelesaikan bicaranya. Sebuah simpul tercipta di bibirnya. Suasana semakin hangat, angin laut yang saat itu terasa sangat dingin pun kalah saing.
Jiwanya serasa dibawa terbang menuju angkasa. Lalu diajak berdansa di atas hamparan awan yang membentang luas. Angin meniupkan dirinya pada nada-nada harmoni yang mengiri setiap gerakan dansa. Hanya berdua, tanpa ada yang melihat, mendengar, apalagi berani menganggu.
Wanita mana yang tak baper mendengar kalimat seromantis dan sepuitis itu. Kiranya, mungkin hanya wanita yang memakai earphone di telinganya lalu memutar lagu Rock dengan volume yang distel mencapai batas.
Ranu membenarkan rambutnya kemudian berkata, "Benamkanlah tubuhmu dalam dadaku. Isi tempat terdalam hatiku. Tinggallah dan menetap. Karena aku, adalah rumah."
Matahari merayap tenggelam tatkala dua insan muda berpelukan di ujung hari yang siap berganti menjadi malam.
Lamuyan Ranu buyar seketika. Ia tak sempat mengabadikan senja yang benar-benar elok hari itu. Pipinya terasa basah, matanya terasa kuyup. Secara tak terencana, Ranu menitikkan air mata. Masa-masa yang dulu begitu indah, kini sudah hilang di telan masa. Meninggalkan bekas yang sukar dihapus. Memaksa melupa adalah hal paling bodoh yang dilakukan manusia saat putus cinta. Jangan ajarkan hatimu untuk melupakan, ajarilah hatimu untuk mengikhlaskan. Dengan begitu takkan pernah ada sesal yang membekas, takkan pernah ada niat buruk memberi balas.
Seorang gadis keluar dari dalam rumah, mendekati Ranu yang masih tergoyang di kursi favoritnya. Langkahnya terhenti setelah dari kejauhan melihat seberkas cahaya lampu memantul di pipinya.
"Kak, masuk udah magrib," ucap si gadis memberitahu sebelum kemudian masuk lagi ke dalam rumah.
"Iyah, bentar," jawab Ranu seraya meneguk teh di sebelahnya.
Ranu melangkah masuk ke dalam rumah dengan kedua tangannya yang memegangi cangkir teh. Tak ada yang lebih hangat daripada senja, kecuali pelukmu, ucap batin Ranu. Dan seketika matanya kembali basah.
***
Catatan Ranu:
Sang Lelaki di Kedai KopiSang lelaki berambut gondrong masuk ke dalam kedai kopi. Duduk di seberang meja tempatku duduk. Tubuhnya menghadap ke arahku, dan sedikit terhalangi oleh salah satu temanku yang ada dihadapanku.
Dari rambutnya yang gondrong, jaketnya yang belel, dan sepatu Conversenya yang kotor seperti yang tak pernah dicuci, aku tahu sang lelaki adalah seorang mahasiswa jurusan teknik. Entah, aku tak tahu pastinya lelaki itu kuliah di jurusan teknik apa. Aku menebak begitu, karena memang rata-rata mahasiswa jurusan teknik berpenampilan seperti itu.
Aku terus memperhatikannya. Rupanya, sang lelaki memesan kopi V60—kopi yang berasal dari vietnam dan terasa sedikit asam. Secara kebetulan, kopi yang telah kupesan saat sampai di kedai ini adalah kopi V60. Kopi yang sama.
Jika ditanya, aku suka kopi apa, aku akan menjawabnya dengan mengutip perkataan Khetut R. Purnama, "Kopi apa yang kau suka? Aku suka kopi yang tak bercampur air mata petani."
Bukan rahasia lagi, bumi pertiwi ini punya kopi terbaik dan termahal di dunia—kopi luwak (bukan kopi sobek yang harganya begitu murah). Tapi mengenai kesejahteraan para petani kopi, apa kita mengetahuinya?
Sebungkus rokok lelaki itu keluarkan dari dalam saku celananya, tak lupa juga beserta zippo-nya. Ia ambil sebatang, lalu menyesapnya perlahan. Rokok dan kopi adalah satu kesatuan di mata para lelaki.
Sang lelaki merasakan bahwa aku sedari tadi memperhatikannya, dengan tanpa aba-aba ia menoleh padaku lalu memberikan senyumnya. Aku kikuk bukan main, aku malu karena ketahuan memperhatikannya. Kemudian sang lelaki keluar dari kedai kopi, entah pergi ke mana.
Jika dengan satu buah senyum bibirmu saja, aku sudah bisa merasakan rasa itu. Bagaimana dengan seribu senyum, Tuan?
*
Ranu menutup kembali buku bersampul birunya yang sudah hampir tiga bulan tak pernah ia jamah apalagi mencoret-coret lembarannya. Ranu masih ingat betul satu tahun lalu, kali pertama ia betemu dengan sang lelaki.
Masa lalu bukanlah hal yang harus dilupakan, walau terkadang tersisihkan. Tak perlu berangan-angan dapat mengulang masa lalu, mau seindah apapun itu, masa lalu tetaplah masa lalu yang tak bisa diulang apalagi kita ubah.
Berterima kasihlah pada masa lalu, kita yang ada di saat ini adalah hasil dari kita di masa lalu. Begitu banyak pelajaran kehidupan yang tak bisa kita dapatkan dari bangku kuliah.
Guru paling baik adalah pengalaman; kenangan adalah salah satunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ranu Biru
General FictionRanu Biru. Kata "Ranu" diambil dari bahasa Jawa yang berarti air dan "Biru" yang diambil dari birunya lautan. Ya, Ranu dilahirkan di atas sebuah kapal feri, di atas selat Sunda.