Bulan berlalu, aku menyadari. Sejauh apa pun aku berlayar, pelabuhan yang kutuju tetaplah kamu. Pelabuhan ternyaman yang pernah aku datangi. Pelabuhan ternyaman yang pernah membiarkan kapalku singgah sejenak.
Namun, waktu memaksaku untuk pergi. Menjauhi pelabuhan terbaik itu. Meninggalkannya dengan sisa sisa kepingan. Luka, duka, air mata, semuanya tertinggal.
Hingga suatu saat aku kembali pada pelabuhan tersebut, suasananya berubah. Susah, tak seperti dulu. Semuanya ... rumit. Berkontradiksi dengan keadaan dahulu. Asing. Aku yang tidak mengenali pelabuhan tersebut lagi, atau pelabuhan tersebut yang menutup pintu gerbangnya untukku?
Tuan, sebelumnya, kita hanya dua orang yang saling menerka tanpa berani bertanya. Saling berspekulasi tanpa berani memastikan. Saling menyimpulkan tanpa mau berdiskusi.
Namun sekarang, saat aku mencoba singgah lagi di pelabuhan tersebut, aku sadar. Ia tak pernah berubah. Itu hanya praduga tanpa dasar yang jelas.
Tuan, kamu masih sama seperti kamu yang dulu. Kamu yang pernah mengisi hari hari saya. Kamu yang membiarkan saya terlelap nyaman dalam pengawasanmu.
Untuk kesekian kalinya, Tuan, saya jatuh kembali. Pada orang yang sama, berkali-kali, lagi, tanpa pernah mau berhenti.
Siriusmu,
Kragan, 8 Maret 2017.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bittersweet Memories
PoetryIni bukan sajak, bukan juga cerita. Hanya sebagai sampah untuk menampung apa yang ingin kubuang.