Datang untuk Pergi

33 3 0
                                    

Karya : @diiinape

Yang datang tak selalu bertahan. Ada kalanya hal tersebut harus pergi. Itulah kehidupan, kau harus terbiasa dengan siklusnya.

Aku mendengus geli membaca sebuah kutipan dari salah satu akun instagram yang ku ikuti. Mana ada orang yang akan rela membiarkan miliknya pergi begitu saja.

Kenapa? Karena aku ada di posisi tersebut. Ayah, Ibu, Abang, semuanya telah pergi. Selamanya. Bertahun-tahun sudah kepergian mereka, tapi aku belum bisa melepasnya, bukan belum tapi sepertinya tak akan pernah bisa. Karena mereka terlalu berharga untuk dilupakan begitu saja.

Kesedihan yang berlarut-larut membuatku menjadi orang yang tertutup, tak ada seorang pun tau tentang kehidupanku yang sebenarnya. Aku hanya memasang topeng seolah semua baik-baik saja.

Sikapku yang kaku membuat semua orang enggan berdekatan atau sekadar bertegur sapa. Aku tidak peduli, toh kehadiran mereka juga tak akan bisa menutupi lubang yang ditinggalkan keluargaku. Dan jika ada pun, maka aku tak akan terlalu bergantung pada mereka.

Hanya disini aku bisa menjadi diri sendiri. Di kamar tidur yang kecil dengan lampu temaram. Menutup diri dari paman serta orang lain, dan keluar hanya ketika ingin ke kamar mandi. Lagi pula, untuk apa keluar jika tak ada yang harus ditemui? Untuk apa menjalin keakraban dengan orang lain jika mereka akhirnya pergi? Tak ada gunanya. Hanya menghamburkan waktu.

Sejauh ini belum ada yang mau berteman denganku. Semoga ini berlangsung sampai aku tidak ada lagi di dunia. Hanya itu keinginan terbesar dalam hidupku. Apakah tidak akan terkabul juga?

Tuhan menjawab pertanyaan tersebut. Dia mengirimkan seorang teman ke dalam alur cerita hidupku. Teman baru itu memiliki sebuah kesamaan yang cukup unik menurutku. Kami lahir di waktu yang sama, dengan jenis kelamin yang berbeda.

Aku marah harapanku tidak terkabul. Menurutku itu wajar, karena teman adalah hal terakhir yang aku inginkan.

Aku tetap menutup diri dan tak mau diganggu, tapi ia tak mudah menyerah. Aku selalu mengabaikan celoteh riangnya, tapi ia tetap bercerita. Aku menutup mata akan kehadirannya, tapi dengan sigap dia menyadarkan bahwa ada dirinya di sampingku. Apa aku harus luluh kemudian mengakrabkan diri?

Tidak akan. Karena dia mungkin sama dengan mereka, akan pergi juga pada akhirnya, dan aku sangat membenci hal tersebut. Aku tidak ingin menambah lagi luka, sudah terlalu sakit.

Tak pernah ku tanggapi seluruh pendekatannya padaku. Bahkan aku merasa sangat terganggu dengan sikap sok akrabnya itu. Dasar lelaki keras kepala, dia tetap berusaha meski sudah ku ucapkan berbagai macam penolakan, baik yang lembut maupun kasar.

Tapi dia tak menyerah, seolah ingin membuktikan bahwa ia layak menjadi temanku, suaranya layak untukku dengarkan, ceritanya layak untuk diingat. Dan aku pun memutuskan untuk mulai menganggapnya ada, karena mungkin itu yang layak ia dapatkan atas usahanya.

Dia menjadi satu-satunya temanku yang paling mengerti.

Aku sedang sibuk menulis naskah sampai sebuah panggilan menginterupsi kegiatanku. Dia, mau apa?

"Halo datar!" Sapaan khas dengan suara berisik.

Aku hanya diam, menunggu dia kembali berbicara. Seperti biasanya.

"Kamu lagi dimana? Ah, pasti di kamar ya. Coba liat langit deh, bulannya bagus banget."

Keningku berkerut, bulan? Di siang hari yang terik begini? Mungkin aku harus mengirim pesan singkat yang berisi anjuran untuk berobat ke dokter mata, atau dokter kejiwaan sekalian.

"Kenapa diam? Eh maksudku, kenapa gak ada suara pergerakan?" Dia kembali mengoceh.

"Bulan?" Aku bertanya pelan, mungkin tidak terdengar.

"Iya, bulan."

Salah, dia memiliki telinga yang sensitif. Suara sekecil apa pun pasti akan terdengar.

"Eh, kamu kan di Indonesia!" Dia berseru, aku menjauhkan telepon dan lebih memilih mengaktifkan loudspeaker untuk kesehatan telinga.

"Terus kamu?" Sumpah, baru kali ini aku penasaran.

"Aku lagi di New York, disini bulannya bagus banget." Dia terdiam sebentar, "Tadinya mau gombal kayak di novel roman, tapi gagal. Aku kurang teliti liat perbedaan waktu kita," lanjutnya.

"Gombal di novel roman? Maksudnya?"

Aku merubah posisi agar lebih nyaman, mungkin perbincangan kali ini akan lebih panjang.

"Tadinya aku mau bilang 'liat bulannya deh, meski pun kita di tempat yang berbeda, tapi tetap memandang langit yang sama', gitu. Tapi kan disana siang, sakit Mbak sakiiit."

Aku tertawa pelan, dia juga ikut tertawa. Entahlah bagian mana yang lucu.

"Ngapain di New York?" tanyaku.

"Cie mulai kepo, si rata kepo."

Aku melipat senyum yang baru saja mengembang, dasar perusak suasana hati. Dia menyadari perubahan sikapku segera menghentikan godaannya. Nada suaranya kembali serius.

Tapi bukannya menjawab pertanyaanku, dia malah membahas hal yang tidak penting. Seperti, berapa banyak jendela hotel mewah yang berada di hadapannya, berapa banyak daun yang berada di Central Park, atau kemana para nyamuk pergi saat dirinya memakai lotion anti nyamuk.

"Ngapain di New York?" Aku kembali bertanya, mencoba mengabaikan celotehnya tentang berat seekor nyamuk.

"Kamu mau oleh-oleh apa?"

Lagi-lagi merubah topik pembicaraan. Sebenarnya apa yang ingin ia katakan? Daritadi hanya berputar-putar tidak jelas.

"Aku mau kamu jawab pertanyaanku." Aku menekankan setiap kata, berusaha agar terdengar serius.

"Gak penting kamu tau," ujarnya pelan.

Aku menghela napas, "Ya, aku emang gak penting."

Aku memutuskan sambungan telepon, kemudian merutuki diri sendiri kenapa bisa seheboh itu untuk sesuatu yang tidak jelas. Bisa saja ia disana untuk berlibur kan? Batin yang lain bersuara, liburan saat sedang sibuk menghadapi ujian? Apa dia sebodoh itu?

Aku berniat kembali menghubunginya, tapi disana pasti sudah lewat tengah malam. Biarkan dia beristirahat sejenak, aku juga harus kembali menyelesaikan naskah untuk dikirim ke surat kabar.

Ponselku kembali berbunyi, kali ini hanya sebuah pesan. Nanti saja, mungkin operator atau orang asing yang minta pulsa.

Setelah selesai aku meraih ponsel yang tergeletak di atas kasur. Ada dua notifikasi, dan menurutku itu sudah banyak. Lapar, aku kembali meletakkan ponsel dan bergegas menuju ruang makan. Bibi dan Paman sedang pergi menuju rumah saudara, hanya ada aku sendirian.

Aku mencuci lagi piring bekas barusan, lalu bergegas menuju kamar sebelum ada banyak orang. Aku meraih ponsel lalu berbaring sambil memasukkan kata sandi untuk mengakses isinya.

Sebuah pesan dari dia, ku kira operator. Aku lantas membukanya, mungkin berisi adalah umpatan kesal karena ulahku tadi. Aku jadi tersenyum membayangkan jika isinya begitu, lucu sekali jika melihatnya marah.

Maaf, aku pergi gak ngasih tau dulu. Sebenernya aku ke New York karena Ibu mutusin buat ikut ke kampung halaman Ayah.

Mataku memanas membaca pesannya, tapi mungkin saja ini hanya lelucon yang biasa ia lontarkan saat merasa bosan. Satu pesan lagi, dan ku harap ini berisi apa yang ku pikirkan.

Aku serius. Aku bakal rindu, tapi kamu juga harus, soalnya berat. Kan berat sama dipikul. See you datar.

Secepat inikah aku harus kembali merasa kehilangan? Kenapa harus sekarang? Kenapa bukan dari dulu saat aku masih merasa terganggu oleh kehadirannya. Kenapa harus pergi saat aku mulai merasa nyaman dengan keberadaannya.

Tak bisakah aku memiliki sesuatu lebih lama lagi? Aku belum siap kembali ditinggal pergi. Baru saja mengerti bagaimana rasanya mendengar celoteh seseorang yang benar-benar peduli, lalu sekarang harus siap kembali berteman sepi, karena dia telah pergi.

Tidak selamanya, tapi dalam waktu yang lama. Kutipan yang ku baca beberapa waktu yang lalu kembali terngiang, aku tersenyum miris. Sampai kapan pun, aku tidak akan terbiasa dengan siklus kehidupan. Karena melepas sesuatu untuk pergi itu tidak semudah menyebarkan berita hoax.

Tamat.

CERPENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang