Oke. Menemukan tubuh Cameron terbujur lemas memenuhi seluruh sofa seperti mayat lantaran main PS semalaman adalah hal yang bisa kudapat secara cuma-cuma nyaris tiap pagi. Tapi mendapati keadaan yang sebaliknya? Tidak. Pagi ini benar-benar aneh, karena saat aku turun dari kamar, Cam sedang duduk tegak sambil menyimak berita pagi yang selalu dia lewatkan karena terlalu sibuk hibernasi dengan bokong menjulang ke atas dan iler yang senantiasa mengalir dari mulutnya.
Sambil menenggak segelas susu, aku duduk di sampingnya dan ikut menyimak si penyiar berita tampan bersuara seksi yang kuduga sedang magang di siaran TV tersebut.
"....seluruh korban-yang tercatat sebanyak 4 orang-ditemukan tewas dengan luka tembak di kepala dan luka menganga lebar di leher masing-masing korban." Aku langsung bergidik saat foto-foto korban disiarkan dengan sensor. "Belum diketahui secara pasti dalang di balik semua ini. Walau belum memiliki cukup bukti, namun pihak kepolisian mencatat sang kepala keluarga James White sebagai tersangka karena keberadaannya......"
"James White!" seruku heboh menyambar lengan Cam dan mengguncangnya. "Maksudmu orang yang rumahnya di belakang rumah kita?"
Cam berdehem. "Ya."
Aku memandang Cam. Bisa kulihat kengerian dalam matanya yang menyiratkan bahwa dia juga memikirkan apa yang sedang kupikirkan; bagaimana pun, kami juga dalam bahaya.
Seminggu yang lalu, tragedi yang sama menimpa keluarga Johnson yang rumahnya berjarak lima blok dari rumahku. Salah seorang anggota keluarganya yang bernama Jack adalah sohib beratku yang hobi banget nangkring di pohon depan jendela kamarku bersama kembarannya Jack Glinsky (yep, bukan kembar secara biologis, cuma kembar nama kok). Kematian Jack Johnson membuatku merasa seolah dipukul keras dengan tongkat baseball tepat di kepala-rasanya pening banget.
Dan, tentu saja, menyebabkan rasa sepi yang amat sangat karena tidak ada yang nangkring di depan kamarku lagi.
"Kayla!"
Aku langsung menoleh ke jendela dan meringis senang ke arah Jack Glinsky. Rasanya kangen juga setelah seminggu penuh cowok itu tidak menemuiku dengan gaya Spider-Man seperti yang dilakukannya saat ini.
"Sudah lihat berita?" tanya Jack saat bokongku sudah menempel dengan nyaman di batang pohon aka singgasana kami ini.
"Sudah dong," sahutku pongah. "Menyesal juga rasanya menjedukkan kepala Ben White ke truk sampah dua hari yang lalu. Habisnya bocah itu menyebalkan banget sih! Masa Jake dilemparnya dengan batu. Dasar kurang ajar."
Omong-omong, Jake yang kubicarakan itu anjingku. Di saat tertentu aku sadar bahwa aku lebih menyayangi anjing itu ketimbang Cameron yang menyandang jabatan sebagai abangku sendiri.
Jack tersenyum geli. "Sudahlah. Nggak baik membicarakan orang yang sudah jadi mayat."
"Ugh." Bulu kudukku meremang. "Seram."
Malam harinya, aku terjaga karena terus memikirkan tragedi yang menimpa keluarga Johnson dan keluarga White. Aku sebenarnya bukan tipe orang yang gampang paranoid-setidaknya sebelum peristiwa pembunuhan ini menyerang sohibku. Sejak saat itu aku terus memikirkan besarnya kemungkinan rumahku dibobol psikopat gila yang hobi memenggal kepala manusia, lalu menyelinap ke kamarku dan tiba-tiba saja arwahku menemukan tubuhku dalam keadaan mengenaskan keesokan harinya. Menyeramkan banget, kan? Apalagi di rumah ini hanya ada aku, Cameron, dan Sierra.
Yep, kami tinggal bertiga lepas dari perlindungan orang tua, sementara di luar sana ada psikopat berkeliaran yang sedang mencari korban selanjutnya.
Layaknya seekor anjing, aku jadi sensitif banget terhadap suara-suara remeh. Entah karena malam ini terlalu hening atau karena aku yang kelewat paranoid. Setiap kali kupejamkan mata, kilasan-kilasan bayangan tentang kediaman keluarga White yang tadi siang kujelajahi-secara diam-diam tentunya-bersama Jack langsung terputar di kepalaku.
Rasanya terlalu seram untuk membayangkan bagaimana 4 jasad terbujur kaku dengan darah menggenang di lantai yang tadi kuinjak-injak itu.
Ssrraakk....
Seluruh ototku menegang saat mendengar suara barusan. Oke, mungkin saja itu suara daun yang tertiup angin. Aku benar-benar lembek. Ssraaakk.... Aku buru-buru menyalakan lampu dan bangkit dari kasur, lalu menghampiri jendela dan mengintip dari balik tirai.
Kuharap suara itu timbul gara-gara Jack sedang memanjat pohon untuk menemaniku.
Nyatanya tidak ada siapapun-atau apapun-di luar.
Tiba-tiba terdengar suara pecahan dari dapur yang membuatku kaget setengah mati. Tepat saat aku membuka pintu kamar, pintu di seberang turut terbuka dan si empu kamar menatapku penuh tanya.
"Sierra?"
"Mungkin." Cam mengangguk kaku.
Kami pun turun ke dapur untuk melihat keadaan. Cam, yang rupanya masih memiliki jiwa pria sejati, menyuruhku berjalan di balik punggungnya. Untuk melindungiku, katanya. Cih, dia tidak memikirkan kemungkinan adanya penyerang dari belakang.
Kalau tiba-tiba ada yang menusukku dari belakang, aku yakin arwahku akan mencari Cam untuk menuntut pertanggungjawaban.
Hati kecilku langsung mencicit lega saat mengetahui orang yang menimbulkan ketegangan kecil tadi memang Sierra (aku tahu ini berlebihan banget, tapi kan aku tidak mau tubuhku ditemukan polisi dengan penampilan yang tidak menyenangkan). Cewek itu meringis begitu melihat wajah kami yang pucat.
"Sori," ujarnya, "ada cicak jatuh ke kepalaku."
Cam dan aku tertawa kecut. Setelah membantu Sierra merapikan pecahan gelas, kami memutuskan untuk kembali ke kamar masing-masing dan tidur.
Hanya perasaanku, atau memang ada orang lain di rumah ini?-karena aku bisa mendengar hembusan napas berat, seperti ada sesuatu yang menghalangi saluran napasnya, namun hembusan itu bukan berasal dari hidung Cam yang penuh upil maupun hidung Sierra yang selalu kelihatan ayu.
***
Pagi yang buruk. Sekali lagi, pagi yang buruk!
Aku turun ke lantai satu untuk minum susu, seperti yang selalu kulakukan tiap pagi. Namun saat baru saja hendak menjejakkan kaki di tangga pertama, mendadak kutemui tubuh Sierra bersimbah darah dengan kaki yang nyaris putus di tengah tangga. Tampaknya dia berusaha merangkak ke atas tangga dengan susah payah namun gagal lantaran kakinya diserang secara sadis.
Yah... mulut Sierra yang menganga dengan mata melotot menjelaskan semuanya.
Aku buru-buru lari menuju kamar Cam dan membuka pintunya dengan jantung yang bekerja berkali-kali lebih cepat daripada biasanya.
Kosong.
Mendadak kusadari sesuatu yang nyaris luput dari perhatianku. Ada jejak darah di lantai kamar Cam, jejak sesuatu-mungkin tubuh seseorang-diseret secara paksa. Mengikuti jejak itu, aku berjalan menuju kamar mandi dan memandang ngeri ke arah bathtub yang dipenuhi air berwarna merah, sementara kerannya masih menyala.
Dan, yah, tubuh Cam terendam di dalamnya dengan kepala seperti landak berkat paku yang panjangnya melebihi telunjukku menancap di atasnya.
Bulu kudukku meremang mengingat kemungkinan si psikopat tukang tembak paku masih berkeliaran dalam rumahku. Tanpa pikir panjang aku menyambar ponsel di balik bantalku dan menghubungi Jack yang ternyata sudah nangkring di pohon seperti biasa. Aku menyuruh Jack masuk lewat jendela untuk menunjukkan situasi dalam rumahku yang sudah tidak layak huni ini.
"Sinting," komentar Jack. Dari cara bicaranya, aku yakin Jack tidak ingin berlama-lama di sini.
"Jack," bisikku horor. "Bawa aku pergi dari sini. Cepat!"
***
thanks for reading xx

KAMU SEDANG MEMBACA
Clueless × magcon
Mystery / ThrillerSaat Kayla membuka matanya, dia sadar telah bangun di pagi yang salah. *** [Edited, oneshot | Blood and violence] © 2014 buluketek.