7

1K 76 15
                                    

Annabeth's PoV

Dua minggu berlalu setelah disetujui nya perjanjian itu. Artinya pernikahanku juga tinggal dua minggu lagi. Jika kalian bertanya apakah dengan waktu satu bulan cukup untuk mempersiapkan pernikahanku, jawabannya adalah YA. Kenapa? Karena Mom dan Dad sudah mengatur semuanya. Aku ulang, SEMUANYA.

Bahkan untuk cincin pernikahan dan gaun pengantinku saja sudah Mom pilihkan tanpa harus aku coba terlebih dahulu. Aku sangat percaya pada Mom, dia pasti akan memilihkan yang terbaik untukku. Meskipun aku sedikit kecewa karena semuanya sama sekali tidak sesuai harapanku.

Maksudku, harapan sebuah pernikahan yang dari dulu aku bayangkan. Dimana aku ingin mendesain sendiri baju pengantin nya, memesan cincin pernikahan yang akan didesain khusus untuk ku dan calon suamiku, memilih tempat dan dekorasi acara pernikahan sesuai dengan kesepakatanku dan calon suamiku, undangan, souvenir, berapa banyak tamu yang akan diundang, dan masih banyak lagi.

Tapi sepertinya itu hanyalah sebuah harapan belaka. Semua yang akan terjadi sama sekali tidak ada dalam daftar harapanku. Sangat jauh berbeda dari apa yang aku ekspektasi kan selama ini.

Dan yang paling tidak aku harapkan adalah, siapa calon suamiku. Saat dulu aku benar-benar tidak tau diri karena berkhayal bahwa Zayn lah yang akan menjadi suamiku sampai akhir hayat, sekarang aku bagaikan tertampar oleh kenyataan yang menakdirkan aku untuk menikah dengan pria lain yang tidak kucintai. Bahkan pria yang sama sekali tidak ku kenal. Bukan ini yang aku inginkan, sungguh.

Bisa dibilang Zayn adalah pria idaman ku. Oh tidak, dia idaman semua wanita. Dia pria yang manis, dan sangat baik. Tidak ada yang tidak nyaman jika berada di dekat Zayn. Sudahlah Ann, lupakan dia.

Aku hanya bisa berdoa saja pria tampan dengan dimplesnya yang sangat dalam itu adalah sosok pria yang baik. Aku tidak ingin berekspektasi jika dia akan romantis, perhatian, atau semacamnya. Karena aku takut jika nanti akhirnya sama saja, tidak sesuai harapan. Dia baik padaku dan calon anakku saja sudah cukup.

Berbicara tentang pria itu, aku lupa memberi tahu jika dia sekarang  tinggal bersama dengan keluargaku. Dia baru boleh pulang kemarin. Tadinya Dad ingin menyewakan apartemen mewah, tapi Dad mengurungkan niatnya karena Dad takut pria itu tiba-tiba merasa sakit lagi. Seperti beberapa hari yang lalu sebelum dia pulang dari rumah sakit.

Dia berteriak kesakitan dan memegang kuat kepalanya. Aku akui itu salahku karena terus-menerus mencoba mengembalikan ingatannya. Saat itu Mom, Dad, dan Albert marah padaku—wajar, karena sering datang ke rumah sakit mereka menjadi akrab. Tapi tidak denganku. Aku hanya mengobrol dengannya jika aku mau saja.

Sejak saat itu aku tidak mau lagi mengungkit-ungkit identitasnya. Karena jujur, selain takut dimarahi keluargaku, aku juga sedikit kasihan melihat pria setampan dia kesakitan.

Tok tok tok

Seseorang mengetuk pintu kamar ku. Aku rasa itu Mom. Aku pun melangkahkan kaki ku dengan cepat menuju pintu kamar dan membukanya.

"Ada apa Mo–kau?" Aku kaget setelah melihat pria berdimples dalam ini ada di depan kamarku.

"Umm–Selamat pagi, Ann. Bibi Liza–umm–menyuruhku untuk memanggilmu ke ruang makan. Kita akan sarapan." Jawabnya seperti, gugup?

"Kenapa kau gugup, Eh?" Aku mencoba menggodanya. Sebenarnya aku juga tidak tahu dia gugup atau tidak.

"Eh? Apa terlihat jelas sekali ya kalau aku gugup?" Jawabnya polos. Aku pun mengangguk mengiyakan.

Jadi dia benar-benar sedang gugup ya?

"Jadi, kenapa kau gugup?" tanyaku lagi.

"Umm, tidak tahu. Mungkin karena aku sedang berbicara denganmu."

Emergency Husband (Hendall)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang