(8) - Delapan

1.4K 79 14
                                    

Tidak ada hal paling rajin, selain datang ke sekolah pagi-pagi buta.

Setidaknya itu yang Alena lakukan sekarang, kalau tidak mengingat kemarin Reza menitipkan kunci kelas padanya, dengan alasan bahwa ia tidak akan bersekolah hari ini. Tentu Alena sudah menolak, tapi Reza bersikukuh mengatakan kalau ia adalah orang yang paling dipercayainya di kelas.

Ia akhirnya mau. Terpaksa.

Maka dari itu, sekarang, saat jam masih menunjukkan pukul enam lewat lima menit, Alena sudah berkeliaran di koridor utama seorang diri, setelah ia menyelesaikan tugasnya membuka pintu kelas. Ada sih beberapa orang yang sudah datang ke sekolah, tapi mungkin mereka adalah orang-orang yang bernasib sama dengannya, atau bisa juga mereka itu memang kelewat rajin?

Alena tidak mengerti, kenapa, sih, Reza mau saja dikasih tugas memegang kunci kelas? Padahal, itu harus menuntutnya untuk selalu datang ke sekolah lebih pagi dari yang lain setiap harinya. Sedangkan sebenarnya, Reza bisa saja menyuruh anak-anak yang punya jadwal piket kelas, untuk menggantikan tugasnya. Tapi, biarlah, itu urusan sang ketua kelas.

Lelah mondar-mandir tidak jelas, Alena akhirnya memutuskan untuk kembali ke kelas. Mengambil Airpods-nya dari dalam tas, lalu keluar lagi. Ia memilih untuk berdiri di balkon, mendengarkan lagu, sambil mengamati aktivitas di bawah sana.

Tidak ada yang menarik perhatiannya. Hanya segerombol murid, yang satu-persatu mulai masuk ke dalam sekolah. Begitupun yang ia rasakan di sepanjang koridor kelasnya yang mulai ramai. Alena sendiri masih asik mendengarkan lagu, sambil sesekali bernyanyi pelan.

Hari ini ia memang tidak berangkat sekolah dengan Arka, karena cowok itu masih asik bergelut dengan selimutnya, saat ia hendak jalan. Jadi, daripada nanti Alena membuat orang lain menunggu di luar kelas hanya karena Arka, lebih baik ia berangkat sendiri.

Ngomong-ngomong masalah Arka, di seberang balkon kelasnya─lantai atas─pemandangan Raka yang sedang berjalan dengan tas yang tersampir di bahu sebelah kanannya, membuat pandangan Alena beralih sepenuhnya pada cowok itu.

Tapi, bukan itu yang menjadi pusat perhatiannya. Melainkan jaket baseball hitam yang dipakai Raka, merupakan jaket pemberian Alena, saat Raka ulang tahun, tahun lalu.

Alena tertegun. Tidak menyangka kalau Raka masih mau mengenakan jaket itu, setelah apa yang terjadi pada mereka dulu.

Tidak tahu kenapa, ada sedikit rasa senang dalam dada Alena, yang membuatnya mengangkat bibir tanpa sadar.

***

"Kira-kira, gue sama Raka masih bisa temenan nggak, ya, kalau dulu nggak ada kejadian itu?" tanya Alena, yang benar-benar diluar kendalinya.

"Cieee, ada apa, ni???" Adel menjauhkan mangkuk soto ayamnya yang sudah habis, menarik diri dan menopang kepalanya dengan kedua tangan yang ditaruh di atas meja. "Jangan bilang lo─"

"Engga-engga, bukan gitu." Alena dengan cepat membantah apa yang akan dikatakan Adel. "Maksud gue─aduh, gimana, ya, jelasinnya?" sambungnya, bingung sendiri.

"Gue paham, gue paham," sela Sarah. "Maksud lo, temenan yang bener-bener temen gitu, kan?"

"Iya!" Itu adalah respon yang sebenarnya ingin didengar oleh Alena.

"Hm," gumam Adel, kini intonasinya sudah mulai terdengar serius. Begitu pula dengan tatapan yang dipancarkannya. "Bisa, mungkin? Ya, walaupun Arka sebenernya nggak suka sama dia, tapi kayany─"

"Kayanya apa?"

Arka tiba-tiba muncul, entah dari mana dan berdiri di sebelah Alena, sambil memerhatikan mereka satu-persatu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 29, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

wherever you may be | on goingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang