Elfira mengeratkan jaketnya, udara di Surabaya cukup dingin. Orang Jawa biasanya menyebut musim ini adalah bedideng, musim dimana hujan tak turun, matahari terasa panas tapi udara cukup dingin. Gadis rambut panjang itu berjalan menuju tempat laundry, masih cukup pagi untuk membuka laundry sepertinya dia harus mengetuk pintu pemilik laundry. Bisa-bisanya adiknya lupa mengambil pakaian seragamnya di laundry, beruntung jaraknya tidak jauh. Tinggal berjalan beberapa rumah sudah sampai, tadi pagi setelah adiknya mandi dan masuk kamar gadis yang terpaut tujuh tahun darinya itu teringat jika baju seragam untuk hari ini masih di laundry. Tanpa pikir panjang Elfira langsung meninggalkan dapur dan mengambilnya, tidak akan dibiarkan adiknya mengambil sendiri dengan badan yang masih terlilit handuk.
"Selamat pagi."
"Pagi, Mbak Fira!" Sapa tetangganya yang baru membukakan pintu gerbang setelah beberapa kali memencet bel. Hari ini Senin cukup membuat orang malas bangun pagi karena terlalu lama menikmati weekend. Seperti salah satu tetangganya ini, masih terlihat malas untuk menyambut datangnya sang surya.
"Maaf mbak, saya mau ambil cuciannya Eva."
"Oh sebentar ya mbak!" Si pemilik rumah masuk mengambil cucian milik Eva. "Masuk dulu mbak. Sebentar saya ambilkan." Lanjutnya ramah.
Elfira hanya tersenyum. Gadis yang kerap kali disapa Fira itu memilih duduk di teras rumah sambil menunggu. Setelah mengecek jika cucian yang diberikan memang milik adiknya Elvira langsung pamit dan berjalan pulang. Masuk kedalam rumah dengan menata sandal di rak sepatu. Dia cukup rapi dan disiplin, hal yang ditanamkan ibunya selalu dia terapkan, berbeda dengan Eva yang sedikit kurang teratur. Eva hobi merias diri, tak heran banyak pemuda yang jatuh hati dengan adiknya tersebut di usia yang cukup muda dan masih duduk di bangku SMP.
"Va!" Teriaknya saat memasuki rumah. Tidak ada jawaban.
"Eva!" Bukannya bersiap-siap atau meneruskan masakan yang sempat tertunda adiknya itu malah melanjutkan tidur. Jika saat pagi Elfira sudah seperti ibu-ibu yang ribut karena anaknya bangun kesiangan.
"Oh ayolah bangun. Aku akan cepat tua jika terus meneriakimu." Keluhnya.
"Iya, love you mbak." Ingin sekali dia menangis. Eva tak pernah kenal ibu mereka. Sosok lembut yang penyayang. Seandainya ibu mereka masih ada, pastinya semua ini tidak akan terjadi. Kakaknya akan hidup dengan teratur dan tidak akan terjerat fitnah seperti ini.
Eva selalu menciumnya saat mulai marah atau dalam keadaan terdesak. Gadis muda itu tahu bagaimana cara saling menguatkan saudaranya.
"Mbak masak apa?" Kata Eva yang duduk di kursi yang ada di dapur.
"Ceker pedas sama sup merah."
"Masakan kesukaan Mas Elang. Boleh, tapi aku supnya saja." Eva bukan pecinta pedas seperti kedua kakaknya.
"Baik tuan putri, tunggu sebentar." Elfira menyiapkan sarapan untuk adiknya sementara Eva sibuk memasukkan buku pelajaran yang masih berserakan di meja dapur. Sekalipun tubuhnya kecil Eva adalah gadis yang suka makan, itulah sebabnya belajar saja di dapur.
"Mbak Fira mau lihat Mas Elang hari ini?"
"Bukannya tiap seminggu sekali ya? Kenapa tanya?" Kata Fira dengan meletakkan sepiring nasi dengan sup merah di depan adiknya.
"Nanti sore aja deh mbak. Sama aku."
"Sore gak bisa. Mbak ada acara. Besok aja kesana lagi. Mas Elang pasti seneng."
"Iya deh. Besok janji lo ya, mbak."
"Iya, bawel." Ujarnya seraya mencubit pipi adiknya.
"Besok tanggal satu lo mbak, jangan lupa bayar cicilan tunggakan Eva ya." Eva mengingatkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Elfira
RomanceMenjadi yatim piatu membuat Elfira menjadi lebih kuat. Dia harus bertahan dengan keadaan, hidup harus dijalani bukan untuk diratapi. Membuang jauh-jauh cita-cita menjadi seorang guru dan harus bekerja menghidupi adik perempuannya. Orang tuanya telah...