Bag. 12 Menepis Rintang

186 9 0
                                    


Kini Rindi mulai memahami, betapa letih perjuangan kedua orangtuanya untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup. Mulai dari makanan, pakaian, biaya sekolah, belum lagi jika keadaan tak terduga terjadi. Harus pergi ke dokter karena sakit, misalnya.

Gadis itu kembali bersyukur. Memiliki orangtua yang sedikitpun tak pernah menunjukkan keluhan pada beban yang terus bergelantungan. Senyuman yang selalu disuguhkan ketika deret permintaan adik-adiknya terucap polos. Meski tidak langsung dikabulkan, tapi dalam hati berjanji mengupayakan.

Berkaca pada diri sendiri, gadis itu merasa malu. Sebab untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari saja, ia sudah kewalahan.
Bapak. Ibu. Tak dapat terhitung semua pengorbanan dan perjuangan sepenuh hati. Rindi menitikkan air mata.

Dan di sinilah dia sekarang. Mencoba berdiri di kaki sendiri. Dengan tekad yang kadang masih berubah-ubah. Hari ini semangat, besok pudar kembali.

Ah, payah!

Mulai saat ini ia tak akan cengeng. Tak boleh, rintangan yang akan selalu datang menjadi alasan untuk berhenti sampai di sini. Ia menggenggam kepal tinju kuat-kuat.

Kejadian kemarin adalah ujian awal yang mengajarkannya untuk terus mawas diri. Merekam kata-kata Nunik, 'pekerjaan yang mereka jalani penuh tantangan dan resiko. Butuh kekuatan yang lahir dari dalam diri untuk menangkis semuanya.'

Dari sinilah mimpi itu dimulai. Menjadi pemandu lagu memang bukan cita-citanya. Banyak orang memandang hina, bahkan menutup mata pada gelar yang melekat di dalamnya. Meski demikian, Rindi harus ikhlas menjalani. Sambil mencari batu loncatan untuk beralih pijakan kaki pada step yang lebih baik.

Bapak pernah berpesan, 'jadilah sepeti ikan laut. Meski hidup dalam lingkungan yang asin, tapi mereka tetap terasa tawar. Hanya ikan mati yang rasanya bisa asin.'

Waktu merambat. Rindi melangkahkan kaki, duduk berjejer bersama teman-temannya yang lain.

"Hallo."

Seorang pria bertubuh tambun menyapa. Rindi menatap sesaat wajah itu, lalu membalasnya dengan senyuman.

"Bisa temani saya?"

Rindi mengangguk. Ia berjalan bersamaan dengan lelaki lima puluh tahunan itu. Insting Rindi bisa menebak status sosial lelaki itu. Ia yakin, lelaki itu berasal dari kalangan menengah ke atas. Sebab tak sembarang orang memesan ruang VVIP hanya sekadar untuk berkaraoke.

Di dalam ruangan, baru beberapa lagu yang dinyanyikan sudah membuat lelaki itu kewalahan. Kemudian duduk di sofa dan minta ditemani.

Hm, kenapa harus ambil paket tiga jam kalau baru setengah jam saja sudah berhenti? Ada niat lain yang terbaca.

Rindi harus tetap waspada dan berusaha untuk professional.

Rindi pun duduk di sampingnya, menyesap air mineral kemasan gelas yang tersedia di meja.

"Mau pesen yang anget?" lelaki itu menawarkan.

Rindi menggeleng. "Lagi enggak bisa minum gituan, Om."

"Oh, sakit?" sikap lelaki itu tiba-tiba berubah lebih perhatian.

"Pernah. Tapi sekarang udah enggak. Cuma jaga-jaga aja, belum sembuh total."

Lelaki paruh baya itu mengangguk-angguk. Rindi berusaha menjaga sikap sedemikian agar tamunya tidak tersinggung.

"Kalo Om mau, saya bisa pesankan."

"Ah, enggak usah. Mana enak minum sendirian." Lelaki itu terkekeh.

Rindi terus menanggapi setiap pertanyaan yang tak habis-habis dilontarkan. Beberapa menit kemudian, lelaki berkepala botak di bagian depan itu coba menyentuh jemari tangan Rindi. Pelan-pelan gadis itu mengelak, namun tetap menunjukkan rasa hormat.

Seberkas Kasih Rindiani (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang