"Ca, lo ngapain deket-deket Jackson tadi?" Tanya Jenny pas kami sampe di tempat yang cukup aman buat berbincang.
"Dia aja yang tiba-tiba datang, tadi gue lagi mau minum eh dia dateng. Ya gitu deh."
Jenny geleng-geleng kepala, "tapi lo gapapa kan ca?"
Jenny tahu betul apa yang terjadi diantara aku dan Jackson. Apalagi akhir-akhir ini aku lagi banyak pikiran permasalahan rumah tangga ku yang dari luar terlihat baik-baik aja namun sebenarnya ada apa-apa.
"Jen, kayaknya gue ga bisa deh keluar habis ini. Gue mau istirahat aja kayaknya." Pintaku yang di iyakan Jenny langsung.
----
"Loh, kamu ga jadi keluar sayang?"
Aku yang sedari tadi tiduran di kasur mendengar suara Jae yang baru aja pulang kerja membuatku terduduk dan menantinya dengan senyuman lebar namun terasa berat.
"Lagi ga enak badan." Kataku singkat seperti biasanya.
Jae mengangguk mengerti, dia duduk di depanku, aku membantunya membuka dasi berwarna dongker yang ia pakai hari ini karena kebetulan hari ini di kampus ia harus menghadiri rapat penting jadi harus berpakaian sangat formal.
"Kenapa? Kok keknya cape banget." Tanya Jae.
Aku ga bisa nyembunyiin wajah lusuh ku ini di depan Jae. Padahal harusnya aku yang nyambut dia yang pulang kerja seharian bukanya malah dia yang khawatirin aku berlebihan.
"Engga, kayaknya mau datang bulan aja jadinya ga enak badan gini." Kilahku.
Ga mungkin kan aku nyeritain tentang Jackson tadi sama Jae. Ga enak aku walaupun Jae bukan tipikal pencemburuan.
Jae menghela nafas pelan, "Ca, kamu ga mau coba lagi?" Tanya Jae yang aku tahu dia tengah mengarah ke arah program kehamilan.
Aku menunduk dan ga berani natap dia, "Ya udah. Tunggu kamu siap aja. Kamu gapapa kan? Apa kita perlu konsul lagi?" Tanyanya dengan lembut.
"Aku gapapa kok." Jawabku singkat sambil mengambil baju kotor yang Jae kenakan hari ini dan membawa ke baskom kain kotor yang ada di ruang laundri.
Aku punya trauma terhadap laki-laki. Ga mudah dulu Jae deketin aku yang super pemalu dan ga ramah laki-laki ini.
Aku masih ingat banget Jae bahkan nyariin aku psikolog yang cocok buat kesembuhan aku. Buat gimana caranya aku ga takut lagi terhadap komitmen karena orang tuaku bercerai pas aku kelas 9 dulu.
Aku selalu merasa ada yang aneh memang di diriku ini. Tapi, mama bahkan orang terdekat dulu ga terlalu open minded sama yang namanya psikolog jadi ya aku bener-bener hancur di dalam sebelum bertemu Jae.
Aku duduk di kasur sambil mengutak atik remote tv, chann tv malam ini ga ada yang seru gumam ku sendiri hingga Jae yang habis mandi tengah menyisir rambut nya dengan jari-jari nya meresponku dengan kekehan.
Jaehyun ikut duduk di sampingku, menarik selimut hingga menutupi hampir seluruh tubuh kami kecuali wajah dan dia menyenderkan kepala nya ke bahuku.
Berat. Tapi gapapa. Jarang-jarang aku mengizinkan Jae begini.
Jae mengusap-usap lengan ku hingga aku dapat merasakan hangat di tubuhku.
"Ca, are you okay? Kamu ga mau cerita hari ini kenapa?"
Aku masih diam.
"Kamu yang cerita sendiri apa aku yang tanya Jenny nih kalian ngapain aja tadi?"
"Aku... aku bosen aja denger orang kalau kita udah nikah jalan dua tahun tapi belum ada momongan. Kek apa ya... ga suka aja." Ujarku akhirnya.
Jae mengangguk mengerti masih senderan di bahuku, "Besok senin kita atur ketemu sama mba Ayu yuk, ya cerita cerita aja. Udah mau jalan enam bulan juga kan kita ga ketemu dia buat konsul kan?" Ajak Jae.
Mba Ayu itu konselor spesialis rumah tangga temen nya Jae juga. Kami udah mempercayai mba Ayu sebagai tempat konseling kami beberapa tahun belakangan ini.
"Hmm." Aku cuma bisa berdehem menandakan aju ngikut dia aja.
Entah memang mau datang bulan atau gimana akhir-akhir ini mood aku sedang ga baik ditambah di cerca pertanyaan sensitif 'itu'.
Aku sebenarnya pengen kita punya anak. Tapi, tiap kali kami mau berhubungan badan rasa takut terus menghantui ku. Aku benar-benar takut dalam segala hal apalagi menyangkut berhubungan dengan pria.
Selama masa pendekatan kami, Jae dan Jenny berusaha membantuku berobat ke psikiater untuk mengurangi ketakutan dan trauma ku itu.
Alasan aku menyetujui menikah dengan Jae ya itu, ketakutan ku mulai menghilang saat itu. Tapi engga untuk beberapa bulan ini.
Selama dua tahun kami menikah, kami bisa dihitung dengan jari berhubungan badan karena aku terus-terusan menolak dan tiba-tiba menangis.
Aku ngerasa bersalah. Malah terkadang aku merasa ingin bercerai dari Jae karena aku takut Jae kecewa dengan sikap ku yang aneh makin kesini.
Lebih baik dia cari istri baru, yang bisa melayani dia, memberinya anak dan sebagainya. Gak kayak aku, yang serba kekurangan ini.
Entah sampai kapan Jae bakal tahan sama aku, kalau suatu saat dia ingin bercerai dariku, aku...siap. karena kesalahan di dalam rumah tangga ini semua ada padaku.
Jae bangkit dan meluruskan duduknya, ia merangkul bahu ku lalu mengelus-elus pelan hingga gak kerasa aja ini air mata jatuh, "Ca, kamu jangan berpikiran macam-macam ya. Aku ga masalah sama semua itu. Kekurangan mu itu... kalau aku ga bisa nerima dengan lapang dada sama semua kekurangan kamu kenapa juga aku mau nikah sama kamu? Kamu jangan sedih-sedih terus ya."
"Ya udah ayo kita coba." Kataku spontan. Yang kumaksud coba adalah, kita coba lagi promil.
Jae menggeleng, "Engga, kamu belum siap sepenuhnya. Ga usah memaksan diri, oke?"
Ga bisa. Jae selalu gini mangkanya aku jadi ga bisa melawan ketakutanku. Jae selalu ngalah sama aku.
Aku menangis histeris di dalam pelukan Jae, "Maaf..." lirihku.
Jae makin menguatkan pelukanya hingga tubuh kami menyatu. Saat berpelukan seperti ini aja aku masih takut, ingin aku lepaskan dan berlari tapi aku harus berani.
"Tidur yuk, besok kita on duty."
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Husband And Me [END]
FanfictionMemiliki suami yang sempurna luar dalam merupakan ketakutan terbesar-ku. Tidak pernah ada niat untuk menikah karena trauma besar yang kumiliki tetapi Jae adalah obat ketakutan ku selama ini. Tapi...tidak berlangsung lama setelah dia berkhianat sepe...