Hadiah Apa yang Pantas Kuberikan Untukmu, Ibu?
Ibuku adalah wanita pemilik dekapan paling hangat di dunia ini. Rasa cinta, ketulusan dan keikhlasannya kepadaku seolah diungkapkan melalui dekapan hangatnya yang tak tergantikan oleh siapapun. Bagaimana bisa aku membayangkan, jika suatu saat nanti aku tak lagi merasakan dekapan hangatnya, belaian lembutnya mengusap kepalaku, dan mendengar omelannya yang terkadang membuatku jengkel?
Pagi belum menunjukkan kesempurnaannya lantaran sang pemilik cahaya abadi belum mau meninggalkan mimpinya. Pekat. Pagi subuh yang masih melenakan mimpi-mimpi para makhluk Tuhan yang durhaka. Nyanyian pagi dari mulut-mulut ayam rumah sebelah pun belum menendang gendang telingaku. Namun, suara adzan subuh telah berkumandang beberapa menit yang lalu. Panggilan sang pemilik surga membangunkan para hamba yang benar-benar tunduk kepada-Nya. Ibu, salah satu di antaranya. Ia selalu memenuhi panggilan-Nya tanpa sekali waktu pun meninggalkannya.
“Nak, ayo sholat shubuh dulu. Adzan sudah berkumandang.” Ibu mengelus lembut punggungku yang berbalut selimut. Selimut lusuh tanpa motif yang sebenarnya sudah tak layak pakai, selimut yang biasanya mampu melindungi pemiliknya dari serangan dingin manakala perubahan musim yang cukup ekstrim di akhir zaman ini, namunkehangatan selimut itu tak mampu lagi menandingi hangatnya dekapan Ibu. Apalah daya, untuk mencukupi kebutuhan makan sehari-hari saja cukup sulit, apalagi untuk membeli selimut baru.
Kehangatan tubuh Ibu melenyap di sebagian tubuhku tatkala tubuhnya tak lagi merengkuhku. Pantas saja, Ayah tak pernah sekali pun berpaling dari dekapan wanita lain sampai ajal menjemputnya beberapa tahun silam. Kanker mulut. Penyakit ganas itu telah merenggut paksa Ayah dari dekapan Ibu selamanya. Tanpa ampun.
Hembusan napas pagi melindap melalui celah-celah lubang selimutku, menusuk-nusuk tulang dan membangunkan folikel-folikel di bawah dermisku. Rambut-rambut halus kulitku berdiri. Meremang. Rasa dingin seolah telah menjadi makanan sehari-hari bagi kulit keriput Ibu. Kebal. “Bangun, Nak, jangan sampai rumahmu kelak hitam pekat karena terlambat sholat subuh.” Ngeri mengingat peringatan Ibu. Aku tak mau rumahku kelak hitam pekat, sehingga aku tidak bisa menemukan Ibu. Kubasuh mukaku yang masih sayu dengan air wudhu. Dingin menjelma monster yang menamparku hingga ku tak kuasa lagi merasa kantuk.
Segar.
Raut wajahku ketika menghadap sang pencipta bersama tulang punggungku satu-satunya. Tak lupa kuselipkan doa untuk Ayah supaya mendapatkan tempat paling baik di sisi-Nya. Tak bisa kubayangkan rindu yang menumpuk dibenak Ibu kepada Ayah. Tujuh tahun. Guratan sisa-sisa wajah muda Ibu terlihat begitu sunyi dibalik mukenanya. Kulitnya mulai mengelinting dihajar usia lebih dari setengah abad. Sepasang organ matanya yang ikut mengkeriput bersama usia memejam, menunjukkan kekhusyukannya dalam merapal doa. Entah, doa apa saja yang Ibu bisikkan kepada Tuhan dan aku lebih memilih kembali bersembunyi dibalik selimutku yang tak lagi menyimpan kehangatan dekapan Ibu. Aku terlelap bagaikan mati suri.
Saat mataku kembali terbuka, aku telah disambut lolongan jago tetangga sebelah. Pancaran cahaya pagi menembus celah-celah jendela rumahku yang bolong. Akibat kerakusan rayap-rayap musim penghujan. Kulihat kasur di sebelahku. Kosong. Tinggal jejak-jejak tubuh Ibu yang membentuk lipatan-lipatan tak beraturan di kain lusuh kasurku. Bau tubuhnya pun masih menjejak di sana.
“Sayur … sayur … sayure bu!”
Mataku menilik keluar rumah. Melihat orang yang suaranya mampu menembus kesunyian rumahku. Tentu saja itu bukan Ibu, tapi seperti itulah kiranya Ibu menyambung asa. Meneriak-neriakkan sayur untuk menarik para pembeli, barangkali Ibu juga mengenal orang itu. Wanita yang memiliki paras lebih muda beberapa tahun dari Ibu, kulit keringnya yang melegam masih terlihat lebih segar dari milik Ibu. Senyumnya merekah manakala ada pembeli yang datang memanggilnya. Rezeki pun siap dijemput. Begitulah gambaran Ibu saat bekerja. Muram. Mimik wajahku seketika berubah, membayangkan pemilik tubuh renta itu masih harus mengkayuh sepeda berkilo-kilometer, menembus panas dan hujan jika perlu, demi asa satu-satunya. Aku.