Note :
Disarankan membaca / mencari informasi mengenai mitos “Kotak Pandora” yang akan menjadi pokok cerita ini terlebih dahulu untuk yang belum tahu, karena saya hanya akan menjelaskan secara garis besar (berdasar pemahaman saya) saja di sini.
Happy reading.
•••
Di luar, langit tengah menangis basahi muka bumi, hanya tirai tetesan air sepandang mata memandang. Bulir yang jatuh tanpa henti dengan cepat menciptakan irama hujan yang bergema di dalam ruang. Bahkan lantunan musik stereo milik cafe pun dapat dikalahkannya.
Gelas porselen diletakkan, minuman berkafein itu telah habis diteguk. Jemari yang berhenti mengetuk meja kini beralih memangku dagu, mengantarkan sepasang mata kepada sebuah furnitur di satu sudut ruang.
Pemuda itu berdengus pelan, melempar pandangan ke kaca tembus pandang yang mengekspos keadaan di luar cafe kemudian. Refleksi dirinya terlihat samar di antara ribuan titik air yang mengembun. Ia tak peduli, karena kedua maniknya yang sibuk mencuri pandang ke benda itu akhirnya menyerah dan kembali menaruh fokus padanya.
Adalah guci dengan tinggi 100 cm yang berdiri bersama almari berpajang buku di sisi tembok. Lekuk tubuhnya terlihat seperti guci hias pada kebanyakan, lukisan yang tergambar dengan cat warna emas dan putih itu juga tak lebih dari coretan sulur-sulur benang tanpa makna. Pasaran dan kuno, tapi ia tetap memiliki nilai klasik tersendiri. Lihat, badan porselennya yang masih mulus nan mengilap itu tampak serasi dengan furnitur kayu jati di dekatnya.
Lelaki berdasi itu menyeringai, ia pasti sudah gila karena telah membiarkan sebuah benda dekorasi biasa itu menguapkan seluruh konsentrasinya begitu saja. Bahkan buku yang tepat berada di samping gelas di sana tergeletak malang, posisinya seolah baru saja disingkirkan oleh sesuatu yang lain. Sejujurnya, bukanlah nilai keindahan dari guci itu yang sudah mencuri perhatian. Tapi, lihat, benda satu itu ... tertutup rapat.
Bagaimana ia bisa tahu? Tentu saja, dengan segala rasa penasaran yang telah mendarah daging dalam diri manusia, pemuda itu pernah berusaha membukanya. Mengapa? Bukankah itu hanya sebuah guci kuno pasaran? Tentu saja, pernyataan itu tidak sepenuhnya salah. Karena kisahnya menjadi lain ketika semua penjuru kota memanggil benda itu dengan sebutan ...
“Kotak Pandora.”
Kepala menoleh ke sumber suara yang telah mengusiknya.
“Kau selalu memandanginya, tidak bosan?”
Seorang gadis melepaskan celemek untuk kemudian menempatkan diri di sebuah bangku yang berhadapan dengan lawan bicara. Lelaki yang dimaksud menilik seluruh isi ruangan setelah gadis itu diperhatikannya sebentar, hanya ada mereka berdua sekarang. Jam di pergelangan tangan diperiksa spontan, pukul 9 malam.
“Cafe sudah aku tutup,” ucap gadis itu, seolah mengerti apa yang tengah dipikirkan pengunjungnya.
Pemuda dengan rompi tanpa lengan di sana mengernyit, “Ada apa? Belum waktunya, kan?”
Tangan dilipat sebelum ia membalas, “hanya ingin menemani seorang teman yang kesepian, tak apa, kan?
“Toh kita sudah lama tidak mengobrol,” ujarnya lagi sembari mengendikkan bahu dan tersenyum.
“Ya, semenjak kau meneruskan cafe ini dan bersikeras tak akan merekrut seorang pun tuk dijadikan pegawai.” Lelaki dengan surai hitam itu ikut melipat tangan dan mengulas sebuah senyum.
Gadis berkemeja kotak-kotak itu lantas terkekeh. “Jadi kau mau bekerja paruh waktu di sini? Of course, aku tidak keberatan jika itu kau,” ucapnya bergurau.
KAMU SEDANG MEMBACA
DISTOPIA (Jitsui × Reader)
FanfictionDunia indah dengan segala yang ia miliki. Damai akan menjadi puncak di atas kata hidup ketika kesengsaraan hanya sebatas dongeng. Katakanlah, para manusia takkan mengerti. Dengan segala ketamakan yang telah mendarah daging dalam diri, hanya masalah...