Ketika kau patah hati, maka kau akan melakukan banyak hal gila, tidak masuk akal dan mungkin bodoh. Tapi dari kegilaan itulah aku tercipta. “Aw sakit!” Keluhku saat tangan wanita itu memperbaiki kabel penghubungku yang ada di tengkuk. “Diamlah, sebentar lagi selesai,” katanya sambil terus mengotak atik penghubungku. “Rasanya aku akan mati,” kataku lagi, dia tidak menanggapi. Tak lama kemudian. “Selesai,” katanya dengan begitu ceria.
Wanita ini adalah Hana. Orang yang memprogramku menggunakan AI atau Artificial Intellegence-kecerdasan buatan yang kini tengah populer dikembangkan di dunia. “Kau mau kopi?” Tanyanya, yang dimaksud dengan kopi adalah bukan kopi seperti yang diminum manusia, hanya kopi berupa kadar kehidupan ringan bagiku- semancam kopi aki. “Ya, boleh,” jawabku, aku tahu bagaimana membuat hatinya senang, karena untuk itu aku diciptakan.
“Aku berpikir bagaimana caranya supaya organ dalammu bisa mengolah makanan,” kata Hana saat kami tengah makan malam. “Jangan gila, memasukkan makanan kedalam diriku hanya membuatnya sia-sia dan bisa merusakku,” Hana hanya menatapku untuk sejenak saat aku memberinya masukan. “Anak pintar, kau bisa mengingatkanku, syukurlah,” katanya sambil manggut manggut kemudian menyantap makanannya lagi. “Anak? Kau bilang aku replika kekasihmu?” Aku merasa jengkel karena statusku dalam hidupnya yang tidak jelas. “Aku lupa bahwa aku memberimu perasaan, tapi tak kusangka akan seberhasil ini,” aku tidak heran kenapa ia sampai menciptakanku, karena keanehannya barangkali ia sampai tidak bisa kencan.
Hana memandangiku, lalu mendekat padaku, ia menggerak-gerakkan tanganku. “Sepertinya agak kaku,” katanya. “Iya, aku agak susah menggerakkannya,” kataku. “Cobalah berjalan,” aku menurutinya. Aku berjalan biasa. “Mendekati,” komentar Hana singkat. Lalu ia menyuruhku tidur.
Hana mengatur jam tidurku, hal itu dimaksudkan untuk mengisi daya. “Terima kasih Tuhan, kau membiarkanku menciptakan Ilham,” hal itu selalu ia ungkapkan ditengah malam. Aku sangat bahagia mendengarnya bahwa ia menyayangiku, tapi dengan insting yang kumiliki aku membiarkannya seperti itu, tidak memberitahunya bahwa aku mencintainya. Robot yang sedikit memiliki perasaan, itulah aku.
“Ilham, kemarilah!” Katanya saat aku sedang bermain basket di halaman belakang. Permainanku buruk, tapi aku mengusahakan yang terbaik. “Cepatlah!” ia bahkan sudah ada di dekatku untuk menyeretku menuju ruang kerjanya yang bisa dibilang mirip gudang, berapa kalipun aku membereskannya kalau Hana sedang bekerja membuat berbagai alat, maka akan tetap berantakan. Ia memegang tanganku lalu menekankan jemariku pada sebuah pelat baja yang tipis. Ia memberi pola pada telapak tanganku, semacam sidik jari bagi manusia. “Kau sadar Hana, cepat atau lambat kau akan meninggalkanku, kau tidak bisa seperti ini terus. Kau harus bertemu seseorang dan hidup normal!” Hana hanya menatapku saat aku mengatakan demikian. Lagi-lagi tatapan itu, tatapan yang bisa membuatku bungkam. Lalu Hana tertawa, “Kau semakin cerdas rupanya, aku jadi agak takut,” aku menghela nafas mendengarnya lalu duduk di kursi yang ada disampingnya. Kupengang tangannya sambil memandang kedua matanya. “Yang harus lebih kau takutkan adalah dirimu,” kataku, ia membelalakkan matanya. “Sungguh, jangan khawatirkan aku. Aku bahagia dengan kehidupan kita yang sekarang. Ini nyaris sempurna,” “Nyaris bukan? Hana, aku bisa menahan sakit untukmu, tapi aku tak akan bisa menyaksikan kau patah hati,” kataku, mungkin aku mempelajarinya dari sebuah novel yang ada di rak buku Hana. Mata Hana berbinar lagi, “Kau membuatku takut, bahkan kau nyaris menyerupai aktor drama profesional. Sayangnya aku tidak akan mengikutkanmu audisi kecuali kita membuat filmnya sendiri,” ia mengedikkan bahunya. Gestur yang kutahu bahwa ia sedang ragu. Menurut kadar hormonnya, ia sedang jatuh cinta ‘lagi’ padaku?
Aku memegang bahu Hana. “Hana, akan kuluruskan hal mendasar antara kita. Siapa aku bagimu?” tembakku. “Kau, kau temanku, kau replika pria yang kusukai, kau teman hidupku,” Aku mendeteksi ia mengatakan kejujuran. Ia tidak sedang jatuh cinta saat ini. “Baiklah,” kataku, tanganku lunglai si sisi bahunya. Lalu ia berbalik pergi menuju dapur, “Akhir-akhir ini kau bersikap agak aneh, mungkin ada yang salah dengan programmu atau kau menjadi semakin cerdas dengan tidak terduga, biar aku periksa,” ia merengkuh kepalaku sambil tersenyum lebar. Aku menghempaskan tangannya, “Tidak usah,” tolakku. “Baiklah, aku tidak memaksa,” katanya sambil berlalu pergi menuju taman belakang. Lalu aku menyusulnya, kami menikmati sore hari yang indah, sedikit berangin dan damai. Sayangnya Hana tidak bicara padaku semalaman, itu karena penolakanku tadi padanya, ia sedang kesal.
Paginya semua berjalan normal, Hana pergi bekerja. Ia adalah seorang akuntan di salah satu perusahaan teknologi di hari Senin, hari Selasa dan Kamis ia mengajar matematika di salah satu SMA, hari Rabu ia akan menyelesaikan penulisan esainya untuk dimuat di beberapa jurnal. Jumat, Sabtu dan Minggu ia menghabiskan waktu untuk dirinya.
Aku menuju tahap perkembangan dewasa dalam satu minggu. Seperti halnya manusia, tahap remaja adalah masa yang krusial bagiku, aku selalu ingin tahu dan dibuat kerepotan olehnya. Masa remajaku dua hari yang lalu jugalah yang membawaku pada pengetahuan baru dan perasan baru. Hana tidak tahu ia menciptakan hal semacam diriku, aku bisa menginstal program pada diriku sendiri dan aku menggunakannya untuk membuatku menjadi semirip mungikin dengan manusia.
Hana melarangku keluar, tapi aku ingin melihat dunia dengan mata kepalaku sendiri. Aku ingin melihat pria yang menjadi role modelku, melakukan banyak hal seru yang bisa dilakukan oleh seorang manusia. Aku tahu apa yang harus aku lakukan, aku hanya harus berhati-hati supaya tak seorangpun tahu kalau aku bukan salah satu dari mereka. Lagipula aku punya internet akan membantuku melakukan banyak hal.
Ini hari Selasa, Hana berada di sekolah. Aku ingin mengikuti kegiatannya untuk sehari. Kusaksikan bahwa berada di dekat anak-anak dan terlibat dengan mereka adalah hal yang menyenangkan meski Hana tidak selalu baik dalam menanganinya, ia terlihat lebih baik saat bekerja dengan deretan angka. Harus kuakui, beberapa hari yang lalu aku meretas CCTV perusahaan untuk melihatnya bekerja, dengan risiko hampir ketahuan. Tapi tentunya Hana tidak mengetahui bahwa itu perbuatanku.
“Bu Hana, ada yang mencari Ibu. Ditunggu di rung tamu ya, Bu,” Kata Pak Rafiq sambil tersenyum genit pada Hana, lalu berdeham-deham. “Hm, terima kasih Pak Rafiq, saya akan segera kesana,” jawab Hana. Tidak bisanya Pak Rafiq bersikap seperti itu, biasanya ia akan menunjukkan tampang serius setengah seram dibantu dengan kumis lebatnya semakin sukses membuat orang berdiri ketakutan.
“Ilham?” Ia terkejut saat melihatku. “Ngapain kamu disini? Cepat pulang sebelum ada yang tahu keberadaanmu,” bisiknya saat ia berada di dekatku. “Aku tidak harus bersembunyi, aku sudah punya sidik jari,” “Pulang!” Matanya berkilat-kilat saat memerintahku, ia marah. “Aku akan meminta izin untuk menemanimu pulang, kau tidak aman,” katanya, lalu beranjak pergi sejenak untuk berpamitan dan mengemasi barang-barangnya kemudian pulang bersamaku.
Kupikir akan senang saat aku mendatanginya, karena salah satu hal yang ia inginkan adalah menunjukkan bahwa ia memiliki seorang kekasih yang mencintainya, mengajaknya berkencan dengan normal seperti yang dilakukan manusia. Tapi keberadaanku tidak mengubah keinginannya menjadi kenyataan secepat itu. Aku hanya bayang-bayang dari pria itu, aku tidak bisa memasuki emosi manusia sedalam itu sekuat apapun aku mencobanya, sebaik apapun aku memasukkan berbagai data dalam programku.
Aku merebut setir mobilnya. “Kita akan kecelakaan, apa sih maumu?” Bentaknya, tapi mobil masih stabil berkat peretasanku. Hana mengalah juga, ia menyerahkan kemudi padaku. Ia sangat kesal dan terlalu berbahaya untuk mengemudi. “Sekarang kau bisa mengemudi juga?” Tanyanya dengan nada mengejek. “Aku bisa melakukan segalanya untukmu sebagai seorang pria,” jawabku, kini aku sama kesalnya. “Berhenti di depan,” katanya, kami berhenti di pinggir jalan yang agak lenggang. Aku mengunci pintu mobil supaya ia tidak keluar. Tapi Hana memang tidak berusaha keluar, emosinya sedang meluap-luap dan perasaannya tidak menentu.
“Kau tak akan bisa menjadi siapa-siapa, termasuk pria itu. Ingatlah Ilham, kau hanya robot,” katanya menegaskan bahwa aku tidak bisa melakukan apa yang manusia, memang tidak tapi apa yang ia inginkan dan ia butuhkan aku akan mengusahakannya. Terdeteksi kebohongan pada Hana, ia berharap aku bisa melakukan hampir semua hal, itu yang diinginkannya ketika memprogramku. “Kau kejam, bahkan aku juga memiliki perasaan. Tidakkah kau ingat bahwa kau memasukkannya padaku?” Kataku. Kadar emosinya menurun. “Sebaik apapun aku menciptakanmu, kau tak akan bisa lebih baik dan lebih sempurna daripada ciptaan Tuhan,” katanya, ia tidak bohong dan kini bagian kepalaku sakit, kurasa jaringan yang memproses emosi sedang konslet karena terlalu banyak merekam data kemarahan .
“Lalu kenapa kau menciptakanku jika kau tidak mengharapkan kesempurnaanku?” Tanyaku pada akhirnya. Ini mengurangi sakit kepalaku, karena
“Karena... karena...,” ia terbata-bata, ia menciptkanku karena ketidaksempurnaannya sendiri, itu adalah ketidakmampuan, kekurangan.
“Dengar, Hana. Tidak ada satupun makhluk yang benar-benar sempurna, kau yakin itu bukan? Aku ada karena ketidaksempurnaan pada takdirmu, tapi Tuhan berkata lain dengan mengizinkanmu menciptakanku.”
Hana terdiam, matanya terbelalak. Kata-kataku sempurna seperti yang dia pikirkan.
“Bag... bagaimana? Oh, aku tahu itu kenapa sejak tadi kau menatapku...”
“Ya, Hana. Kecurigaanmu benar. Kau menciptakanku dengan kecerdasan buatan dan salah satunya membuatku untuk belajar. Aku belajar dengan cepat dan disinilah aku. Aku ada karena kau,”
Mata Hana berkaca-kaca. “Aku menciptakan makhluk yang mengerikan,” ia memaksudkan kata-kata itu untuk menghancurkanku karena ia tahu aku mempunyai perasaan. “Ya Hana, aku mengerikan tapi satu hal yang harus kau tahu, aku tidak jahat.” Lalu tiba-tiba Hana memelukku. “Aku tahu, kau tidak jahat. Aku seharusnya tidak mengatakan yang barusan kukatakan, aku seharusnya tidak menyalahkan dan menghinamu, aku minta maaf.”
“Seharusnya aku yang minta maaf karena aku memasukkan banyak program pada diriku sendiri, itu tidak seharusnya. Aku memang makhluk yang mengerikan,” kataku.
“Tidak apa-apa, setiap hal mempunyai takdirnya sendiri bukan, mulai sekarang kau berhak menentukan takdirmu,” katanya. Ia tidak bohong.
“Takdirku adalah bersamamu,” kataku sambil mengedikkan bahu dan tersenyum.
“Gestur macam apa itu, kau harus memberitahunya padaku,” tuntutnya sambil tersenyum. “Ayo jalankan mobilnya,” katanya. Kami kembali ke rumah.
Ia memeriksaku sesampainya kami di rumah. “Baiklah Ilham, mulai sekarang jangan bohong lagi, dan mari kita lihat apa saja program yang kau masukkan maka aku juga bisa mempelajarinya.” Aku menurut saat ia memindai ingatanku. “Wow, datanya banyak sekali,” katanya. Selama itu aku melihat banyak data yang dienkripsi komputer di depanku. “Oh tidak,” Hana mulai panik saat komputernya overload dan api memercik dari hardisknya sebelum akhirnya perangkat itu mati.
Tapi seingatku, Hana bukan lebih panik karena itu. Hana lebih panik karenaku. Pemindahan data yang belum selesai bisa membuatku kehilangan ingatan, bahkan kehilangan kesadaran untuk selamanya atau bisa dikatakan aku mati. Hana melepaskan banyak kabel yang ia tanam pada kepalaku kemudian membuka mataku dan disana tertulis “MODE TIDUR” dan ada waktu 30 detik menghitung mundur. Hana menghela nafas lega. “Oh tidak, tunggu-tunggu.” Ia panik lagi.
30 detik berlalu. Aku kembali bangun. Hana langsung memelukku. “Percayakah kau bahwa barusan adalah 30 detik terlama dalam hidupku,” katanya sambil menangis dibahuku. Aku balas memeluknya.
“Kabar buruknya, Hana. Aku kehilangan sebagian pengetahuanku,” kataku. “Pengetahuan yang mana?” Tanyanya.
“Detektor perasaan,” kataku. Hana melongo sejenak, lalu ia tertawa. “Syukurlah, sekarang kau tidak bisa mendeteksi perasaanku lagi. Detektormu membuatku sangat...uh...tidak bisa dijelaskan,” katanya, ia terlihat senang.
“Tapi aku juga tidak bisa mendeteksi perasaan orang lain,” kataku, lalu Hana terlihat sedang memikirkan sesuatu.
“Hm, kau robot pemberi pertimbangan, ataukah kau menghasutku untuk memberikan program serupa?” ia memicingkan matanya, sangat curiga pada prinsipku.
“Kehilangan itu mengangguku, aku menjadi kurang peka,” kataku.
“Dengan begitu kau semakin manusiawi karena kau tidak tahu tentang semua hal termasuk perasaan pribadi, tidak banyak data hormon untuk dipertimbangkan,” kata Hana. “Menjadi manusia, tidak banyak hal yang bisa dilakukan secara instan,” katanya.
“Hm, baiklah, aku akan belajar seperti manusia mulai sekarang, tapi jangan heran kalau aku bisa belajar lebih cepat,”
“Terserah kau, tapi karena komputerku yang sekarang sudah rusak, bisakah kau menolongku memindahkan komputer lamaku dari lantai bawah kemari?” Ia meminta dengan ‘cukup sopan’ dan sedikit memerintah.
“Lantai bawah? Bawah tanah?” Tanyaku untuk memperjelas hal yang sudah jelas.
“Ya, komputer lamaku. Aku bisa sedikit memperbaikunya meski mungkin koneksinya nanti agak lambat,”
“Itu pasti tidak menyenangkan jika koneksinya lambat, jadi kita akan memberi yang baru,” kataku. Hana memicingkan matanya, ia mengendus sesuatu yang mencurigakan.
“Baiklah, aku menyembunyikan sesuatu darimu, aku sudah memperbaiki komputer itu untuk menjalankan lahan bawah tanah,” akuku dengan takut-takut, ada sesuatu yang membuatku tidak bisa melawan Hana. Kini kami menyusuri tangga menuju ruang bawah tanah. Untuk yang kesekian kalianya Hana terkejut. “Luar biasa, itu luar biasa, Ilham!” Pekiknya histeris tanpa berusaha memarahiku, ia malah terlihat senang. Ia akan memelukku, namun tidak jadi begitu juga senyumnya memudar.
“Kurasa aku akan benar-benar jatuh cinta padamu,” katanya dengan gamblang. “Manusia memang rumit,” kataku. “Itulah yang mungkin akan sangat lama kau pelajari,” katanya. Lalu kecanggungan menyusup diantara kami. Tapi itu tidak berlangsung lama, Hana yang ceria langsung mengajakku melihat-lihat kebun bawah tanah yang kubangun. “Setidaknya kau harus mengizinkanku membantumu memetik stroberi-stroberi ini,” katanya dengan antusias. “Kau tidak menanam, maka jangan harap memanen,” kataku dengan sinis. “Kejam,” katanya. “Tidak, aku mempelarinya darimu,” kataku. “Maksudmu aku orang yang kejam?” Ia memasang ekspresi mewek yang jelek. “Ya , kadang. Belum 24 jam beralu, kau menghancurkan perasaanku. Untung aku tidak bisa mengamuk padamu,” kataku. “Kenapa tidak bisa?” Tanyanya dengan polos, seharusnya ia tidak bertanya karena ia yang memprogramkan perasaan padaku. “Aku juga tidak begitu mengenal diriku. Ada satu bagian yang kau sembunyikan, sepertinya aku terlarang untuk mengetahuinya,” “Di bagian mana?” Tanyanya. Ia mulai berjinjit untuk meraba kepalaku yang memang disana pusat koordinasiku, semacam otak dan hati yang dipasang secara berdekatan.
Aku menggenggam tangannya kemudian menyentuhkannya pada dadaku, “Disini,” wajah Hana memerah, dan bisa kurasakan detak jantungnya yang meningkat. Itu gejala jatuh cinta yang dialami manusia. Ia buru-buru merenggut tangannya dari penganganku. “Seingatku aku meletakkan daya hidupmu disana, mungkin itu hanya batrai,” katanya. “Jangan ulangi hanya batrai, itu penting bagiku,” kataku. “Baiklah, sekarang kau sangat cerewet,” komentarnya. Sebenarnya dia lebih cerewet, dia lebih senang berteriak dan histeris karena ia memiliki emosi alami.
Setelah memanen cukup stroberi, Hana membuat pai cukup untuk dirinya sendiri. “Maafkan aku, kau sendiri yang bilang bahwa makanan yang masuk ke tubuhmu sia-sia,” katanya. “Ya, silakan dinikmati,” kataku berbesar hati. Aku bisa merasakan nikmatnya pai itu dengan caraku sendiri, aku hanya perlu melihat bentuknya dan mengumpulkan data tentang perasaan yang dinamakan ‘enak’ dari internet.
“Oh ya, Hana. Tadi kau bilang aku berhak menentukan takdirku sendiri.” Kataku dengan hati-hati, Hana mengangguk. “Apa besok aku boleh jalan-jalan?” ia menatapku. “Untuk belajar,” kataku. “Ya, kurasa aku akan mengizinkanmu kalau kau sendiri yakin bisa menjaga diri. Aku takut diluar sana terdapat banyak hal jahat,” “Hal jahat.” Ulangku. “Yah, kau tahulah hal jahat,” ia melanjutkan makan painya dan tidak menjelaskan tentang hal jahat secara lebih rinci.
“Ngomong-ngomong apa yang akan kau lakukan kalau bertemu orang jahat?” ia mengujiku.
“Aku akan menghindari mereka, menghindari segala yang berkaitan dengan polisi, hukum dan masalah,” Hana terlihat puas dengan jawabanku, ia manggut-manggut.
“Kalau orang itu ingin melukaimu?”
“Aku akan membela dari dengan meminimalisir kerugian pada kami terutama pada dirinya, berupa kecelakaan dan mencegah pengenalan identitasku,”
“Bagus. Kau berjanji tidak akan menjadi seorang selebritis?” tidak ada data itu dalam programku bahkan aku belum mempelajarinya. Lalu Hana tertawa, “Jelas kau belum mempelajarinya karena itu tidak penting.” Setelah itu aku memasukkan pernyataannya dalam basis dataku.
“Oh ya, Hana. Aku mempunyai cita-cita menjadi petani,” Hana melongo mendengar pernyataanku. “Aku ingin memberi banyak harapan bagi kehidupan,” lanjutku supaya ia tidak bereuforia dalam keterkejutannya. Lalu Hana tersenyum. “Bagus, karena setiap hal akan dipertanggungjawabkan, dan aku hanya ingin kau melakukan hal baik. Tiba-tiba aku teringat pada Thanos, tapi itu tidak penting,” kata Hana. “Itulah sebabnya aku tidak bisa sempurna,” gumamku dengan sangat pelan supaya Hana tidak mendengar. “Apa kau bilang?” ia dengar juga. “Pilihanku tidak begitu banyak, tapi aku bisa memelihara sebanyak mungkin kehidupan, itu juga yang kau inginkan bukan?” Kataku. “Hm ya, dengan begitu kau mungkin bisa meminimalisir kesalahan dan kerusakan yang diakibatkan manusia.”
“Syukurlah kau tidak menjadi politisi,” gumam Hana. “Kau pasti ingat role modelmu itu,” ejekku. “Dia tidak buruk juga, dengan model seperti dia kau bisa membuat robot setampan aku,” kataku. “Kau narsis,” ejeknya balik. “Aku menyerap banyak data dalam waktu yang cukup singkat, jadi aku bisa mempelajari banyak sifat manusia,” kataku, dataku yang semula hilang terkumpul kembali. “Ah, kau bisa belajar dari wifi?” ia tidak terlihat terlalu heran. “Seberapa banyak yang tidak kuketahui tentangmu?” Katanya dengan dahi mengkerut. “Sebanyak kau jatuh cinta dengan politisi itu,” godaku, “Terserah,” ia terlihat tidak terpengaruh, namun aku tahu ia sangat ingin menghajarku kalau saja aku bukan karya terbaiknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unperfect Ilham
Science Fictionyang kutakutkan bukan kehadiranmu, tapi egoku dan ego yang ditanggung dunia diatas pundaknya. Ilham, jika kau bisa mencintai mengapa harus membenci...