2. Aku dan Keseharianku

17.1K 801 2
                                    

Aku bukan seorang gadis yang tidak punya gengsi, gengsiku cukup tinggi. Melihat pendidikanku yang sudah tamat strata satu.

Orangtuaku pun hidup berkecukupan meskipun bukan tergolong konglomerat, mereka memiliki pendidikan yang cukup tinggi hingga dengan percaya diri bisa hidup tanpa mengemis. Mereka seusia Bi Lisa andai masih hidup.

Aku bertemu dengan suamiku ketika aku tinggal bersama tante Reina yang sudah ku anggap mama sendiri. Beliau adalah mama kak Tara, calon suamiku dulu yang meninggal tepat satu minggu sebelum resepsi kami.

Mertuaku datang bersama kakak laki-laki dari suamiku yang bernama Hendra ke rumah menyampaikan lamaran, mereka menunjukkan sebuah foto yang hingga kini terselip di buku agendaku.

Aku menyukainya, sejak pertama kali aku melihat fotonya. Di foto, tergambar garis-garis wajah yang halus dan berwibawa. Sama sekali tak nampak sosok ringan tangan di sana. Aku yang sedang patah hati sepatah-patahnya dengan gelap mata, langsung menerima lamaran itu.

Dan disinilah aku, terjebak di kehidupan yang kosong selama hampir dua tahun. Aku tidak diperbolehkan keluar rumah. Tapi karena aku sudah hapal betul rutinitasnya yang selalu berangkat pukul 08.00 dan pulang pukul 21.00, aku sering curi-curi waktu untuk bekerja part timer di sebuah klinik milik istri dari kakak iparku sebagai receptionist. Nah, diakhir jam kerjaku, aku sering konsultasi mengenai luka-luka di sekujur tubuhku. Itulah sebabnya aku masih bisa bernapas normal saat ini.

"Lipstikmu terlalu tebal hari ini Mel, aku tahu dia habis menamparmu lagi kan?" tanyanya penuh selidik, aku sengaja mempertebal dandananku sebelum masuk ruang prakteknya.

"Hehehe.." aku balas dengan tertawa canggung sambil menggaruk tengkuk yang tak gatal. Tidak mengiyakan dan tidak mengelak, begitulah. Mengalirlah cerita panjangku tentang segala hal, tentang suamiku, dan masih banyak lagi.

"Lihat, bahkan dia tidak memberimu kamar yang layak, malah memberimu kamar pembantu. Padahal dia bisa menyuruhmu menempati satu dari sekian banyak kamar tamu di rumahnya," dengusnya kesal, mulai deh.

"Ambil positifnya saja Fen, kalau aku disana kan lebih mudah mengkoordinir kegiatan di dapur. Lebih mudah juga menyiapkan pelayanan sempurna tanpa cacat untuk suami tercinta, hehehe" dalihku sambil bercanda.

"Kamu tidak menuntut cerai saja Mel?" tanya Feni sambil mengoleskan cairan antah brantah ke lebam di lengan kananku bekas pukulan tongkat baseball.

"Sudah berapa kali kamu tanya itu Fen, dan berapa kali aku harus jelaskan ulang. Terakhir aku minta cerai padanya enam bulan lalu dan aku berakhir koma delapan hari. Kamu kan yang merawatku?" jawabku gemas.

"Kalaupun kamu tidak mau cerai dengannya, setidaknya biarkan Hendra kakak iparmu tahu Mel," bujuknya lagi. Ya, tidak ada keluarga suamiku yang tahu.

"Kamu kasih tahu Hendra, kemudian sehari setelahnya kamu sudah melihatku koma di rumah sakit lagi, Feni" jawabku diakhiri kekehan.

"Kamu terlalu apatis pada dirimu sendiri Mel.."

"Bukan aku tak peduli, namun begitulah rahasia hati. Kesabaran akan menjernihkan air yang keruh sebagaimana kegaduhan membuat air berkecipak,"

"Kalau aku jadi kamu Mel, mungkin sudah bunuh diri dari dulu, kamu sabar banget sih,"

"Hahaha.. dia pernah bilang kalaupun aku mati, mesti mati di tangannya, buat apa juga aku bunuh diri?" aku tersenyum getir.

Feni sudah selesai mengobati lukaku, dan sekarang aku mengancingkan kemejaku satu-satu. Aku sudah bersiap membawa tas selempang di bahu kanan, ketika ku sadari waktu sudah menunjukkan pukul 19.00. "Aku pamit dulu ya Fen, oh iya, biaya hari ini potong saja dari gajiku, dah.." ucapku sambil membuka pintu keluar klinik yang sudah sepi ini.

"Mana tega aku memotongnya Mel, uang untuk beli sabun saja kamu berjuang seperti harus keluar kandang singa," Feni berkata sambil bersedekap menyandarkan tubuhnya di meja receptionist menatapku iba. Aku kembali memutar tubuh, menepuk-nepuk pundaknya menyuruhnya seolah harus tegar menjalani hidup ini. Bah.. lihat saja ini, siapa yang sedih siapa pula yang dihibur. Kok lucu ya, orang-orang di sekitarku.

Aku tiba di istana suamiku yang bergaya Eropa dan mendapati mobilnya sudah terparkir manis di garasi rumah.

"Mati aku," gumamku lirih sambil menatap jam tangan di pergelangantangan kiri, jarum-jarum itu menunjukkan angka 19.21. Aku menepuk jidatku,memutar arah ke samping rumah. Inilah kalau aku sudah mulai curhat-curhat dengan Feni aku sering lupa waktu.

Dan kenapa juga si tuan besar sudah ada di rumah, tidak seperti biasanya. Aneh. Apa jangan-jangan dia sudah tahu kalau aku sering keluar rumah? Habislah riwayatmu Melodi Feira.

SUAMIKU BACK TO NORMAL [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang