Tatapan tajam bocah perempuan kecil dengan rambut ikal dikucir asal-asalan itu terus-terusan mengikutiku dari saat aku menapaki anak tangga pertama.
"Apa?" tanyaku risih dengan tatapannya.
"Kamu jelek! Kamu jangan deket-deket kak Iki!" ucapnya ketus, tapi pipinya yang memerah dan raut muka cemberutnya membuatnya semakin menggemaskan. Ingin rasanya aku mencubit pipinya dan membenarkan ikat rambutnya.
"Kak Iki? Siapa? Rezky?" tanyaku acuh sambil membuka tali sepatu, lalu meletakkannya ke rak biru samping pintu kamar kosan, aku baru sadar ada rak sepatu di sana.
Dia mengerucutkan bibirnya, hingga dengan wajahnya yang bulat pipinya yang merah muda benar-benar membuatnya mirip boneka lucu yang pernah kulihat di etalase salah satu toko boneka di pusat perbelanjaan Bandung. Aku sungguh ingin menculiknya dan menyimpannya di kamar.
"Iya. Kak Iki! Dia kakak aku!" jawabnya dengan raut muka kesal.
"Kalau kamu deket-deket kak Iki, aku bilangin ke Ibu!""Emang kamu mau bilang apa?" tanyaku sambil tertawa mencibir mendengar ancamannya.
"Aku bilangin kamu pacaran sama kak Iki!" ancamnya sambil tersenyum, merasa dirinya menang. Aku hanya mengangkat sebelah alis.
Dasar bocah.
"Emangnya kakak-mu mana? Aku nggak deket dia tuh," cibirku, sambil menengok kanan-kiri sebelum aku masuk meninggalkan bocah lucu itu.
Kutumpuk lima buku yang kupilih dari jajaran rak di atas meja. Kubuka salah satunya, dan kubaca dengan serius. Ternyata perpustakaan desa ini tak begitu mengecewakan. Selain menyediakan buku-buku pelajaran dan hiburan seperti novel, komik, resep masakan, dagelan lucu (yang tidak lucu lagi), di sini aku juga menemukan beberapa buku tentang komputer, coding, dan pemrograman menggunakan berbagai bahasa komputer. Juga terdapat beberapa buku kesehatan dan buku musik, meski aku tak begitu tertarik dengan kedua jenis itu.
"Boleh aku pinjem buku yang itu, bentar?" tanya seseorang, mengagetkanku. Aku mendongak setelah menandai batas yang kubaca, ternyata Rezki, dia berdiri di depan mejaku, tangannya menunjuk ke salah satu buku yang kutumpuk di meja. Buku dengan sampul bergambar not-not balok.
Aku hanya mengangguk, lalu memberikan buku itu padanya. Kukira dia akan pergi dengan buku itu, tapi ternyata dia hanya pergi untuk mengambil sebuah kursi, lalu kembali dan duduk di depanku. Dan, itu sungguh membuatku tak nyaman. Apalagi mengingat ancaman adiknya saat aku pulang sekolah tadi.
Kami diam dengan aktivitas masing-masing. Dia sesekali mencorat-coret buku catatannya, tapi aku tak peduli.
Hp-ku bergetar, sms masuk dari seseorang. Saat ku buka, ternyata dari Dini yang meminta maaf tak bisa datang ke perpus. Dan aku makin tidak nyaman. Setidaknya, dengan adanya Dini, aku bisa mendengarkannya mengoceh, dan bisa menyelamatkanku dari situasi tidak nyaman ini.
Akhirnya aku melirik catatannya, karena aku agak penasaran. "Kamu, bikin not? Musik?" tanyaku, mengamati buku catatannya yang penuh gambar-gambar not yang sama sekali tak kumengerti.
Dia mengangguk. "Aku sering nyampur nada-nada, nanti di rumah tinggal main dan edit pake piano," jawabnya.
"Kamu suka musik genre apa?" tanyaku. Kini aku benar-benar mengabaikan buku coding yang tengah kubaca, perhatianku sepenuhnya teralih padanya. Bukan... bukan karena aku tiba-tiba jatuh cinta... percayalah. Tapi aku mendadak punya ide brilian untuk memanfaatkannya.
"Aku suka semua genre," jawabnya. Dia tetap pada buku-bukunya, meski kini dia menggambar tak selancar sebelumnya.
"Mau buatin aku musik? Buat game. Kamu pernah main game kan? Nah, di game biasanya ada musik pengantar, juga ada musik pengiring permainan, ada musik yang menandakan menang dan kalah," jelasku. Semoga dia mengerti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dunia Paradis
Teen FictionIsti Melisya Anwar Seorang remaja introvert jenius yang selalu menyembunyikan kejeniusannya, mengasingkan dirinya sendiri ke pelosok desa untuk menghindari orang-orang yang mengenal dan dikenalnya. Dalam kesendiriannya, dia menciptakan sebuah dunia...