"Pa! Aku mau ke rumah Leon dan makan malam di sana," ujar Nero dari balik pintu kayu bercat putih.
Rumah itu memang di dominasi warna putih. Mulai dari dinding, plafon hingga sebagian besar furniturnya, kecuali lantai parket yang dibiarkan berwarna alami, cokelat. Perang dingin keduanya belum usai. Tapi jelas satu hal, sifat keras kepala gadis itu diperoleh dari siapa.
Nero tengah berada di atas sepedanya, saat pria dengan kaos oblong kuning dan celana pendek hitam berdiri diambang pintu. "Usahakan pulang sebelum jam delapan. Ada yang mau Papa tunjukkan padamu."
Gadis itu hanya memberi isyarat dengan jempolnya, lalu mengayuh kendaraan beroda dua itu dengan mantap.
***
Beep.. Beep.. Beep
"Hai Nero, apa kabar? Ayo masuk!"
Suara riang Marine langsung menggema, saat mengetahui Nero yang berkunjung. Marine adalah adik sepupu Leon. Usia mereka hanya selisih setahun.
"Leon sudah menunggumu dari tadi. Dia ada di halaman belakang bersama Papa," ujar Marine tanpa henti.
Gadis berambut cokelat itu berjalan lebih dulu, Nero mengikuti di belakangnya. Tercium aroma yang sedap. Semakin mendekat area belakang rumah, aroma itu semakin kuat, lalu terlihat asap putih mengudara.
"Sore, Om!" sapa Nero, saat pria paruh baya itu menoleh ke arahnya.
"Hai, Nero! Kemarilah! Pas sekali, kami baru saja membuat ikan bakar. Kau pasti sudah mencium aromanya, kan?" seru Om Jhon sembari membetulkan kaca matanya.
Nero memperhatikan Leon yang masih diam, sama seperti papanya, dan terus mengipasi beberapa sosis di panggangan. Ia mendengar suara samar dari dalam rumah, "Sepertinya itu suara Tante, biar aku yang ke dalam," Nero menawarkan bantuan.
Tak lama gadis berambut hitam itu keluar dengan membawa setumpuk piring. Marine menghampiri dan membantunya membawa sebagian, lalu menatanya di atas meja kayu besar di bawah pohon.
"Biasanya Leon yang membantuku. Apa dia marah karena kemarin?" Ujar Nero dalam hati.
"Sambil menunggu sosis-sosis itu matang, Om tinggal dulu. Marine, ikut Papa!"
Dalam sekejap halaman belakang itu menjadi lengang. Hanya terdengar suara letupan-letupan kecil dari panggangan dan daun-daun yang bergesek karena angin.
"Leon, aku minta maaf soal kemarin. Aku nggak bermaksud meninggalkanmu di sana," Nero membuka suara.
Leon masih diam. Biasanya dia selalu ceria dan cerewet. "Leon, kau masih marah?" ujarnya sambil menghampiri.
Baru saja dua langkah mendekat, tiba-tiba Leon membalik badannya dan, "AAAAAAA...," tubuh Nero terjerembab.
Lelaki berambut cokelat itu bukannya menolong tetapi malah tertawa sembari memegangi perutnya. Ia melempar topeng badut ke depan tubuh Nero yang masih terduduk di rumput.
"Aku pulang!" seru gadis itu jengkel.
"Satu sama. Gitu aja marah, trus ngambek mau pulang."
Nero tak menggubris ucapan temannya, ia tetap melangkah pergi.
"Oke.. Oke.. Maaf yaaa! Aku udah capek-capek masak nih," ucapnya lesu.
"Hahahahaha. Dua-satu."
Nero membantu Leon menyelesaikan masakannya. Setelah siap, mereka berlima bersantap di halaman belakang.
Topik perbincangan malam itu tentang Leon yang menunggu Nero berjam-jam di mercusuar, sedangkan yang ditunggu tak kunjung datang.
Marine menceritakan raut wajah sepupunya yang kesal, saat sesampainya di rumah. Belum lagi bintik-bintik merah yang memenuhi mukanya, karena gigitan nyamuk. Untung saja tante Lucy langsung mengoleskan gel pengurang gatal.
Nero semakin merasa menyesal, telah melupakan janjinya, "Maaf ya. Aku terlalu asyik berenang dengan Dolp jadi aku lupa padamu."
"Dolp? Siapa Dolp? Apa Rudolf anaknya tetangga kita?" potong Marine.
"Aa...mmm.. Bukan.. Bukan.."
Nero menjadi gugup, karena tak sengaja menyinggung Dolp."Rudolp, tapi bukan anak tetangga kita. Dia saudara Nero yang baru datang dari jauh," jelas Leon.
"I..iya sodaraku," timpalnya.
Sisa percakapannya diisi oleh lelucon Om Jhon seperti biasanya, walau tak lagi lucu karena ia kerap kali mengulang joke yang sama.
***
Sesuai janjinya, Nero harus kembali sebelum jam delapan. Saat ini jam dinding menunjukan pukul tujuh lewat empat puluh, ia pun berpamitan pada keluarga Om Jhon dan berterima kasih atas makan malamnya.
Om Jhon, tante Lucy dan Marine, mengantar Nero hingga halaman depan, Leon akan menemaninya pulang dengan bersepeda.
"Thanks ya, udah bantuin tadi."
"Yang mana?"
"Tentang Dolp."
"Oo. It's Ok."
"Nanti akan kukenalkan pada Dolp, sesuai janjiku kemarin."
"Oke. Janji ya? dan jangan tinggalin aku sendirian di mercusuar lagi!"
"Oke..oke!"
Sesampainya di depan rumah Nero, Leon langsung berpamitan dan meminta maaf karena tidak mengantarnya ke dalam. Ia titip salam untuk Om Dion, papanya Nero.
Setelah mandi dan berganti pakaian, Nero menghampiri papanya yang sedang memonton tayangan TV. "Pa!" sapanya.
"Nero, Sayang, Papa ingin menunjukkan padamu ini," ucapnya sambil menyodorkan sebuah buku usang bersampul biru kehijauan.
"Itu milik Mama."
Mendengar hal itu, Nero dengan semangat membuka buku itu, namun muncul kecewa dalam raut wajahnya.
"Papa bercanda ya? Buku ini semua halamannya kosong!"
KAMU SEDANG MEMBACA
NERO [Pindah ke NOVELTOON]
FantasyBuat kamu yang ingin baca kisahnya Nero, bisa meluncur ke NOVELTOON ya. Di sana ceritanya lebih lengkap dan detail. Rencananya akan kugabungkn dengan book-2 nya. Linknya lihat di bioku ya. ================================ Apa yang akan kau lakukan...