Rumah sudah terlihat sepi, jelas saja karena jam sudah menunjukkan pukul 23.00. aku meremas kedua telapak tanganku dan beranjak dari kamarku. Dua kali. Sudah dua kali selama pernikahan kami, suami tampanku itu mengagetkanku dengan berdiri mematung di depan kamar. Yang pertama saat aku sedang ganti baju, aish.. itu terdengar memalukan.
Aku berjalan keluar berusaha melewati tubuh tingginya. Tapi nihil. Aku tidak bisa melewati tubuh dengan otot-otot yang liat dan sangat pas di badannya, tidak berlebihan, pokoknya semuanya pas. Ugh.. aku membayangkan bagaimana kalau aku berada dalam rengkuhan tubuh itu, pasti hangat sekali. Oh iya, selama aku menyandang status istrinya hampir dua tahun, kami belum pernah sekalipun melakukan yang "iya-iya".
Yah, alasannya karena memasuki bulan kedua semenjak pernikahan kami, dia berubah dingin dan kejam seperti sekarang, yang ku tahu, karena saat itu dia tahu pacarnya mengandung anak orang lain dan menikah dengan orang itu. Ku pikir, itu wajar saja karena memang pernikahan ini tidak dilandaskan cinta, aku yang sedang patah hati se patah-patahnya karena kematian calon suamiku lalu ibunya datang membawa fotonya, dan voila pernikahan ini berlangsung dibalik semua kepalsuan. Senyum palsu. Tingkah laku palsu. Luka-luka ini nih yang beneran. Hylyh.. aku ngelantur.
"Tutup mulut menjijikkanmu itu," bisiknya tepat di samping pipiku. Bau tubuhnya memabukkan, dan masih memabukan entah hingga kapan. Aku mundur selangkah dan entah kenapa, dua kakiku bertubrukan lalu tanpa terelakkan aku terjengkang ke belakang dengan pantat sebagai tumpuan. Lupakan adegan romantis dan menye-menye ala sinetron. Suami heartless di depanku tidak menolongku sama sekali.
Tulang-tulang minim lemak di tubuh ringkihku memperparah sakitnya proses pendaratanku di lantai. Bibirnya berkedut, tapi lekas dipalingkan mukanya. Haish.. ketawa saja bung, jangan ditahan, ngga enak yang di tahan-tahan. Mau tau cara ketawa? Buka mulut lebar, tarik napas, lihat dinding, dan keluarkan kata "HA..HA..HA", maka kamu akan tertawa karena merasa konyol telah menuruti perintahku.
Aku menatap malas dirinya yang sekarang telah menatapku lagi. "Tuan ada perlu apa ke sini? Bukannya jika tuan butuh sesuatu, tidak perlu repot-repot mendatangi saya di kamar," jelasku pelan tapi pasti.
Ku dengar dia menghela napas sekali, "datanglah ke kamarku," perintahnya dan langsung ku angguki. Itu saja, dan dia melenggang santai ke luar dari kamarku.
Andai aku belum berstatus istri, jalan-jalan ke kamar seorang designer tampan dan terkenal, apa yang terlintas di benak kalian? Mesum? Aish, untuk sementara jangan kata itu dulu, aku tidak mau ketahuan ngeces di depannya. Mungkin beruntung kata yang tepat, tapi tidak tepat karena statusku sudah berganti sebagai "istri"-nya. Aku perlu was-was. Ku hembuskan napasku sekali di depan pintu kayu berwarna cokelat tua, pintu kamarnya. Terakhir kali aku ke sini -bukan sebagai pembantunya, enam bulan lalu, dan itu berakhir aku di rumah sakit dalam keadaan koma delapan hari.
"Semoga kali ini tidak," gumamku dalam hati.
Suara pintu berderit kemudian menyuguhkan pemandangan yang tak asing lagi di mataku, karena tiap pagi akulah orang yang memungut pakaian bekas mereka bercinta. Mereka, suami dan guling hidupnya alias pelacur. Suamiku berbaring santai di tempat tidur king size, hanya berbalut celana kain dan kaos oblong berwarna putih. Hei, kemana kemeja yang kau pakai saat ke kamarku? Kau sengaja melepasnya, eoh? Mau menggodaku? Jeritku dalam hati menutupi jantungku yang megap-megap melihat bentuk tubuhnya yang terlalu hot.
Aku berdiri tepat di samping tempat tidur itu, tidak melakukan pergerakan apapun, takut mengundang amarahnya. Dia memandangiku dari atas ke bawah. "Aku memang sangat jelek, kau tahu? Badan kurus ceking ini sama sekali tidak ada lekukan dan tanjakan apapun. Kalau tak percaya, robek saja piyama hello kitty ini," teriakku dalam hati. Dia bergeser dari tempatnya, menepuk-nepuk kasur kosong di sebelahnya. Aku pura-pura tidak peka.
"Tidurlah disini, di sampingku," ucapnya pelan. Ku turuti ucapannya, aku melapas sandal rumah, menyibak selimut, lalu bergelung di dalamnya masih dalam posisi duduk bersandar pada dashboard. Iyalah aku menuruti perintahnya. Karena memang hanya ada kosakata "iya" dan "baiklah" di kamusku. Jika saja aku dengan sengaja atau tidak, berani berkata "tidak" dan enggan melakukan perintahnya, ranjang rumah sakit begitu hangat memanggilku. Cih.. diktator.
"Ekhemm.." aku berdehem untuk mengusir lidahku yang mendadak kelu.
"Bukan bermaksud lancang tuan, saya mau bertanya, ada perlu apa tuan menyuruh saya kemari dan berbaring disini?"
"Panggil namaku Melodi," desisnya masih menghadap ke depan. Memangnya tembok lebih menarik dibandingkan aku huh? Oh iya, harusnya di bermanja dengan film di ruang teater di malam Sabtu. Apa jangan-jangan sekarang tembok bisa menampilkan film ya?
Stop Melodi..!! dia tadi minta dipanggil apa? Namanya? Lah, memang dia punya nama? Seingatku sejak menikah dia hanya memperbolehkanku memanggilnya tuan. Kecuali di depan ibunya dan kolega bisnisnya aku boleh memanggilnya kakak. Terakhir aku memanggil namanya setahun yang lalu, saat mertuaku menginap disini. Kalau tidak salah namanya Andri atau Andre atau Paijo. Aku lupa.
"Melodi.." nah kan dia manggil lagi. Namaku full, tanpa dipotong-potong. Kurasa ada kupu-kupu terbang di perutku. Aku harus balas panggil dia apa, lah aku memang tidak tahu siapa namanya? Apa perlu aku cari di mbah Google. Aku baru ingat handphone-ku rusak dan baru beli cadangan yang cuma bisa telpon dan SMS.
'TRIIING'
Sekilas ide mampir, yaitu aku mengendap-endap keluar dari kamar ini lalu mencari majalah yang sering banget dia nangkring di sampulnya. Tapi boro-boro keluar kamar, keluar dari penjara selimut tebal bersamanya pun terasa mustahil. Huh, aku nyerah. Ku hembuskan napasku kasar. Aku menatapnya memelas kasihan. Aku menyerah tuan, begitulah andai mataku bisa berkata-kata.
"Rayhan Nurpati," gumamnya pelan seolah menjawab kekalutanku.
"Rayhan," aku berkata lirih, dan hebatnya hal itu berhasil menerbitkan senyum di wajah tampan suamiku.
Melihat kesempatan baik, aku mengutarakan niatku yang sempat tertunda. "Rayhan, minggu depan, aku diundang ke acara pernikahan temanku. Boleh?" tanyaku pelan. Dia menggaruk dagu tampak berfikir.
"Memangnya kau punya gaun untuk ke pesta?"
"Ada, beberapa gaun pesta saat masih kuliah,"
"Setidaknya mengacalah dulu sebelum berpikir kau mau ke pesta," dengusnya sambil tersenyum miring. Bah, ku kira dia akan mengajakku shopping atau sebagainya, ternyata.. hiks.. aku ter-PHP masaaa.
"Okay, sekarang tidurlah disini," lanjutnya.
Rayhan memperbaiki bantalnya, meluruskan badan dan telentang dengan tangannya sebagai tumpuan di bawah kepala. Bisep dan trisepnya terpahat sempurna pada posisi itu. Aku menelan ludah, ragu aku bisa tidur nyenyak sampai pagi dengan pemandangan semenakjubkan ini. Aku memilih tidur menyamping memunggungi suamiku mencegah hal-hal yang "iya-iya" di kepalaku.
"Tidurlah menghadapku," gumamnya serak. Aku berpikir ulang, lalu memantapkan diri tidur menghadapnya. Ku harap, bantal putih ini tetap putih hingga besok pagi tanpa genangan darah dari hidungku yang mimisan. Aku langsung tidur tanpa melihatnya lagi, pemandangan indah memang sayang buat disia-siakan, tapi.. demi kebaikan bersama, aku memilih memejamkan mata, dan tidur seperti perintahnya.
-
-
Holahai temen2, aku baru nyapa di part ini karena semangat banget upload.. maafkan typo yang bertebaran.. vote dan comment ya jangan lupa :v
KAMU SEDANG MEMBACA
SUAMIKU BACK TO NORMAL [Completed]
Mystery / Thriller#1 thriller 27 September 2018 #1 regret 13 Desember 2018 #1 agen 5 Februari 2019 #1 lust 25 Februari 2019 #1 lose 14 April 2019 #1 marriage 30 April 2019 #1 angst 10 Mei 2019 Semua bermula dari suamiku yang memperlakukanku bak pembantu. Aku tidak b...