4.3 Neurocheat

62 16 29
                                    

"Isti Melisya Anwar?"

Tanya seorang pria paruh baya, yang kuyakin adalah ayah Dini, karena kemiripan yang terlihat sekilas pandang.

"Ya! Aku Isti!" jawabku semangat.

"Kudengar dari Dini, kau sedang bikin game?" tanyanya lagi sambil menunjuk sebuah kursi tak jauh dari tempat duduknya.

"Ayah, aku taro makanannya di kulkas ya, Yah?" tanya Dini yang hanya dijawab dengan satu anggukan dari ayahnya.

"Ya, aku sedang bikin game. Paradis. Dunia Paradis. Aku pengen bikin dunia yang bisa didatengi pemain game dengan mudah. Aku pengen bikin game yang saat orang-orang main, mereka juga bisa belajar," jawabku semangat, aku duduk di tempat yang ditunjuknya. "Bapak... WOW!!! Bapak bisa mantau semua kejadian yang ada di desa ini!!! WOW!!!"

"Aku tahu siapa saja yang ayamnya hilang, dan siapa yang ngambil ayam itu," jawabnya sambil tertawa. "Tapi aku cuma penonton, aku tak mau terlibat," lanjutnya.

Aku bahkan bisa melihat Rezky yang tengah menggambar not-not baloknya di perpus desa. Di meja yang sama dengan meja yang kami duduki kemarin.

"Bapak suka ngintip orang di toilet?" tanyaku dengan hati-hati, tapi aku tak bisa menahan kecurigaanku.

Ayah Dini tertawa lepas. "Kamera terbangku nggak pernah masuk ke rumah orang," jawabnya masih sambil tertawa. "Tapi kalau orang itu buang air di kali, aku tahu hahaha..."

Aku ikut tertawa mendengarnya. Ya, aku juga pernah sekali memergoki seorang bocah laki-laki kurus buang air besar di kali. Dia langsung lari terbirit-birit hingga melupakan celananya yang diletakkan di bawah pohon pisang.

Dini kembali, dia terperangah di depan pintu sebentar, sebelum duduk di sampingku. Dan dia diam.

"Namaku Santoso, ayah Dini. Dulu aku seorang IT di pemerintahan, tapi sekarang, yah... seperti inilah aku," ayah Dini memperkenalkan diri. Aku tersenyum mendengarnya, karena tak perlu memperkenalkan diripun, Dini sudah menceritakan sebagian dari kisah hidupnya padaku. Jadi aku merasa tak asing dengannya. "Peralatan di sini lumayan canggih, kalau kau butub bantuan untuk game-mu, kau boleh pakai alat-alat yang ada di sini. Selain aku, tak ada yang memakai alat-alat ini, jadi sebelum karatan, mending kamu menfaatkan saja."

Seperti anaknya, ayahnya juga sangat baik dan perhatian padaku. Aku sungguh beruntung bisa terdampar di desa ini.

"Aku akan tunjukkan paradis, kapan-kapan, Pak..." jawabku ceria. Aku sungguh senang! Ini adalah hari terbaik sepanjang masa.

"Makasih banyak ya Isti..." ucap Dini dengan mata berkaca-kaca saat dia mengantarkanku kembali ke kosan.

"Harusnya aku yang makasih ke kamu," ucapku bingung dengan tingkahnya. Dini memang berubah jadi pendiam sejak aku dan ayahnya bercakap-cakap di lab tengah sawah itu.

"Aku baru lihat ayah senyum dan ketawa lagi sejak dia dipecat dari kerjaannya... Huuu... Huuu..." kini Dini benar-benar menangis haru. Aku sungguh bingung dengan tingkahnya. Jadi aku hany menepuk-nepuk punggungnya berharap bisa menenangkannya. Tapi dia malah menangis semakin kencang. Aku sungguh bingung, menangani Dini lebih sulit daripada mengerjakan soal integral rangkap tiga! Memahami Dini jauh lebih susah daripada memahami dalil-dalil Menelous, ataupun De Ceva.

"Stop!" Bocah kecil dengan rambut diikat asal-asalan itu menghalangi jalanku dengan berdiri berkacak pinggang di anak tangga ke tiga hingga tinggi tubuhnya lebih tinggi dariku.

"Apa?" tanyaku geram dengan tingkah anak ibu kos yang lucu itu.

"Kamu bangun siang lagi! Besok bangun pagi! Biar kak Iki nggak ke sini!"

Dunia ParadisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang