PBM #5

727 71 0
                                    

        Vira

Dalam bahasa Inggris, peribahasa "to kick a bucket" berarti "to die" atau mati. Terminologi yang konon akarnya menancap jauh hingga ratusan tahun lalu, ketika orang menggantung diri dengan naik ke ember, lalu menendangnya hingga terguling.

            Ngeri, ya? Sejarah punya cara aneh untuk mengawetkan keabnormalan manusia dalam istilah yang terkesan polos. Dari situlah istilah "bucket list" muncul----one should make a "bucket list" before "kicking the bucket"---dan semakin populer digunakan setelah tahun 2007 menjadi judul film Hollywood yang dibintangi Jack Nicholson dan Morgan Freeman.

            There.

            Setelah semalam melakukan riset kecil, aku yakin teori Zed salah. Bucket list IS a to-do-list of a dying person. Jadi, apakah ini berarti Zed menyerah? Atau dia seenaknya mengganti arti istilah karena itulah arti buku ini baginya?

            "Ehm, Mbak Vira?"

            Aku tersentak, mendapati seluruh pandangan mata di ruangan diklat tertuju padaku, termasuk mata Bu Aniek yang hari ini memberi modul. Mampus! Barusan pasti dia melempar pertanyaan padaku!

            "Y...ya?" cicitku.

            "Sebagai komoditas dagang, berita atau surat kabar ini berbeda dengan barang lain di pasaran. Mbak bisa sebutkan perbedaannya?"

            Hening. Panik melanda.

            Barangkali, gara-gara tatapan nanarku, Bu Aniek akhirnya mengalihkan pertanyaan tersebut pada peserta diklat yang sejak tadi mengacungkan tangan. Fiuh. Selamat.

            Omong-omong, diklat hari ini juga menyelamatkanku dari pertemuan canggung dengan Tom. Karena sibuk memikirkan Zed dan bucket list-nya, lelaki sup kambing itu benar-benar terlewat dari pikiranku. Sialnya, begitu kaki ini menjejakkan langkah di kantor, aku seperti mengalami flashback kejadian sore kemarin.

            Uh! Mulas seketika! Karena kantor majalah kami ada di gedung yang sama, selalu ada kemungkinan aku berpapasan dengannya. Prospek hari ini tidak terlalu baik buatku.

            "Tom lagi deketin Lana kan, ya, Vir?" tanya Dimas dengan lugu pagi tadi. Aku yakin sekali pertanyaan itu tidak dimaksudkan untuk mengorek gosip tentang aku dan Tom, tapi karena Dimas penasaran soal Lana. Tentu saja untuk kepentingan pribadi.

            "Lana? Lana siapa?"

            "Eeeh, telat banget lo. Itu lho, anak freelance kantor depan, yang mukanya kayak Raline Shah. Kirain lo udah tahu. Memangnya Tom nggak cerita?"

            Ah. Jadi begitu rupanya. Bukan saja aku tak berharga untuk dipertahankan, ternyata aku juga dengan mudah tergantikan. Apa ada lagi hinaan terhina dari si Sup Kambing ini?

            "Mbak Vira, halooo?!"

            Tersentak, aku kembali mendapati pandangan mata di kelas terarah padaku. Gawat.

            "Bisa ulangi lagi, tugas utama seorang redaktur apa saja?" tambah Bu Aniek. Bukan kesal yang tersirat di wajahnya, tapi bosan. Mungkin bosan si calon redaktur satu ini arwahnya terus-terusan gentayangan sementara tubuhnya duduk manis di kelas.                      

            Dari sudut mata, kulihat peserta diklat yang sama kembali mengacungkan jari dengan antusias. Bibirku mengerucut. Hei, Mas, tahu nggak apa akibatnya kalau kebanyakan ngacung? Jadi patung! Tuh, tanya sendiri sama Miss Liberty!

PERKARA BULU MATA - Nina AddisonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang