PBM #6

678 69 2
                                    

Ternyata oh ternyata, keapesan di meja sate kambing itu tidak ada apa-apanya dibandingkan hari ini. Neraka tingkat tujuh!

            Berikut adalah penyiksaan yang kuterima hari ini: semua artikel yang kutulis kembali ke mejaku dengan seribu satu hal yang harus diedit. Rapat redaksi bulanan berjalan sangat buruk, ide tulisanku tidak ada yang lolos. Review edisi bulan lalu juga lumayan parah, dalam arti sebagian besar tulisan dari desk kami dikritik habis-habisan. Siangnya, mendadak aku ditugaskan meliput ke ujung dunia ketika hujan deras mengguyur tiada henti. Lalu, ketika aku kembali ke kantor basah kuyup dari kepala sampai jempol kaki, Mbak Wiwit sudah nongkrongin mejaku sambil mengomel panjang karena foto-foto artikel dari deadline kemarin belum sampai di tangannya.

            Selesai? Ha! Belum. To top all of that, ketika hendak pulang kulihat Tom melintas ke kantin. Tebak dengan siapa dia berjalan? Seratus! Si reporter freelance yang jadi bahan omongan sekantor gara-gara wajahnya mirip Raline Shah. Tom sibuk memandangi Raline, dan ketika menyadari kehadiranku, dengan cepat dia mengalihkan pandangan ke arah lain. Sepersekian detik saja reaksi yang dia sisihkan untukku. Sepersekian detik itu cukup untuk benar-benar membuka mataku, menghabisi sisa perasaan yang kumiliki untuknya.

            Brengsek.

            Judulnya sudah jatuh, tertimpa tangga, kesenggol bajaj, dikejar anjing rabies, lantas kecemplung got ini, sih! Jakarta malam itu serasa ikut berkomplot menggempur hariku: macet normal dikali tiga. Ketika aku sampai di Starbucks Grand Indonesia dengan hati tersilet-silet, hanya ada satu wajah menungguku dengan tenang di meja langganan kami.

            "Jo? Yang lain mana?" tanyaku kecewa. Sudah jam sembilan lebih, masa Lilian dan Albert belum datang juga?

            "Lilian terkubur kerjaan yang harus dia bawa pulang. Albert mendadak harus terbang ke Jogja besok pagi, Vir. Jadi, dia mesti packing dan nyiapin materi meeting." Jojo mematikan rokok lalu membuka lengan lebar-lebar. "So you are stuck with me, babe!"

            Aku menarik kursi di sampingnya, lalu mengempaskan tubuh dengan lemas.

            "What's going on? Kata Lilian, lo butuh mendongeng malam ini?" tanya Jojo. Senyumnya hangat, sehangat curahan perhatiannya padaku. Bisa kurasakan kedua mataku memanas, lalu meluncurlah butiran-butiran tersebut di pipiku tanpa bisa kucegah.

            "Vir? Vir?! Lho, Vira! Kenapaaa?"

            Jojo panik. Namun, dia cukup tahu untuk tidak mengejarku dengan rentetan pertanyaan. Tidak ada drama lebih lanjut. Dia membiarkanku menyelesaikan tangisan bisuku dalam pelukan panjang, pelukan yang sungguhnya amat sangat kubutuhkan sepanjang hari tadi. Sampai akhirnya, isakan tertahanku reda dan perlahan energiku kembali.

            Aku menatap kemejanya yang lepek dengan ngeri. Seriously, berapa ember air mata yang barusan kuproduksi, sih?

            "Sorry, Jo, baju lo jadi basah kuyup gini."

            "Kemeja tua gini, Vir," katanya. Aku tersenyum. Yang dia sebut kemeja tua itu berlabel Hugo Boss di saku depan.

"Ayolah, cerita. What's going on?"

"Tom atau kerjaan?"

"Semuanya." Dia menyengir lebar. Mulailah aku mendongeng, ditutup dengan cerita apes dari meja kantor.

"Gue nggak ngerti, Jo. Beberapa minggu lalu gue dikabarkan akan naik pangkat jadi redaktur, tapi kenapa sekarang kerjaan gue nggak ada yang dianggap bagus sama mereka?"

PERKARA BULU MATA - Nina AddisonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang