Vira
Film bertema dua sahabat saling jatuh cinta tak pernah kedaluwarsa, selalu menarik untuk diceritakan ulang dan selalu relevan dengan kemajuan zaman. Terbukti dari rentetan judul film yang keluar-masuk box office selama beberapa dekade belakangan. Segelintir di antaranya: 13 Going on 30, Reality Bites, Some Kind of Wonderful, Spiderman, dan favoritku sepanjang masa, When Harry Met Sally, dan My Best Friend's Wedding.
Tapi, kamu tahu apa yang aneh? Semalaman aku menghabiskan waktu tidak sedikit untuk mencari film tentang persahabatan antara lelaki dan perempuan yang tidak saling jatuh cinta. Sampai tertidur, aku hanya berhasil mendapat beberapa judul saja. Seujung kuku dibanding deretan metamorfosis sahabat menjadi cinta.
Jadi, apakah benar ucapan Harry kepada Sally, "Men and women can't be friends because the sex part always gets in the way."? Bahwa laki-laki dan perempuan tidak akan bisa murni berteman karena satu pihak pasti akan menyukai yang lainnya? Atau barangkali tema tentang pertemanan saja---tanpa bumbu cinta dan seks---tidak komersial, sehingga bukan tema favorit?
Jojo masih menghindariku, entah sudah berapa minggu berlalu sejak kabar itu sampai di telinganya. Yang jelas bulan telah berganti dan handphone-ku masih alpa dari namanya. Sudah segala cara kulakukan, tapi tetap saja dia tak terusik dari tempat persembunyiannya. Satu-satunya yang belum kulakukan hanyalah mencegatnya di kantor. But, I respect myself as much as I respect him, to do that. Jadi, yang bisa kulakukan sekarang adalah curhat, curhat, dan curhat.
Selain Albert dan Lilian, Zedayanna-lah tempat aku mengadu.
"Belum ada kabar lagi?" tanyanya begitu wajahku nongol di kamar.
"Belum."
Kuempaskan tubuh di kasurnya, sementara Zed lebih tertarik menginspeksi isi kantong yang barusan kuletakkan di meja samping. Crepes tuna selundupan langsung ia terkam. Aku terkekeh pelan. Kanker tidak akan pernah menggerogoti selera makannya, that's for sure.
"Dia memang begitu ya, Vir? Modusnya kabur-kaburan gitu kalau ditaksir cewek?" tanyanya sambil mengerutkan dahi.
"Uhm. Iya. Tapi... tapi anehnya gue mengerti kenapa dia begitu."
Kerutan di dahi Zed makin dalam.
"Lo tahu kan anak itu sudah populer sejak SMA?"
"Cih. Kayaknya gue duluan deh yang tahu. Lo kan dari dulu nggak pernah menganggap Jojo itu ganteng. Kalau dia bukan sahabat lo, sudah gue..."
"Iyaaaa... iya... iya. Mau gue terusin nggak, sih?" tukasku galak. Zed tertawa.
"Jadi, yang naksir dia memang banyak. Nah, ada satu cewek yang sering minta tolong Jojo ngerjain PR Kimia-nya."
Namanya Andina. Anaknya cantik dengan kulit putih susu dan rambut model bob yang membingkai wajah berbentuk hati. Tanpa curiga, Jojo membantunya. Setiap saat, tanpa kecuali.
"Memangnya Jojo jago Kimia?" tanya Zed, membuatku tertawa seketika.
"Nggak! Oh, koreksi, dia nggak parah, tapi juga bukan ahlinya."
Mudah disimpulkan apa motivasi Andina sebenarnya, apalagi ketika cowok yang jago Kimia sungguhan konon naksir Andina, tapi diabaikan. Namun, saat itu Jojo benar-benar clueless, sampai suatu saat Lilian membeberkan kondisi sebenarnya.
"Dia naksir lo, tahu!" seru Lilian, kesalnya sudah tak tertahankan karena lagi-lagi Jojo membatalkan janji dengan kami karena harus ke rumah Andina.
"Nggak lah! Ngigau lo, Li," tukas Jojo.
"Iya!"
"Nggak!"
"IYA!" Aku, Albert, dan Lilian menjawab serempak. Terkejut, wajah Jojo mendadak pias.
"Kalian tahu dari mana?" pancingnya, menyipitkan mata.
"Dari Andina," jawab Lilian sambil tertawa. "Gue serius, Jo. Andina naksir LO. Semua juga tahu."
"Kecuali lo, pret," tambah Albert sambil menyengir lebar.
Ekspresi Jojo saat itu tidak pernah kulupakan, seperti orang yang terperangah setelah menubruk pintu kaca di tengah keramaian mal.
"Habis itu Jojo gimana?" tanya Zed.
"Langsung melesat ke kelas Andina dan membatalkan janji. Sejak itu, mereka nggak pernah...," Aku memberi tanda kutip dengan dua jari, "'belajar bareng' lagi. Singkatnya, kisah Andina-Jojo kelar tanpa sempat dimulai."
Zed mendengus. "Ternyata Jojo model cowok yang tunggang langgang kalau dikejar cewek. Gue gagal respect, deh."
Seharusnya, aku bisa dengan mudah mengiakan, menjadikan Zed supporter-ku dalam skandal akbar Vira dan Jojo. Menjadikan Jojo sumber penyakit dan membiarkan dia jadi sasaran amukan massa. But, the thing about falling in love with your very bestfriend (and got rejected) is that you know him too well and care too much to hate him. Or even to let someone else hate him.
"Persoalannya nggak segampang itu, Zed. Jojo itu..." Aku berhenti, bergulat mencari kata yang tepat. "Complicated," kataku akhirnya. "Masa lalunya complicated. Gue mengerti dia menghindar bukan karena dia merasa superior atau sengaja ingin menyakiti hati orang, tapi karena nggak tahu cara lain untuk memproses situasi ini. This is how he copes."
"Masa, sih?" cibir Zed.
"Buat apa gue bohong? Ironisnya, dengan segala hal yang gue tahu tentang dia, tetap saja gue clueless harus bagaimana sekarang. Gue nggak sangka suatu hari akan ada di posisi Andina."
"Lo menyesal, Vir?" tanya Zed pelan. Aku tersenyum pahit.
"Tergantung reaksi Jojo nanti. Tapi, kalau lo tanya apa semua ini mengubah perasaan gue ke dia, maka jawabannya nggak."
Puk! Gumpalan tisu mendarat di jidatku, lalu jatuh ke lantai. Zed menyengir menatapku badung.
"Cheer up! Lo bukan Andina. Jojo juga bukan Tom. Sejarah persahabatan kalian terlalu dalam untuk dianggap nggak signifikan dalam cerita ini. Seberapa bapuknya mekanisme survival dia, gue yakin seyakin-yakinnya, suatu saat otak karatan dia akan sadar bahwa lo terlalu penting untuk dia abaikan. Bahkan, ketika itu berarti dia harus menghadapi situasi sesungguhnya." Dia tersenyum. "Sabar, ya. Beri dia waktu. Barangkali lebih panjang dari seharusnya."
Ya, cuma waktu yang bisa kuberikan. Ironis bukan, nasihat ini datang dari Zed yang... ah. Aku menarik napas panjang.
"Sorry, Zed, bolak balik kerjaan gue curhat terus tiap kemari," ujarku pelan.
"Nggak apa, tahu! Perinthilan nggak penting gini bikin hidup gue terasa nggak sial-sial amat. Ada lo yang lebih sial lagi!" Tawanya berderai-derai memenuhi ruangan.
"Eh, by the way, Lilian bawain lo sesuatu." Aku mengeluarkan kotak plastik dari tas. Zed melongokkan kepala penuh antisipasi.
"Wow, cherry!" serunya kaget. "Dari mana, nih? Cherry-nya gede-gede gini, pula. Pasti mahal, deh!" cerocosnya sambil mencomot satu dan menggigitnya. "Ih, manis banget!" lanjutnya kegirangan.
"Kakaknya bawa dari Australia."
Zed mencomot cherry kedua.
"Memangnya Lilian nggak doyan? Kok harta karun kayak gini dibagi ke gue?"
"Doyan! Banget! Gue yakin ada satu koper penuh berisi cherry dan lungsuran ke lo ini cuma satu persen dari harta dia," jawabku sambil tertawa. "Gue percaya ini tanda cinta Lilian ke lo."
Zed tertawa lagi. Dia tahu Lilian benci rumah sakit setengah mati, makanya di antara kami berempat hanya dia yang paling jarang menongolkan kepala ke kamar Zed.
"Gue percaya. Lo nggak mau?"
Aku menggeleng walaupun sesungguhnya perut ini mulai kelaparan dan cherry-cherry itu memanggil-manggil. Aku lebih rela kelaparan daripada harus memangkas jatah cherry Zed saat ini.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
PERKARA BULU MATA - Nina Addison
RomanceJojo sedang seru menceritakan perjuangannya menjadi branch manager sementara Vira tekun mendengarkan, memandangi wajah cowok yang telah jadi sahabatnya selama belasan tahun itu. Lalu... entah di detik keberapa, sesuatu bergeser. Klik. Dunia sekelili...