KAKI TANGAN MALAIKAT MAUT

25 1 0
                                    


Hujan telah megantarkan kemarahan Ayah lantaran lelaki itu tahu, aku bermain di tanah lapang itu, lagi, lagi, dan lagi. Aku tahu, seluruh orang di kota ini tahu, tanah tak bersalah itu telah berubah keramat, dan tidak ada satu orang saja yang berani menjamah mereka selaiknya tanah lapang biasa. Bukan entah kenapa, bukan tak tahu mengapa. Kami semua sama-sama tahu, kaki tangan malaikat maut, secara sah—meski rapat paripurna tidak pernah tergelar, menetap di sana. Belum ada yang berani melawan, lantaran jelas alasannya, siapa pula orang yang siap menjemput ajal?

Sore ini, sebelum berangkat kerja, Ayah benar-benar murka mendapati aku justru menjadi bocah yang berani mampir ke sana, dan pulang menjelang petang. Satu gamparan keras bahkan membekas membentuk semburat merah yang panasnya merembes sampai ke ulu hatiku. Aku bocah dan yang aku tahu, hidup adalah papan permainan dengan aku sebagai anak biji yang siap bermain. Mereka semua tidak pernah mau mengerti betapa tanah lapang itu mungkin saja tempat terbaik pilihan kami, sekalipun untuk mati. Kami rela mati dalam keadaan bahagia. Dan kami bahagia di sana.

Bagaimana tidak? Tanah lapang itu tempat yang paling menawan. Kami seperti menemukan bongkahan taman bermain di surga. Ada sungai mengalir yang membuat hari kami selalu ternaungi suara gemericik air. Juga tanah lapang luas serupa perbukitan, dengan pohon-pohon rindang tempat kami biasa duduk sambil bertukar tawa. Kadang kala, kami juga menertawakan mereka yang menurut kami bodoh. Jelas saja, dari tanah lapang ini, matahari tenggelam bisa dengan sangat indah kami saksikan. Juga burung-burung yang seringkali membentuk kupat di langit. Kenapa tak ada yang mau mencecap karya Tuhan yang indah ini?

"Ayah sudah bilang, jangan main di situ lagi! Kamu nggak inget, tempo lalu anak pertama Pak Hendi mati nyaris kehilangan kepala?! Lupa kalau Bu Nida tangannya putus hampir kehilangan nyawa? Lupa kamu?!"

Ayah masih mendelik dan aku tak mungkin berani menatap. Sementara itu Ibu diam saja pertanda setuju, meski jelas dari raut wajahnya dia tak tega.

Plak! Satu kali lagi, sebelum Ayah meninggalkan aku yang terdiam sambil memegang pipi kiriku, dengan suara isak tertahan. Malu menangis di depan Ibu. Perempuan berparas tenang itu menghela napas, lalu menemuiku, menatapku sambil berlutut.

"Ayah sayang sama kamu. Dia cuma nggak tahu cara menunjukkannya. Maafkan, ya."

Aku masih mewek dan tidak mampu membalas. Tidak ada yang ingin aku maafkan. Juga tidak ada alasan macam apapun yang membuatku mesti kehilangan tanah lapang itu. Aku tidak tahu, apakah ayah teman-temanku sama galaknya dengan Ayah. Juga tak tahu apakah pipi mereka sama terbakarnya dengan hatiku sekarang! Aku benci Ayah!

"Maafkan Ayah." Ucap Ibu lagi, sekarang sambil memelukku. Tapi aku tetap bergeming!

***

Aku menenteng ember bekas mencuci piring sambil menatap Bimo yang berdiri terpaku, di balik pagar bambu dan daun suji. Ibu di dalam tengah menyusui Mala, adikku. Sementara Ayah, entah ke mana. Ibu tidak pernah mengizinkan aku bertanya perihal keberadaan Ayah, yang pergi sesuka hati, dan pulang larut malam.

Tanah lapang kini benar-benar menjadi larangan, tidak ada lagi yang bisa aku lakukan setelah mencuci piring bekas makan siang. Aku menatap Bimo lesu, menoleh menatap ke arah pintu yang lengang, kemudian menatap Bimo lagi sambil menggeleng. Baru setelah itu, Bimo berlari meninggalkanku, menghampiri tanah lapang kami, bersama yang lain. Aku, masuk ke dalam dengan lesu.

Aku tinggal di perkampungan dekat dengan perumahan elit yang separuh jadi lantaran tersumbat dana. Akhirnya sebagian besar lahan kosong itu lengang seperti tak berpemilik. Lambat laun, tempat itu warna manfaatkan untuk pacaran, jalan-jalan sore, atau sekadar iseng duduk-duduk saja. Banyak anakkecil bermain di sana, termasuk aku. Tapi kebiasaan itu sirna setelah beberapa kali warga menemukan mayat tergeletak dengan luka-luka mengaga dan anyir bau darah. Aku memang pernah mendapati bercak atau genangan darah di sana.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Aug 01, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Kaki Tangan Malaikat MautWhere stories live. Discover now