Hari-hari ku lewati dengan semangat dan penuh senyum ceria. Bagaimana tidak Rayhan akhir-akhir ini memperlakukanku dengan sangat istimewa seolah aku adalah barang pecah belah yang sangat rapuh dan perlu dijaga ketat. Aku mengumbar senyumku sepanjang hari bahkan saat bekerja sebagai receptionist di kliniknya Feni.
Hendra, kakak suamiku melihatku yang gembira turut tersenyum.
Aku dan Feni berjanji untuk menjaga rahasia tentang suamiku dari Hendra. Hendra kakak iparku ini sangat berkebalikan dari Rayhan.Dia sangat hangat kepada Feni dan orang sekitar, dia juga berwibawa, dan aku sudah menganggapnya kakak sendiri. Dia seorang dokter spesialis jantung, sedang Feni spesialis kulit dan kelamin. Keluarga dokter yang bahagia.
"Tumben, senyum-senyum sendiri Mel? Lagi dapat 'jatah' ya dari Rayhan?" tanyanya menyandarkan tubuh di meja receptionist dan tersenyum jahil.
"Apaan sih kak? Tidak, tidak. Kakak kenapa ke sini? Kangen Feni ya? Rumah sakit lagi tidak sibuk ya?" tanyaku balik.
"Biasa, ngantar rujak buat ibu hamil muda, hehehe"
"Lah, Feni hamil, kok aku ngga tau?" tanyaku heran.
"Kamunya yang tidak tanya," jawab Feni dari arah belakangku, mencubit pipiku gemas. Aku mendengus, pura-pura sebal.
"Kamu kelihatan seger ya?" tanyanya selidik.
Oh, aku lupa aku berhadapan dengan duo dokter super kepo yang punya kepekaan tersendiri terhadap sekitar. Aku mengangguk mengiyakan.
Hendra pamit, Feni juga kembali ke dalam karena ada pasien datang. Aku pun dengan sigap menganalisis data pasien, dan lanjut bekerja.
Pukul 17.00 klinik sudah tutup dan seperti biasa aku konsultasi dengan Feni. Katanya luka-lukaku sudah mendingan semua. Iyalah hahaha.
Plat besi yang di tanam di beberapa tulang di tubuhku harus diperiksakan ke rumah sakit. Aku mengiyakan semua perintahnya dan bergegas pulang ke rumah.
Untungnya, Rayhan belum tiba di rumah sehingga kabur-kaburanku kali ini tidak akan ketahuan. Atau jangan-jangan selama ini dia sudah tahu kalau aku sering keluar rumah untuk bekerja? Semoga tidak.
Cepat ku ganti pakaian dan memasang celemek di tubuhku, menyiapkan makan malam.
Oh iya, perihal kamar? Apakah aku terus-terusan tidur di kamarnya?Tidak. Hari Minggu kemarin dia tidak tidur di rumah karena berkunjung ke Sumatera, jadi aku memilih kembali ke kamarku.
Hari Senin malam pun saat dia sudah kembali, dia tidak protes karena aku sudah kembali ke kamarku. Jadi aku anggap semuanya fix tidak ada masalah. Selama dia tidak melakukan kekerasan, ku rasa semuanya berjalan normal.
Selasa malam, dia akan pulang agak malam, sekitar pukul 22.00, kebiasaannya yang suka minum di sebuah bar setiap hari Selasa. Dia adalah orang yang paling disiplin, semua kehidupannya sangat teratur dan terkesan monoton.
Dia tidak pernah terlihat mabuk yang sampai tidak bisa mengontrol tubuhnya, mungkin karena dia adalah peminum yang ulung. Oleh karena itu, tiap hari Selasa ada minuman herbal penawar mabuk yang disediakan di meja makan ini.
Ku lihat dia berjalan agak oleng, dengan celana kain dan kaos oblong berwarna abu-abu. Dengan sigap, ku rengkuh pundaknya dengan kedua tanganku, mengarahkannya ke tempat duduk.
Perihal tinggi, dia lelaki jakung dengan tinggi 187 cm, sedang aku, hanya 170 cm. Cukup semampai, apalagi kalau ditambah heels, kaki jenjangku tampak sangat indah.Dia makan dengan lahap hingga butir nasi terakhir. Akulah satu-satunya yang menunggui hingga makan malam tuan besar itu selesai, sebab, para asisten akan otomatis membubarkan diri sejak pukul 21.30.
Setelahnya, aku membereskan alat makan, membawanya ke dapur untuk di cuci besok pagi.
Dia masih duduk di tempatnya. Akupun merasa agak risih kalau harus meninggalkannya sendiri di luar dan berangkat tidur. Jadi aku memutuskan untuk mencuci piringnya malam ini juga.
Ku nyalakan keran air, menggosok satu-satu piring dan mangkuk, lalu membilasnya. Begitu terus hingga semuanya beres. Saat membilas gelas terakhir, kurasakan pundakku memberat.
Di tengkukku berhembus napas hangat beraroma mint yang segar. Sebuah tangan melingkari perutku. Aku berusaha membalik badan, tapi susah. Rengkuhannya terlalu kuat.
Rayhan. Siapa lagi. Aku membiarkannya dalam posisi ini beberapa waktu. Hingga kurasakan, dalam hitungan detik dia membalik tubuhku menghadapnya. Aku berdiri diam di tempatku tidak tahu akan berbuat apa. Menolak? Huh, aku bosan jika harus berurusan dengan ranjang rumah sakit karena koma. Aku memilih diam, tidak agresif.
Dia mencondongkan tubuhnya ke arahku. Tepat satu inci lagi hidungnya akan menempel di wajahku. Aku menahan napas. Terhentak saat satu lengannya menarik pinggangku mendekat.
'HAP'
Satu tangannya yang bebas menarik tengkukku mendekat. Jari-jari lentiknya membelai halus bibir atas dan bawahku. Membuka bibir bawahku, lalu mengecupnya ringan. Hanya kecupan dan dia pergi.
Huft.. padahal aku ingin lebih. Aku kecewa. Gelas yang dari tadi masih ku pegang, ku letakkan ke tempatnya. Ku lepas celemek dan bergegas tidur. Sepertinya hanya dengan begitu aku bisa mengusir pikiran kotorku.
----TBC
Holahai manteman.. greget gak nih part ini? Hohoho.. ditunggu vote dan komennya.. love you♡♡
KAMU SEDANG MEMBACA
SUAMIKU BACK TO NORMAL [Completed]
Mystery / Thriller#1 thriller 27 September 2018 #1 regret 13 Desember 2018 #1 agen 5 Februari 2019 #1 lust 25 Februari 2019 #1 lose 14 April 2019 #1 marriage 30 April 2019 #1 angst 10 Mei 2019 Semua bermula dari suamiku yang memperlakukanku bak pembantu. Aku tidak b...