T W O

35K 2.5K 351
                                    

[P]

Aku tak memungkirinya. Ketika aku yang sangat suka akan keromantisan harus berakhir dinikahi seorang miliarder sinting ini, aku bilang pada diriku, tidak apa-apa. Meskipun begitu, aku tak menampik jika Jeno kelewat kaku. Padahal kami seumuran.

Tidak jarang, karena sifatnya itu, aku justru merasa terasingkan. Aku tak mengerti apa yang sebenarnya ia inginkan. Lalu aku hanya bisa mengangguk patuh untuk membiarkannya merasa senang dan nyaman.

Begini waktu Jeno yang belum bekerja dan masih mengenakan seragam sekolahnya datang melamar;

Papa Ten nampaknya begitu bersemangat, berteriak, "Nana, seseorang yang tampan datang ke rumah," begitu kencang sampai-sampai membuat kedua daun telingaku memerah tak kunjung hilang hingga aku duduk persis menghadap padanya.

"Lee Jeno?" begitu aku bersua menyadarinya.

Kami tidak dekat, sesungguhnya. Yang membuat arti jelas aku benar-benar kaget saat dirinya berada duduk di ruang keluarga rumah tempatku tinggal.

Ia mendatangi rumahku. Ketika itu, dahiku mengerut kentara sekali. Sandal rumah yang sengaja dilebihkan sudah bertengger apik di kedua kakinya.

"Hai." jawabnya dengan senyum penuh.

Papa Ten semangat sekali waktu melihat Jeno tersenyum. Papa memekik kencang dan melompat di tengah duduknya waktu itu. Sesungguhnya, itu benar-benar memalukan. Tapi aku tak sampai hati untuk menyinggung perasaan Papa.

Bukan aku yang kemudian berbicara di tengah kesunyian setelahnya. Papa yang sudah berhenti menjerit-jerit lantas duduk tegap menatap Jeno yang sibuk memainkan jemarinya.

"Jadi, kau pacaran dengan Nana?" papa Ten bertanya membuatku memekik cepat mengatakan, "Dia bukan pacarku, pa. Kami bahkan tidak sedekat yang terlihat."

Tapi dari sudut mataku, aku kembali menemukan senyum Jeno yang kini menatapi Papa. Meremat kedua tangannya ia mulai berkata,"Saya sangat menyukai Nana. Izinkan saya menikahinya, Paman."

Begitulah jantungku terkompa dengan tak beraturan untuk pertama kalinya. Serasa meledak, mampus kau Jaemin.

Oh, Papa tentu saja segera menjerit kesenangan. Dirasa-rasa, seperti dirinya saja yang baru menerima lamaran. Padahal, aku sendiri hanya terdiam dengan sesekali melirik ke arah Jeno. Malu untuk menatapnya. Aku kan bukan siapa-siapa selain teman satu sekolahㅡsungguh, aku belum pernah satu kelas dengannya bahkan bertegur sapa pun nihil.

"Jaemin kau harus menjawab, bersedia menikah dengannya, sehingga Jeno tidak pulang dengan kecewa."

Aku mendengus. Takjub dengan pemikiran Papa yang kelewat excited.

Sinting menurutku.

Tentu saja. Untuk seseorang yang tidak benar-benar aku kenal. Tidak benar-benar sedekat antara aku dengan Haechan, sahabatku. Tidak benar-benar saling memahami seperti aku memahami Jisung, sepupu kecilku itu. Aku gundah sebenarnya.

Haruskah aku menjawab bersedia sementara pengetahuanku tentangnya hanya keminimalisan belaka. Atau haruskah aku menolaknya yang sudah datang jauh-jauh dengan tekad gila seperti itu.

Ada Apa? - L. Jeno + N. JaeminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang