Prolog

171 16 23
                                    

Seorang gadis remaja itu adalah Annasya. Tapi lebih senang dipanggil Syasa. Dengan sebutan itu, ia tetap dianggap sebagai gadis kecil dalam rumahnya. Annasya adalah sosok gadis yang cuek, berpostur tinggi semampai, rambut lurus sebahu, dan berkulit putih. Ia senang merangkai kata, yang hanya dengan mengkhayal mampu membuat satu kalimat yang mengagumkan.

Rinai hujan mulai membungkus kota, saat itu ia mulai memperbaiki posisi duduknya menatap butiran hujan di balik jendela. Ia sangat suka menulis. Apapun yang terlintas dibenaknya, akan menjadi sebuah kalimat semacam pengutaraan rasa yang terpendam, tapi bukan berarti semua rangakaian kata yang ia buat berasal dari hatinya. Buku catatan merah berukuran sedang selalu di bawa kemanapun ia pergi, yang dengan bebas menuangkan isi otak dan perasaannya.

Saat butiran hujan yang menempel di balik jendela kaca besar kamar Annasya perlahan berjatuhan, bahkan mulai menghilang. Langit juga sudah merubah warnanya menjadi gelap. Annasya beranjak dari bangkunya dan bergegas ke kamar mandi untuk bersiap-siap melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslim.

Tak berselang lama, suara yang tak begitu nyaring namun masih terdengar jelas dari kamarnya yang berada di lantai dua, memanggilnya untuk segera turun.

"Syasa, ayo turun."

"Iya, Ma." Sahutnya sambil sedikit berlari ke arah tangga.

Tanpa melepas kerudung, ia mengamati Pak Dika-Papa Annasya-yang sedang duduk santai dengan sepasang paruh baya juga seorang gadis berambut panjang lurus terurai memakai kacamata, dengan mata sedikit sipit. Ibu Anita-Mama Annasya-mendekati mereka berempat yang sedang ngobrol layaknya tak pernah bertemu dari sekian lamanya. Lalu kedua orang tua Annasya mempersilakan tamunya ke ruang keluarga untuk menyantap makanan yang sudah disediakannya.

Menyadari akan keberadaan anak bungsunya, Pak Dika menoleh ke arah anaknya yang sedikit mengerutkan kening dengan pandangan penuh tanya. Lengannya di tarik pelan berdiri tepat di samping kanan Papanya.

"Kenalkan Pak Andre dan Bu Iis. Ini anak bungsu saya, Annasya," ujarnya sambil memegang kedua bahu anak bungsunya itu. "Kakaknya sedang tidak dirumah, dia lagi di rumah neneknya, di Bogor, namanya Alvin." Sambung Pak Dika.

Dengan gesitnya, Annasya mencium punggung tangan paruh baya tersebut sambil tersenyum khas dengan barisan gigi rapinya. "Sya, kamu gak ingin sapa gadis cantik itu?" Pak Dika juga tersenyum pada gadis manis yang berdiri disamping Ibunya. Tak lama, Annasya kembali mengulurkan tangannya pada gadis berambut panjang lurus dihadapannya itu. Semakin dekat, ia jadi tahu, bahwa gadis berambut panjang lurus itu memiliki lesung pipi di wajahnya. Yang pasti, membuatnya terlihat manis dan tidak membosankan, namanya Sally.

Sejak menikah, Ibu Anita-Mama Annasya-tak pernah lagi bertemu atau berkomunikasi lagi dengan Iis, dikarenakan Iis-Ibu Sally-sibuk dengan kegiatan mengajarnya di Jakarta. Dan setelah pertemuan itu, akhirnya Annasya mulai membuka diri dengan seseorang selain orang tua dan kakaknya. Sebenarnya, Annasya punya seseorang teman sekaligus tetangganya. Tapi itu dulu. Karena setahunya, dia sudah menetap di Jakarta.

Seperti itulah awal pertemuan Sally dan Annasya. Bermula dari temu kangen orang tua Sally yang tengah menikmati liburan di Kota Bandung dan berakhir mengunjungi rumah sahabat lamanya.

***

Pada sore itu, angin sedikit berhembus pelan, ranting pohon seakan ikut menari-nari disamping tiang lampu jalan. Kecepatan motor Annasya terasa melambat dengan terpaan angin dari berbagai arah, yang tengah melintasi jalan raya menuju toko buku langganannya.

Pada saat Annasya membuka pelindung kepalanya, ia bertemu dengan Sally. Mereka berdua saling melempar senyum dan masing-masing mengarah ke tempat menitipan barang di sudut toko. Tiba-tiba, Sally mulai berbisik padanya.

"Sya, kamu mau janji gak sama aku?" Tanya Sally.

"Mmmm." Annasya menjawab singkat. Ia tak menghiraukan pertanyaan dari Sally dan hanya sibuk memperhatikan judul buku yang berderetan di rak putih.

"Balik sini dulu dong, Sya"

"Iya, apa Sally?"

Mendadak Annasya kebingungan. Dan refleks menghembuskan napasnya dengan berat, saat mendengar perjanjian yang di buat oleh sahabatnya itu. Tidak ingin mengecewakannya, akhirnya ia mengangkat tangan dan melengkungkan jari kelingkingnya dengan jari kelingking kanan milik Sally, menandakan setuju dengan perjanjian itu. Lesung pipi Sally terlihat begitu manis, setelah Annasya mengaitkan jari kelingkingnya.

Kisah Annasya dan Sally pun dimulai. Bukan, ini bukan hanya tentang persahabatan, namun juga tentang cinta.

***

Bagaimana? Semoga gak ngebosenin yah :*

He Is MineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang