Kembang Api di Musim Dingin

401 81 47
                                    

Kamu menyaksikan semua.

Batu matamu menyaksikan sungai es yang retak di ujung Barat. Ainmu menyaksikan keping batu es yang jatuh dari pepohonan yang menjulang tinggi. Matamu menyaksikan lebatnya salju yang jatuh ke tanah. Obsidianmu menyaksikan pohon-pohon berubah putih. Netramu menyaksikan anak-anak kecil yang tergelincir di atas es.

Kamu menyaksikan tindak-tanduk setan di lingkaran insan. Tapi, kamu diam.

Tubuhmu kaku di depan minuman keras. Otakmu beku di depan kartu tarot bergambar Joker. Jaringan sarafmu berhenti bekerja di depan penjualan gadis-gadis cilik tak berdosa yang dilelang murah.

Kamu murka. Namun, kamu diam. Sebab, kamu hanya bisa menyaksikan.

Kamu sudah mati, kamu tahu.

Kamu sudah tidak bernapas, kamu juga tahu.

"Jadi buat apa lagi membantu? Mereka hanya setan-setan kecil yang mencari kesalahan dalam retakan es," pikirmu. Kamu hanya mengendikkan bahu.

Kamu mau jadi pahlawan? Tidak bisa, sebab kamu sudah mati. Apakah perlu diingatkan kembali? Tidak, kamu sudah ingat di luar kepala.

Jadi sebenarnya, maumu itu apa?

Kamu mau berteriak pada Tuhan. Kamu mau menangis di depan-Nya. Barangkali, Tuhan membasmi lingkaran setan yang diciptakan insan.

Bukan begitu. Tapi, bukan begitu caranya.

Kamu masih punya tangan, meski tak kasat mata.

Di tengah guyuran partikel es dingin, pandanganmu terpaku pada satu titik pasti. Mobil, gadis kecil, dan ayahnya.

Sang gadis tergeletak di depan mobil, kedinginan setengah mati. Bisa kamu lihat dengan jelas meski dari kejauhan, geligi miliknya bergemeletuk. Tangan sang ayah membalut bahu gadis ciliknya.

Itu dingin, kamu tahu.

Difusi di dunia memang sialan. Kalor seharusnya menetap di tubuh, tapi karena ada difusi .... Jangan tebak kata yang akan kusampaikan selanjutnya.

Kalor di dalam tubuh. Itu hal yang kamu tidak punya.

Namun, kamu berkepala keras. Jadi, kamu terbang mendekat ke kedua insan yang sedang berusaha hidup itu. Kamu menatap mereka dengan tatapan yang bahkan kamu sendiri tak paham. Tapi, kamu terlambat. Sang ayah sudah mati kedinginan. Tinggal si gadis yang tersisa.

Kamu menangis, namun kamu menolak keras, "Berhenti menangis, Idiot."

Kamu merengkuh bahu gadis itu.

Kamu memasang kembang api di musim yang sangat dingin. Kamu memproduksi kalor lagi.

Kamu menangis.

"Tetap hidup. Cara matimu bukan begini."

Kamu menangis, sebab gadis yang berusaha hidup itu adalah kamu.

Tamat.

Another midnight idea. Sounds more boring daripada yang pertama (re: di tengah badai salju yang keruh)

Btw, ini songfic makanya ga ada bangtan. Aku moodnya lagi stigma banget. Ini kuulang ulang terus.

Inspired by Stigma, Tae, and story about lil girl that was dying between her father's arms.

Tau ga ceritanya?
Ini cuma 300an words btw.

Kembang Api di Musim DinginTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang