3

1.7K 201 18
                                    

Tema: Bahasa Daerah

***

Kali ini, Qila dam Fiqa berkesempatan untuk mengunjungi sebuah tempat wisata di Jakarta, di sana mereka menyaksikan sebuah pertunjukkan yang menurutnya sangat menghibur.

Setelah pertunjukkan selesai, kedua itu merasa perutnya terasa lapar.

"Papa, mau makan," ucap Qila yang terus memegangi perutnya.

Gio yang sedang memayungi ketiga anaknya dari teriknya sinar mentari pun berkata, "Mau apa?"

"Neng, dibeli."

Langkah Qila terhenti. Diperhatikannya teknik penyajian makanan itu yang unik.

"Pak, aku mau beli," ucapnya dengan senyum yang terukir di wajah.

"Berape?"

Mel pun berkata, "Empat ya, Pak. Satunya berapa?"

"Dua puluh rebu, Nyak."

"Pak, kok bikinnya begitu, sih?"

Sepertinya, Qila merasa tertarik dengan teknik penyajian Kerak Telor di hadapannya.

"Iye. Ini khas Jakarte. Warisan leluhur budaye kite."

Anak kecil itu semakin mendekat karena penasaran.

"Kak, jangan deket-deket." Gio menarik anaknya agar menjauh.

"Ati-ati, Neng. Bahaye ntar elu kena api, aye yang diomelin sama Bapak elu."

Mendengar itu, Gio tertawa kecil. Berbeda dengan Qila yang merasa bingung. Ia pun menatap adik laki-lakinya.

"Dedek makan apa?"

"Loti," katanya yang berarti Roti.

"Neng, udeh jadi."

Medengar itu, Qila kembali menoleh pada si penjual.

"Aku atau Fiqa dulu?" tanyanya.

"Kamu," jawab Fiqa.

Qila pun tersenyum. Setelah mengucapkan terima kasih, ia memotong Kerak Telor menggunakan tangannya. Bibirnya terus meniup potongan kecil makanan itu hingfa tidak terlalu panas dan kemudian memakannya.

Rasanya sangat lezat, membuat Qila tersenyum senang. Baru kali ini ia merasakan makanan seenak ini.

Tulisan Sebutir Cilok: NPC's 30 Days Writing ChallengeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang