16. Sakit yang Berdilatasi

12.8K 589 5
                                    

Beberapa menit di posisi itu, aku mencoba berdiri walau kedua kakiku terasa bergetar. Aku meringis sendiri. Mencari pegangan pada nakas samping tempat tidur atau apapun lah, tapi tetap, rasa sakit itu makin menjadi-jadi. Ada pergerakan di kasur belakangku.

‘HAP’

Rayhan menggendendongku ala bridal style ke kamar mandi. Aku masih jijik melihat wajahnya, sebisa mungkin aku menghindari menatapnya.

Dia mendudukkanku di wastafel. Dengan kasar dia menurunkan celana skinny jeans-ku hingga lolos seluruhnya. Aku mengamati dengan saksama. Dia mengambil ember kecil warna hijau dan handuk kecil.

Menyetel shower ke suhu hangat, lalu berjalan ke arahku. Dia berjongkok di lantai, membuka lipatan pahaku, lalu menyekanya dengan air hangat. Dari luar makin ke dalam hingga kurasakan sapuan itu menyentuh klitorisku. Aku mengerang tertahan.

Malu? Sudah ku bilang kan, aku tinggal seonggok sampah yang merasa sedang dibersihkan untuk dijadikan sampah lagi.

Entah bagaimana ceritanya aku bisa keluar dari kamar tamu menuju kamarku hanya dengan handuk melilit bagian bawahku dan bagian atas yang compang-camping tanpa ada sepasang mata pun yang melihat. Mungkin para asisten sedang bersembunyi atau entahlah. Yang pasti aku sudah di kamarku sendiri meringkuk menyelimuti diri.

Smartphone pemberian Rayhan beberapa hari lalu itu berbunyi.

Panggilan telepon. Aku mengangkatnya.

Suara cempreng dari seberang sana mengagetkanku, siapa lagi kalau bukan Nadya. Dia menanyaiku beragam hal dan aku menjawabnya dengan satu pertanyaan telak,

“darimana kamu dapat nomorku?”

Dia diam.

Jelas aneh, baru orang terdekat yang punya nomerku di smartphone baru ini. Kata Rayhan, dia membelinya lima jam setelah rilis di Indonesia. Gilaa.. Sungguh holang kayah..

Ngomong-ngomong tentang Rayhan, dia memang gila. Bagaimana tidak gila, ah sudahlah aku malas cerita tentang dia. Back to earth..

“Mel, suaramu kok aneh, kamu habis nangis ya?”

“Hah? Ngga kok, mungkin karena kecapekan sama kurang minum, sebentar ya aku ambil minum dulu,” ucapku berjalan keluar kamar mengambil minum.

“Gimana? Enakan?” tanyanya.

“Iya nih,” aku meletakkan cangkir di wastafel dan berjalan masuk ke kamar lagi.

Para asisten pun masih belum terlihat satupun. Dan di meja makan tidak ada makan malam untuk tuan besarnya? Bah, ini sudah jam 11 malam. Berarti dia tidak makan malam ya?

“Oh iya Mel, kamu pasti datang kan ke pesta pernikahanku besok malam?” tanyanya pelan.

Aku kesana? di acara bahagia teman dekatku dengan keadaan seperti ini? Aku takut memberi kesan yang buruk tentang pernikahan di hari pernikahannya. Aku harus bagaimana?

“Hmm.. iya Nadya aku usahakan,”

“Kok diusahakan? Kamu beneran sakit ya Mel? Ya udah ngga pa pa kalau memang tidak bisa. Jangan dipaksa,”

Aduh, aku serba salah. Temanku yang cerewet saja sampai menyerah, dan pasrah, aku harus meyakinkannya bagaimana lagi. Toh memang keadaanku seperti ini.

“Aku akan usahakan yang terbaik. Siapkan saja makanan yang enak, Melodi si pemburu makanan enak akan suka rela datang, hahaha” candaku diakhiri tawa sumbang.

Nadya ikut terkekeh di seberang. Aku menutup telpon setelah bercuap-cuap sedikit.

Aku memaknai sakit ini sebagai salah satu rasa dalam hidup dan perjalanan kisah. Seperti rasa pahit dalam kopi yang membuatnya nikmat.

Aku menyugesti diri bahwa tanpa rasa sakit ini, cintaku padanya tidak akan senikmat cinta.

Sakit hati tentu, tapi aku kembali berpikir bahwa itu memang haknya sejak kami menikah, hanya caranya yang salah.

Tadi saat membantuku, pertama kali, pertama kali aku melihat binar cinta dari onyx yang tiap hari kosong dan dingin.

Ugh.. sepertinya aku tak betah lama-lama tanpa sentuhannya lagi.. see, sekarang siapa yang gila coba?

---TBC

Holahoi manteman.. part ini jawaban buat part kemarin yang agak szadest.. author mikir, ngga nyangka aja imajinasi sampe sekejam itu.. :v
Gue psycho kali.. hohoho

SUAMIKU BACK TO NORMAL [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang