4

112 27 1
                                    

Ujian Akhir Semester sudah di depan mata. Tinggal dua minggu lagi. Tidak terasa sudah satu bulan terlewati semenjak pengakuan perasaanku dengan Bian. Aku dan Bian benar benar jauh sekarang. Aku tidak pernah mengobrol dengannya lagi. Terakhir kali hanya saat presentasi terakhir Final Project. Itu pun hanya sebatas membahas materi. Dia juga tak mengirimiku pesan.

Lalu hubungannku dengan Alesha membaik, dia sudah tidak menghindariku lagi. Kita malahan semakin akrab layaknya sahabat. Dia juga sering menceritakan kisahnya dengan Bian.

Sakit ? Tentu saja. Siapa yang tidak sakit jika orang yang kucoba kulupakan malah hampir setiap hari di sebut namanya oleh kekasihnya sendiri. Itu sama saja menaburkan garam di atas luka.

Untuk hubungan Alesha dan Bian terlihat mulai memburuk, Alesha sendiri yang bercerita sampai dia menangis. Dia tidak menjelaskan detail kenapa hubungan mereka memburuk, dia hanya menyebutkan kalau Bian itu berubah. Hanya itu.

Karena terlalu fokus untuk segera melupakan Bian aku sampai tidak sadar jika sudah 4 hari ini Bian tidak masuk kuliah. Aku ingin tidak peduli tapi rasa khawatir menghantuiku.

Entah muncul keberanian dari mana sampai aku bertanya dengan Alesha kenapa Bian tidak masuk.

"Kak Bian kemana Al, tumben kamu sendirian aja" tanyaku ketika selesai pelajaran kebetulan dia duduk di dekatku

Bukan jawaban yang kudapatkan namun malah isakan tangis dari Alesha.

"Eh kok kamu nangis Al" ak justru semakin cemas karena Alesha tiba-tiba menangis. Ada apa dengan Bian ?

"Kak Bian win, kak Bian"

"Iya kak bian kenapa ?"

"Kak Bian masuk rumah sakit win, dia kecelakaan motor. Dia belum sadarkan diri win sampai sekarang. Dia kritis."

Kritis ? Perasaan cemasku semakin menjadi mendengar Bian kritis. Pantas saja aku merasa cemas.

Semoga Bian cepat sadarkan diri.
Semoga Bian tidak apa-apa.

Ak mendekat dan merengkuh Alesha agar dia merasa tenang.

"Aku takut win kak bian ninggalin aku"

"Ssstt. Jangan negative thinking Al. Kita berdoa saja Kak Bian sadarkan diri."

Aku juga takut Al.
Aku juga takut kehilangan Bian.

Air mataku diam diam turun, namun segera ku usap agar Alesha tidak tau.

💠💠

Sudah hampir fajar namun aku tidak bisa tidur karena memikirkan kondisi Bian. Bagaimana kondisi Bian sekarang ? Apakah dia sudah sadar atau belum ?

Aku khawatir

Aku cemas

Aku ingin melihatnya sekarang.

Ah Bian kenapa kau membuatku seperti ini.

Satu pesan masuk ke ponselku. Pesan itu dari Alesha. Dia memberitahuku kalau Bian berhasil melewati masa kritisnya namun kondisinya belum stabil.

Aku sedikit bernafas lega sekarang karena Bian sudah sadar. Setidaknya aku bisa tidur sekarang walaupun hanya tinggal beberapa jam lagi sudah pagi.

💠💠

Entah Setan apa yang merasukiku sehingga aku sampai membolos mata kuliah Manajemen Proyek padahal matakuliah ini dosennya cukup killer. Aku tidak peduli, selama ini aku tidak pernah membolos. Lagian Dosen itu memberikan kesempatan tidak masuk 2 kali dan untuk minggu terakhir ini akan kugunakan kartu bolosku.

Kesempatan bolosku ini kugunakan untuk menjenguk Bian di rumah sakit. Kudengar jam besuk rumah sakit tempat Bian dirawat itu jam 4 sampai jam 6. Makannya aku membolos di jam terakhir jadwal kuliah hari ini. Dan alasan yang lain adalah karena Alesha mengikuti perkuliahan hari ini jadi dia tidak akan tau jika aku menjenguk Bian diam diam. Aku sangat khawatir jika tidak langsung melihat kondisinya.

Aku sampai di ruang rawat inap Bian. Ada ibu Bian yang menunggunya disana. Kata beliau Bian sedang tidur. Ibu Bian menyuruhku untuk menunggu Bian sebentar karena harus menemui dokter.

Tentu saja aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini.

Miris satu kata yang menggambarkan Bian saat ini. Ia terbaring lemas dengan alat bantu pernafasan di hidungnya, kepalanya di perban dan luka dimana mana.

Kecelakaan motor macam apa hingga membuat Bian seperti ini. Apa dia salto di atas mobil, atau habis debus dengan menabrakan dirinya ke sebuah truk. Kenapa kamu tidak hati hati Bian ? Tidak puaskah kamu menyakitiku dan sekarang malah membuatku khawatir setengah mati.

Rasanya aku ingin memarahinya saat ia bangun nanti.

Aku menghapus airmataku yang menyusup keluar.

"Kamu datang Win" suara parau Bian memecahkan keheningan. Aku segera berjalan mendekat ke ranjang rawat Bian.

Bian tersenyum tipis.

Singkirkan senyummu itu bodoh, apa kamu tidak merasakan sakit.

"Kamu datang sendiri ?" Tanyannya

Menurutmu ? Sudah jelas aku sendiri.

Aku mengangguk pelan

"Kamu sudah tidak marah lagi padaku"

Marah ? Tentu saja aku marah. Kamu sudah lancang membuatku khawatir. Siapa yang tidak marah.

Aku menggelengkan kepala

Bian terkekeh pelan seraya memegangi perutnya yang sepertinya sakit untuk di buat tertawa.

"Kamu tidak mau bertanya kondisiku bagaimana ?"

Aku menggeleng lagi.

Buat apa aku bertanya kalau jelas jelas aku sudah melihat kondisi Bian yang sangat menyedihkan sekali. Perban dimana-mana, bahkan lebih mirip mumi dibanding dengan seorang pasien.

"Lalu untuk apa kamu kesini"

Mekhawatirkanmu, mencemaskanmu, ingin melihatmu dan merindukanmu.

"Memastikan kalau kak Bian tidak mati"

Bian terkekeh lagi tapi juga sedikit meringis memegangi bagian perutnya.

"Aku tidak akan mati semudah itu Windy. Kamu harus tau itu."

Ya kamu memang tidak mati tapi kamu membuatku khawatir setengah mati.

"Maaf" ucapnya.

Aku mengerutkan dahiku, "maaf untuk apa?"

"Maaf karena aku tidak peka dengan perasaanmu. Maaf karena aku tidak jujur padamu. Maaf karena perhatianku yang kelewatan. Maaf membuatmu salah paham. Maaf membuatmu menyukaiku. Maaf telah menyakitimu dan maaf untuk semuanya" Bian menjeda kalimatnya

"Aku tidak bermaksud mempermainkanmu"

Kenapa Bian membahasnya lagi. Aku sedang tidak ingin membahas soal perasaanku lagi. Aku sudah muak.

Lalu apa yang harus ku katakan sekarang ?

Bian meraih tanganku lalu menggenggamnya. Efeknya membuat jantungku berdebar lagi.

Kumohon jangan seperti ini lagi, semua ini sudah cukup membuatku terluka.

"Maafkan aku Windy" lirihnya

Aku menggeleng pelan lalu tersenyum menatap wajahnya yang sayu.

"Ini bukan salah kak Bian. Ini salah ku sendiri, aku saja yang terlalu terbawa perasaan. Aku seharusnya yang minta maaf karena salah mengartikan sikapmu padaku" perlahan aku menarik tanganku dari genggamannya lalu mundur beberapa langkah.

"Cepat sembuh kak. Aku pulang" pamitku kemudian keluar dari ruang rawat inap Bian. Dan untuk sekian kalinya aku menangis lagi dengan satu alasan yang sama, yaitu Bian.

Mungkin cukup sampai di sini saja. Aku tidak akan menangis lagi karenanya. Aku akan mencoba melupakannya.

____

Searah ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang