Radha melangkahkan kakinya menuju gerbang dengan tidak semangat. Benar saja, tadi malam Ayahnya membahas soal perjodohan. Entah kenapa Radha merasa keluarganya itu sangat tidak adil, hanya dia yang diperlakukan keras oleh Ayahnya.
“Paling juga gua anak tiri kali ya,” gumamnya.
Dia melangkah masuk ke kelasnya yang sudah mulai ramai. Beberapa dari mereka nampak sedang menyalin catatan. Tak heran anak kelas 12 memang seharusnya seperti itu, beberapa bulan lagi mereka akan dihadapkan dengan ujian nasional.
“Umi kenapa?” Pertanyaan itu terlontar dari Rifa. Radha tak langsung menjawab, dia malah menumpu wajahnya dengan sebelah tangan. Bagaimana pun soal perjodohan itu membuat beban hidupnya bertambah.
Tyas dan Eka yang memang biasanya menjadi klien curhat Radha mendekat. Ikut mengamati wajah Radha.”Umi baik-baik ajakan? Hari ini udah makan baygonkan?”
Raut wajahnya berubah menjadi datar karena pertanyaan bertubi-tubi dari Tyas. “Lo itu, dah makan rinso belum hari ini?” Radha membalas. Tyas terkekeh.
Radha merebahkan kepalanya di atas meja. Tiba-tiba saja kepalanya menjadi berat. Rifa, Tyas dan Eka menatap bingung.
“Kagak biasanya lo begini, Mi? Sejak kapan Umi Radha hobi ngeggalau,” tanya Eka sambil menarik kursi untuk duduk mendekat.
Radha menghela nafas. “Ada kalanya wahai anak-anakku, Umi kalian ini lebih stres dari biasanya,” ucapnya dramatis. Sontak Rifa, Tyas dan Eka tertawa.
“Tertawalah kalian sepuasnya, selagi tertawa masih diperbolehkan pemerintah.” Ucap Radha tambah ngawur.
“Apa sih receh banget kita. Gini aja ketawa,” kata Eka disela-sela tawanya.
“Emang sinting yang berteman sama Radha,” sambar Wahyu yang sedang piket, Radha tak peduli dia kembali merebahkan kepalanya diatas meja.
“Lo juga sinting berarti, kan lo temannya Umi juga,” balas Eka.
“Siapa juga yang mau berteman sama dia,” Wahyu mengedikkan kepalanya ke arah Radha.
“Halah, banyak kali bacot kau, Yu!” Hilal berseru sambil berjalan keluar.
Wahyu tak menggubris, dia simpati juga. Memang tak biasanya Radha begini. “Lo kenapa dah?” Tyas mencibir.
“Dha?” Panggil Wahyu. Dicolek-coleknya lengan Radha.
“Apa sih? Dari pada ganggu gua mending piket aja sana!” Radha merasa tak nyaman, dia hanya ingin sendiri saat ini.
Wahyu menghela nafas. “Tapi lo beneran gak apa-apakan?” lagi, dia bertanya.
Radha berdecak, diangkatnya kepala dengan raut wajah tertekuk. “Gak apa-apa. Udah sana!” Dengan terpaksa Wahyu menyingkir dan melanjutkan piketnya.
“Wahyu itu ya, dia care banget sama Umi. Belum pernah gua ngeliat dia sekepo itu sama urusan anak cewek di kelas ini,” Eka berpendapat dan diangguki oleh Rifa dan Tyas.
Kembali Radha angkat kepalanya. “Gak usah mikir yang aneh-aneh. Wahyu juga gitu kok ke yang lain, Hanum contohnya,” Radha merasa harus meluruskan rumor yang sempat beredar dikalangan teman kelasnya.
Radha merasa tidak nyaman dengan rumor itu. Baginya Wahyu care begitu karena cukup dekat dengannya, ditambah mereka sering sekelompok kalau ada tugas.
“Ada apa nich? Gua ketinggalan sesuatukah?” Hanum datang dengan wajah cerianya, tak terlihat kalau dia sempat sakit kemarin.
“Gimana keadaan lo? Gak sakit lagikan?” Radha malah memberi pertanyaan tanpa menjawab.
Hanum tersenyum sangat lebar, ditepuknya perutnya beberapa kali. “Alhamdulillah,” Radha menanggapi dengan satu anggukan. Setelah itu kembali menelungkupkan kepalanya.
“Kenapa lo, Mi?” Hanum bertanya, tapi saat ini Radha sangat malas menjawab pertanyaan seperti itu.
“Kenapa dia?” Radha dengar jelas kalau Hanum bertanya, mungkin saja pada Rifa atau pada Eka atau juga pada Tyas.
“UMI!UMI! ADA BERITA PENTING! SANGAT-SANGAT PENTING!” Radha mengangkat kepalanya malas, hal apalagi sih? Batinnya.
Wati, perempuan itu nampak menumpukan tangannya di meja, badannya sedikit membungkuk sambil mengatur nafas. “Apa sih, Don, datang-datang ribut!” Kata Hanum.
“Ini genting, sumpah. Si kak Afra mau ngelabrak lo katanya,” perempuan itu menjelaskan dengan semangat menggila. Radha memejamkan matanya, mengusir rasa pening di kepalanya.
“Mau ngapain sih dia labrak-labrak? Di kira ini sekolah nenek moyangnya apa,” sembur Tyas.
“Lo ada masalah sama dia, Mi?” Hanum bertanya, pusat perhatiannya jatuh sepenuhnya pada perempuan berjilbab panjang di sebelahnya ini.
Radha menggeleng pelan. Jangankan berurusan dengan si Afra itu, bertatap muka saja belum pernah. “Terus kok dia nyariin lo?”
Radha berdecak. “Mana gua tau,”
Tiba-tiba saja suara gebrakan pintu yang di tendang menyita perhatian seluruh kelas. Di depan kelas sana berdiri angkuh perempuan bernama Afra itu dengan dua temannya di kiri dan kanan.
“MANA YANG NAMANYA RADHA?” Perempuan dengan rambut yang terjulur di sela-sela jilbab putihnya itu berkacak pinggang. Benar-benar bersiap untuk adu jotos.
Radha hanya menatap datar. Dia lagi malas buat masalah, tapi ada saja yang memancing. “Gua bilang mana yang namanya Radha? Budek lo semua?” Afra kembali berteriak.
“Gua.” Radha mengangkat tangannya dengan ogah-ogahan.
***
Double update ya sahabat fillah. Syukron ukhty2 wa akhi2
KAMU SEDANG MEMBACA
Mendadak Khitbah
SpiritualJatuh cinta itu mudah, bisa dengan siapa saja. Tetapi, jatuh cinta pada orang yang tepat sekaligus karena Allah itu yang sulit. *** TOLONG DIPAHAMI KALAU CERITA INI BELUM REVISI SEPENUHNYA. JADI, KALAU ADA PENULISAN ATAU FAKTA2 YG KELIRU DI MAKLUMI...