Chapter 04

11.6K 710 19
                                    

Radha menatap pantulannya di cermin. Baju gamis, jilbab panjang serta pakai kaos kaki, style Radha sehari-hari. Karena seperti ini jugalah teman-temannya memanggil dia Umi.

Radha merasa bukan perempuan sholehah hanya karena gaya pakaiannya serta lingkungannya yang agamis. Baginya, pakaian seperti ini memang seharusnya di pakai wanita muslim, tak peduli kamu baik atau buruk. Karena ini kewajiban.

Lalu, matanya beralih ke arah jam dinding. Sudah hampir pukul setengah lima. Bundanya pasti sudah sibuk mengajar di Masjid sana. Dia harus menyerahkan surat panggilan itu ke Bundanya sebelum malam, semoga saja Bundanya mau datang.

Segera disambarnya amlop putih yang tergeletak di atas kasur. Radha berlari menyusuri tangga dan cepat memakai selopnya.

Dengan tergopoh-gopoh dia menuju Masjid kompleksnya. Tak cukup jauh, kalau berjalan kaki hanya memakan waktu paling lama sepuluh menit. Dibalik jilbab, kedua tangannya menggenggam erat amlop itu.

Benar saja, jantungnya dugun-dugun, padahal yang dia hadapi ini adalah Bundanya, wanita terlembut yang pernah di temuinya.

Kakinya melangkah memasuki area Masjid. “Eh, Radha?” sapa marbot Masjid.

Radha tersenyum pada pria paruh baya tersebut. “Iya, pak Dhe. Dha, masuk dulu ya, pak Dhe?”

“Oh iya,lanjut-lanjut,”

Radha membuka selopnya di bawah anak tangga. Lalu, melangkah melewati batas suci. Dia celingak-celinguk untuk menemukan Bundanya diantara banyaknya bocah. “Nah,” gumamnya. Bundanya sedang sibuk mengajari membaca iqro.

Radha memilih duduk dekat pilar. Sembari menunggu Bundanya selesai, dia menyibukkan diri dengan membaca chat yang masuk ke Linenya. Kadang tertawa sendiri membaca guyonan receh dari Madona alias Wati.

“Assalamu’alaikum? Permisi?” Radha mengangkat pandangannya. Tiba-tiba saja waktu seperti slomotion, Radha terpana dengan laki-laki dihadapannya ini. Baru pertama kali dia melihat manusia yang nampak bercahaya seperti ini.

Radha berdiri canggung. “Wa’alaikumussalam. Ya?” mungkin, kalau Wati ada disini dia sudah muntah mendengar intonasi lembut yang Radha berikan.

Laki-laki itu mundur beberapa langkah, cukup membuat Rada bingung. Pandangan matanya juga tidak lagi terarah ke Radha. “Maaf, saya mau nanya, kamu kenal ustadzah Syanum?”

“Ustadzah Syanum?” Radha berpiki dulu, siapa itu? “Oh...itu mah Bunda saya,” Radha menggaruk kepalanya, kenapa dia sampai lupa nama Bundanya sendiri.

“Saya mau ketemu, bisa?”

“Ah,” Radha menoleh ke dalam Masjid. “Bisa kok, mas. Bunda saya ada di dalam, lagi ngajar. Masuk aja,” Radha bersikap amat ramah. Siapa tahu laki-laki didepannya ini bisa jadi jodohnya.

“Oke,” singkat, padat dan jelas. Bahkan, tidak pakai anggukan. Laki-laki itu masuk tanpa berpamitan atau sekedar mengucapkan terima kasih. Radha sampai ternganga.

“Gila, gak ada sopan santunnya. Ngucap makasih aja enggak,” gumam Radha. Fix, Radha membuang jauh-jauh hayalannya yang ingin jadi jodoh laki-laki tadi.

***

Hari sudah mulai gelap, anak-anak TPQ itu pun satu-persatu bubar. Dilihatnya Bundanya berjalan menuju tempat wudhu wanita, oke berarti Bundanya hendak solat maghib di Masjid. Radha bergerak mengambil mukena di lemari, lalu meletakkannya di saf pertama paling pinggir. Amplopnya pun dia simpan di bawah sajadah.

Mendadak Khitbah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang