Matahari telah memasuki batas edarnya. Pijar kuning perlahan meredup dan menggelapkan langit. Gema azan pun terdengar memenuhi angkasa yang merangkak menuju malam. Setelah pamit dengan Mamah, Ranu beranjak pergi menuju terminal dengan menggunakan taksi.
Di dalam taksi, Ranu terus memandangi sebuah foto seorang perempuan yang tengah mengais anaknya. Ia usap foto itu perlahan, seketika tangis pecah di matanya. Ranu teringat kembali pada semua masa yang tak pernah dilewatkan tanpa Ibu. Ibu selalu ada di sampingnya, dalam waktu setiap keadaan.
Ketika Ranu bersedih, Ibu akan meminta Ranu tidur di atas pahanya lalu mengelus halus rambut coklatnya. Lembut sekali, rasanya. Dan jika sedih yang mendera belum juga mereda, Ibu akan berbicara, "Jangan lama-lama sedihnya, nanti hidung anak Ibu tambah mancung," katanya seraya mencubit hidung mancung milik Ranu.
Ranu akan mengamininya dengan tersenyum atau bahkan tertawa kecil. Otomatis, sedih yang terasa menghilang begitu saja.
Ibu adalah orang yang humoris. Ia pandai membuat orang-orang di sekitarnya tertawa bahagia dan merasa aman berada di dekatnya. Pun ia pandai, menyembunyikan keluh kesahnya dengan sebuah senyum yang entah palsu atau tidak. Setiap orang tua tak akan mau membiarkan anak-anaknya mengetahui keadaan mereka, mereka tak ingin membuat buah hatinya bertanya-tanya kenapa.
Ranu menggurat senyum. Ia mengusap pipinya yg mulai basah lalu menghentikan tangisnya. Ibu pasti tak ingin melihat anaknya bersedih, kata batinnya.
***
Malam kini menguasai cakrawala. Rembulan bertengger indah dengan cahayanya yang menyeruak. Beberapa bintang menemani bulan yang sendirian.
Manusia-manusia lalu lalang. Bus-bus antardaerah keluar-masuk bergantian. Pedagang asongan terus menjajakan dagangannya demi lembaran rupiah. Kernet-kernet bersuara lantang menggemakan jurusan tujuan.
Demi lembaran uang kertas, manusia akan melakukan apapun, juga tak mengenal waktu.
Akan selalu ada yang datang lalu pergi. Akan selalu ada yang cuma umbar-umbar janji belaka. Akan selalu ada yang bermuka dua. Biarkan saja. Semuanya ada sebagai penyeimbang semesta. Dan mereka ada sebagai ujian untuk menjadi tempat singgah sebelum akhirnya menjadi rumah.
Ranu masuk ke dalam bus. Lalu duduk dekat dengan kaca bus. Tak berselang lama, beberapa orang masuk ke dalama bus lalu duduk di tempat pilihannya.
Sang supir menduduki kemudi, lalu menghidupkan mesin bus. Pintu-pintu bus ditutup pertanda bus akan segera meninggalkan terminal.
Bus keluar dari terminal, meninggalkan tempat yang tak pernah sepi oleh kedatangan dan kepergian. Jarak Bandung-Banten tak terlalu jauh, hanya sekitar empat jam bila ditempuh lewat jalur tol. Ranu tahu perjalanannya akan membosankan, ia membuka lagi catatan bersampul biru, dan melanjutkan lagi membaca nostalgia yang tertera.
***
Catatan Ranu:
Obor Yang Tak Lagi MenyalaJujur saja, aku tak pernah menyangka hubungan yang telah lama kita bangun, kamu hancurkan begitu saja. Katanya, kita sudah berbeda jalur tujuan. Namun, nyatanya, kamu yang justru membelok ke arah yang tak seharusnya.
Aku tak pernah percaya, kita yang dulu dulu sehangat mentari kini berubah sedingin Dieng di malam hari. Aku berulang kali mencubit tanganku, berharap semua yang terjadi hanyalah mimpi buruk—yang paling buruk—yang pernah kualami. Terasa sakit, ternyata bukan mimpi, kamu tega mengiris hati.
Bodohnya, aku mengalamat semua impian padamu sehingga saat kamu menghilang, ia ikut melenyap bersamamu. Bodohnya, aku terlalu yakin menganggapmu rumah, sebelum kemudian kamu mengucap serapah yang membuatku sadar aku telah salah. Kamu hanya menerimaku sebagai tempat singgah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ranu Biru
General FictionRanu Biru. Kata "Ranu" diambil dari bahasa Jawa yang berarti air dan "Biru" yang diambil dari birunya lautan. Ya, Ranu dilahirkan di atas sebuah kapal feri, di atas selat Sunda.