I. Ketika Senja di Jakarta
Tentangmu, tidak banyak yang dapat aku ingat. Apakah itu suaramu? Aku belum pernah mendengar kamu berbicara. Mungkin kekar tanganmu yang menggenggam tanganku? Bahkan kita tidak sempat berjabat tangan dan saling mengenalkan diri. Selain punggungmu yang semakin jauh, aku tidak tahu apapun. Semua kenang tentangmu hanyalah ingatanku sendiri.
Kamu yang dulu dengan seragam sekolah, setiap pagi menunggu kendaraan umum, angkot. Kamu yang selalu memilih duduk di kursi depan, karena tungkai kakimu panjang. Laki-laki yang memiliki tahi lalat di bagian pundak, itupun aku tahu ketika kita naik kendaraan umum yang sama. Jangan protes kalau kamu tidak merasa, ini kan hanya ingatanku sendiri. Ingatan yang membuatku selalu merasa rindu. Sekali kita pernah duduk bersebelahan, namun jarak terasa sangat jauh. Terimakasih, aku jadi tahu bahwa jantung pemberian Tuhan begitu luar biasa, hingga bisa berdebar minta keluar. Kamu tidak tahu, jadi tidak akan rindu.
Hari itu, pada perjalanan pulang dari mengunjungi Ibukota. Dalam bis dengan kaca yang lebar, dilengkapi pendingin, dan televisi. Aku termenung, seperti orang kena rampok. Dari kejauhan entah dimanapun kamu ada dalam semua kerumitan di sana, aku rasakan rupamu menggantung pada mendung yang menutupi gedung-gedung tinggi. Seharusnya senja berwarna jingga. Rindu tidak seharusnya membuatku sendu, bila saja ada temu. Sekali saja lagi, ingin melihatmu. Seseorang mungkin memang sudah mencuri sesuatu dariku. Hati.
Teman duduk di sebelahku sedang mentertawakan film komedi yang ia tonton. Apa hidup ini juga komedi? Sebuah lelucon yang pantas untuk ditertawakan? Kadang terlalu satir, terlalu klise untuk menangis. Ketika aku dan teman-teman wanita bercerita tentang perasaan. Aku katakan pada mereka cerita sialan yang membosankan, selalu tokoh utamanya tentang kamu. Seseorang yang sekian lama hanya bisa aku perhatikan dari kejauhan, dalam diam tak tersentuh. Apa asyiknya? Benar-benar cerita cinta yang membosankan. Teman wanitaku tertawa ketika merasa perih, kami diam, masing-masing akhirnya larut akan seseorang yang bahkan orang itu tidak pernah peduli sama sekali.
Aku kira waktu sudah membawa semua kenang tentangmu membusuk. Kemudian akhirnya lapuk. Atau aku yang salah? Bahwa sebenarnya semua tentang kamu adalah seperti anggur? Yang semakin tua dan purba, membuatku semakin mabuk. Dan jika sudah begitu, angin yang menyelusup telingaku membisik namamu. Satu nama terkutuk yang aku temukan pada akun Facebook.
"Bego ... " Bisakah seseorang mencintai tanpa mengenal?
Kita pernah jauh, namun dekat pada setiap kotak messenger. Kita pernah duduk sangat dekat, namun jauh, semakin jauh. Nyatanya jarak bukan masalah angka puluhan kilometer, kadang jarak adalah perasaan untuk saling menjaga karena keadaan tidak lagi sama.
Hari itu, ketika langit mulai senja di Jakarta, kamu hanya berjarak empat kilometer dari bis yang membawaku pulang. Seharusnya aku tidak membuka Facebook, mengecek daftar teman di sekitar. Tapi itu yang sering aku lakukan, ingin tahu kamu ada dimana. Selalu terlalu jauh. Ketika senja di Jakarta, langit mendung, udara dingin. Aku pulang. Aku bawa buah tangan yang bernama kenangan. Kenanganku sendiri.
Terimakasih untuk sempat mengenalmu
Kamu, jaga diri baik-baik di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sampaikah Senja di Tempatmu, Kekasih?
RandomSurat-surat kepada Dewanda. Senja juga penting untuk orang yang selalu merasa kehilangan.