Kilas balik. Malam sebelumnya.
Lampu yang temaram, wangi vanili yang lembut, serta duvet yang empuk membuat Chorong menyadari satu hal; ia sedang berada di kamarnya.
Ia menggeliat menahan mual yang perlahan semakin terasa. Seseorang yang berdiri di samping kasurnya, membungkuk untuk bertanya, “Kau baik-baik saja?”
Chorong mendengar nada kekhawatiran yang khas serta melihat ekspresi lembut yang—sejujurnya—sangat ia rindukan. Tiba-tiba, satu-dua ingatan serupa puzzle acak seolah memaksa masuk ke kepalanya. Membuatnya tersentak. Lalu, meringis.
“Chorong-ssi?”
Kali ini, orang itu mendekat dengan panik. Chorong terdiam sejenak untuk menjernihkan pikiran meski persentase keberhasilannya hampir mencapai kata mustahil. Tetapi setelah beberapa menit, kuasa alkohol terhadap seluruh indranya, mulai terminimalisasi. Perlahan, ia dapat melihat lebih jelas orang yang sedari tadi sibuk menanyakan keadaannya dengan lembut.
Orang itu, Nam Woohyun.
“Kau membenciku?” Suara parau Chorong memecah keheningan di antara mereka. Sukses membuat keduanya membelalakkan mata karena terkejut, menyadari minimnya relevansi pertanyaan tersebut dengan seluruh situasi yang terjadi saat itu. Woohyun diam memandanginya dengan raut wajah yang sulit ditafsirkan, sementara Chorong mengalihkan pandangannya karena menyesal telah mengajukan pertanyaan konyol semacam itu tanpa berpikir dua kali.
Kemudian, secara hati-hati Woohyun menjawab, “Tidak sama sekali. Mungkin malah, justru sebaliknya.”
Pelan-pelan, Chorong menoleh untuk balas menatap Woohyun. Mencari setitik saja pemahaman dari kalimatnya yang kaya akan makna itu.
“Lalu, kenapa menghindariku?” Dengan segenap keberanian yang bisa ia kumpulkan hanya dalam waktu beberapa detik itu, Chorong bertanya.
Woohyun menghela napas panjang begitu mendengar pertanyaan inti itu terlontar dari bibirnya. Chorong tahu itu adalah pertanyaan tersulit yang menyusahkan. Ia bahkan mungkin telah merusak suasana netral—setidaknya, tidak secanggung tadi, saat mereka masih duduk bersama di kedai soju—yang telah tanpa sengaja terbangun itu. Tapi, alkohol telah berhasil melumpuhkan kemampuan berpikir pertimbangan jangka panjangnya saat itu. Ia hanya bisa mengikuti alur pikir alam bawah sadarnya.
“Aku seorang pengecut,” Woohyun memulai dengan senyum pahit yang tersemat di bibirnya, “Aku takut menghadapi segala hal yang berpeluang menjurus pada akhir yang sama.”
Chorong mengamati ekspresi Woohyun yang baru kali itu ia saksikan. Air muka seseorang yang teramat tak berdaya dan hampir putus asa. Penuh dengan siratan keluh dan kesahnya mengenai dunia yang selalu memaksanya untuk menyerah. Chorong tidak dapat menyebutkan semua jenis emosi negatif yang terpancar dari wajah Woohyun saat itu, tetapi dari matanya yang sayup ia melihat kepahitan apa yang tengah laki-laki itu perlihatkan padanya.
Ekspresi baru itu telak membuat Chorong terhenyak.
Ia mulai menyadari satu hal; hal yang membuka pola pikirnya dalam sekejap, bahwa ia belum tahu apa pun tentang seorang Nam Woohyun. Pada tiap waktu ketika mereka bersama, yang cenderung masih singkat itu, mereka selalu hanya fokus pada ceritanya. Woohyun akan mendengarkan setiap masalahnya dengan sabar. Dia akan menghiburnya, mengucapkan kata-kata penenang untuknya. Laki-laki itu akan selalu di sisinya untuk mencerna semua kesedihannya tanpa balik bercerita. Hanya Woohyun yang mengenal Chorong. Chorong tidak mengenal Woohyun.
Menyadari kesalahan fatalnya, Chorong terisak.
“Hei, hei, hei... Jangan menangis lagi,” Woohyun mengulurkan tangan untuk menghapus air mata Chorong yang mulai terkumpul pada sudut-sudut matanya. Mencegah butir-butir itu mengalir lebih deras lagi. Tapi, sikap Woohyun justru semakin menyesakkannya. Lalu, tangisnya pun mencapai puncak saat Woohyun dengan lembut terus-menerus berbisik, “Maafkan aku... Ini semua salahku... Maafkan aku...”
KAMU SEDANG MEMBACA
Reach Your Heart
FanfictionAku menemukanmu dalam angka satu yang tak terjamah. Aku mencintaimu untuk satu hari yang tak terwujud. Dan aku merelakanmu untuk hilangkan kesempatan kita berdua dalam jangka sehari saja. Sebab detikmu, paduan eksistensimu, lebih penting daripada ke...