BAB 1 – WHAT
Apa yang Sebetulnya Tengah Terjadi?
***
"Dia telah meninggalkan saya," aku mengucapkan kata demi kata itu dengan tingkat kepasrahan tertinggi yang kupunya. Aku tidak menatap mata Dokter Yasmin, alih-alih menatap jemariku yang saling bertaut satu sama lain karena otakku menolak untuk betul-betul memasifkan otot-otot di tubuhku seutuhnya.
Hari ini, ruang praktik Dokter Yasmin terasa begitu dingin, entah mengapa. Padahal, aku tahu dengan jelas bahwa ia tidak pernah mengatur temperatur ruangannya lebih rendah dari suhu dua puluh derajat Celcius—sebagaimana biasanya.
Aku merasa bahwa barangkali, rasa gigil itu muncul dalam diriku karena aku betul-betul dalam kondisi yang amat kacau. Cuaca buruk yang menguasai kepalaku tadi malam adalah yang paling parah daripada malam-malam sebelumnya. Aku menggelengkan kepala dengan ngeri ketika teringat tentang sebuah pisau yang entah bagaimana ceritanya, ada di dekat kakiku ketika aku terbangun di pagi hari dan menemukan diriku tertidur di atas lantai. Aku tidak ingat apa yang sudah kuperbuat tadi malam. Tetapi untungnya, tidak ada segores pun luka fisik yang kutemukan di seluruh tubuhku.
"Dia tidak pernah datang atau menghubungi saya lagi. Dia menghilang begitu saja. Saya tidak bisa memahami apa salah saya. Tapi, entah kenapa, saya merasa bahwa ini adalah salah saya." Keringat dingin mengucur di bagian punggungku. Jantungku berpacu lebih cepat. Entah mengapa aku merasa bahwa saat ini, rasanya aku akan mati dalam waktu dekat dan tidak ada harapan bagiku untuk mampu mendapatkan kebahagiaan baru.
Saat itu, kuberanikan diri untuk menatap wajah Dokter Yasmin yang ternyata masih sibuk mencatat sesuatu pada buku sucinya di atas meja. Aku memutuskan untuk melanjutkan ucapanku karena keheningan dari Dokter Yasmin menyiratkan bahwa ia merasa butuh penjelasan lebih banyak lagi.
"Saya terlalu buruk. Terlalu rendah dan tidak berharga, karena itulah dia pergi dari saya. Tidak mungkin orang sesempurna dia mau bersanding dengan produk gagal seperti saya. Dia pergi karena kesalahan saya. Karena saya bodoh, rendah, dan tidak sempurna. Saya tidak pantas dengan dia. Dia lebih baik bersanding dengan mantannya yang seorang model itu," aku menjelaskan cepat-cepat, entah mengapa seperti mengikuti irama detak jantungku yang kini seakan bergemuruh.
Dokter Yasmin masih belum bereaksi apa-apa, yang membuatku jadi gelagapan karena aku tidak tahu bagaimana harus melanjutkan ceritaku lagi. Cerita itu sudah selesai, tidak ada kata-kata lagi yang bisa kugunakan untuk menambahkan penjelasannya.
"Saya sudah selesai," desahku pelan dan malu-malu, pada akhirnya. Barulah saat itu, kulihat bola mata Dokter Yasmin yang berwarna coklat gelap, memandang mataku dengan sorot keteduhan. Aku mengetahui bahwa sorot mata itu bukanlah sebuah ancaman, namun entah mengapa setiap kali Dokter Yasmin melakukan hal itu—menatapku, bola mata itu selalu berhasil membuat gerak dari otot jantungku menjadi lebih lincah lagi.
"Lalu, apa yang kamu rasakan saat ini, Lintang?" tanya wanita itu, pada akhirnya, dengan nada lembut. Ia melipat tangannya ke atas meja sehingga tubuhnya terlihat lebih mencondong ke arahku dan pandangannya betul-betul jatuh ke dalam mataku.
Aku buru-buru mengalihkan pandanganku ke vas bunga di atas laci yang terletak di belakang Dokter Yasmin dan mulai memikirkan jawaban apa yang akan aku katakan kepada wanita ini. "Saya merasa sedih. Hampa. Kosong. Tidak berarti. Saya merasa bahwa tidak seharusnya saya ada di muka bumi ini. Dia tidak menginginkan saya. Tidak ada seorang pun yang menginginkan saya untuk ada di sisi mereka," jelasku panjang lebar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Labirin
Teen FictionLintang Diatri mengalami depresi. Mulanya, dia mengira bahwa depresi itu terjadi karena kepergian seseorang yang telah diam-diam disukainya selama tiga tahun. Namun, menurut Dokter Yasmin, psikiater yang menangani terapi psikologisnya, alasan datang...