BAB 5 – HOW
Bagaimana Semuanya Bermula?
***
Aku melirik jam di dinding dengan gelisah. Seharusnya, Ibu sudah pulang saat ini sebagaimana biasanya. Tulisan berwarna merah yang terpampang di laman pengumuman SBMPTN membuat keringat dingin mengucur dari tubuhku yang mendadak saja terasa tidak begitu sehat. Aku tahu kalau hal ini akan terjadi, aku kembali mendapat penolakan dari jurusan Kedokteran.
Seharusnya, aku mendengarkan apa yang diucapkan Ibu—cuti satu semester dan bukannya memaksa untuk membagi waktu antara persiapan SBMPTN dan kuliah. Aku hanya tidak mau tertinggal setengah tahun di Arsitektur karena aku telah merasa sangat nyaman dengan teman-teman seangkatanku. Adaptasi dengan lingkungan baru adalah hal yang sangat sulit untukku. Cuti berarti tertinggal di belakang dan terpisah dari teman-temanku, dan aku tidak mau mengorbankan hal itu hanya demi SBMPTN yang belum jelas peruntungannya.
Jantungku berdegup sangat cepat. Sebagian hatiku berharap agar Ibu dan Ayah segera tiba di rumah, tetapi sebagian yang lain lagi berharap bahwa mereka tidak usah pulang saja hari ini. Aku sudah menerima kegagalanku, namun aku belum siap untuk melihat raut kecewa di wajah kedua orangtuaku jika mereka mengetahui bahwa aku kembali gagal untuk kedua kalinya.
Saat aku hendak kembali ke kamarku di lantai atas, suara mobil yang baru memasuki garasi, membuatku mengurungkan niat. Aku mematung selama beberapa waktu, terjebak antara bingung dan gugup bagaimana harus menyampaikan berita ini. Ibu tidak segera masuk, begitu pula Ayah. Aku tidak tahu apa yang terjadi di luar, namun segera mendapatkan jawaban begitu melihat sosok lelaki bertubuh jangkung, mengikuti Ibu dan Ayah memasuki rumah.
Kakak keduaku baru saja pulang dari Jepang.
"Sehat, Dek?" tanya kakakku itu begitu menemukanku yang mematung di ruang keluarga. Aku mencium punggung tangannya seraya tersenyum tipis. "Sakit, kamu? Pucat banget mukanya." Ia melanjutkan pertanyaannya sebelum aku menjawab pertanyaan yang pertama.
Mas Samudera meletakkan punggung tangannya di keningku, yang kemudian kutepis dengan pelan sebelum akhirnya berkata. "Bu, Yah, aku gagal lagi."
Selama jeda beberapa detik, tidak ada yang bersuara untuk menimpali apa yang kukatakan. Baik Ibu maupun Ayah, keduanya menyiratkan ekspresi yang tidak mampu kuterjemahkan. Mas Samudera adalah yang pertama kali berinisiatif untuk memecah keheningan. "Arsitektur nggak buruk kok. Mas yakin, Lintang bisa jago di situ. Lagian, Lintang udah ada dasar bisa gambar dari kecil, kan?"
Tetapi sayangnya, pembelaan dari Mas Samudera malah semakin memperburuk keadaan. Aku tahu fakta bahwa aku hanya bisa berkuliah di jurusan Arsitektur dan bukannya Kedokteran adalah hal yang menyakitkan bagi Ibu karena kami telah sama-sama berekspektasi sejak dulu bahwa aku pasti akan menjadi dokter.
Entah mengapa saat itu, aku tidak bisa menahan diri untuk memeluk kedua orangtuaku dan menumpahkan tangisku di sana. "Maafin Lintang. Lintang gagal lagi ... Lintang ngecewain Ibu sama Ayah. Lintang nggak bisa memenuhi keinginan Ibu sama Ayah."
Ibu tidak berbicara apa-apa, hanya telapak tangannya yang bergerak-gerak pelan mengusap punggungku yang dibanjiri keringat dingin. Ayah, berkali-kali mengatakan bahwa tidak apa-apa yang tentu saja kuketahui bahwa itu hanyalah basa-basi. Bagaimanapun, aku kembali menghancurkan harapan mereka, dan itu lebih buruk daripada menolak keinginan mereka sejak awal yang memintaku untuk kembali mengikuti SBMPTN.
KAMU SEDANG MEMBACA
Labirin
Teen FictionLintang Diatri mengalami depresi. Mulanya, dia mengira bahwa depresi itu terjadi karena kepergian seseorang yang telah diam-diam disukainya selama tiga tahun. Namun, menurut Dokter Yasmin, psikiater yang menangani terapi psikologisnya, alasan datang...