O1

1.1K 142 23
                                    


Kata orang, hidup itu tergantung seperti apa kita menjalaninya, dan aku tidak ingin kembali menyia-nyiakan hidup baru yang hendak kujalani.

• Jungkook centrics



1 bulan lalu aku pindah ke rumah kakek, disebuah kota yang tak seramai dan semodern sebelumnya, namun memiliki udara yang lebih bersih dan tidak bising. Aku memang tinggal di pedesaan yang asri, yang bahkan suara jangkrik dan serangga rawa masih terdengar dari hamparan kebun dan sawah disisi kanan dan kiri jalan beton. Dengan sepeda yang kakek belikan 3 minggu lalu, aku terbiasa mengayuh sepeda sejak pagi hari, lalu kembali ketika waktu makan siang telah tiba. Kakek bilang ini untuk alat transportasiku ketika sekolah dimulai nanti.

Beberapa hari sebelum memberikan kejutan, ia berujar dan tersenyum sembari mengelus permukaan kulit di rongga mataku yang masih kebiruan.

"Sudah sebulan tapi kenapa bekasnya masih ada ya?" Kakek sangat cemas ketika mengatakan kalimat itu, sembari mengusap wajahku yang kecil ia mengambil sapu tangan dan menuang air hangat kedalam wadah. Ia tak banyak menggerutu, namun wajah 55 tahunnya tentu tidak perlu repot-repot menyembunyikan kesedihan. Aku dapat melihat raut kesal bercampur marah, barangkali ekspresi itu ditujukan untuk orang yang selalu memukuliku. Ketika permukaan hangat dan basah itu menyentuh ujung mataku kakek pun bertanya. "Apa masih sakit? Dasar bocah tengik jaman sekarang, bagaimana kalau mata cucuku tidak bisa berfungsi dengan baik lagi."

Aku menggeleng untuk menenangkan kakek, meski terkadang aku selalu merasakan tatapanku mengabur atau sekedar berkunang-kunang sesaat.

"Aku sudah baik Kek, mungkin itu hanya warnanya saja yang belum kembali berubah."

Kakek tidak menjawab apa-apa, ia cuma menatapku dan menghela nafas. Setiap malam, kakek mengompres mataku yang belum juga kembali normal dan suatu ketika aku mendapatkan sepedaku dimalam berikutnya. Bersama seragam baru dan sepatu serta ransel yang kelihatannya terlalu mahal, mengingat kakek hanya bertani dan membiakan ternak.

"Ini akan memudahkanmu pergi ke sekolah." Kata kakek sambil lalu.

Karena disini bus sekolah belum ada, jadi satu-satunya pilihan adalah berjalan kaki. Itulah alasan ia membelikanku sepeda, karena sebagian anak di sekolah baruku memilikinya. Tapi sepatu dan ransel yang bagus itu, aku sedikit tertegun menyadarinya. "Kakek tidak ingin cucu kakek ini kesulitan."

Kala itu, aku hanya mampu memeluk kakek dan menangis. Ya mau bagaimana lagi, aku kan baru hendak meninggalkan usia 14. Aku menangis bukan karena sepedanya, tapi karena kakek yang begitu menyayangiku dan berusaha keras agar aku tidak jadi sasaran pukul anak-anak nakal lagi.

***

Aku cenderung pendiam ketika masih tinggal bersama ibu di kota, Ayah selalu bekerja dan jarang pulang, sedangkan ibu sibuk dengan teman-temannya. Beberapa kali aku mengatakan kalau ada salah seorang anak lelaki dikelasku yang suka memukul orang sembarangan, kala itu aku sudah dapatkan satu lebam dipunggung tapi tak berani mengadu karena takut. Anak itu mengancamku, berkata akan terus memukuliku kalau aku tidak menuruti kata-katanya.

Ibu cuma berpesan agar aku menjauhi anak seperti itu, ia mengatakan kalau aku harusnya belajar dan bukan mengadukan hal yang tidak penting. Kala itu aku masih ingat, ibu sama sekali tidak menatapku saat aku menceritakannya. Umurku 13 akhir, tapi orang-orang selalu berkata wajahku masih seperti bayi umur 3 tahun. Sebagian teman-teman ibuku memang mengakuinya gemas, lucu dan cantik. Tapi teman disekolah mengolokku tidak pernah dewasa, meskipun bobot tubuhku tetap sama seperti kawan sebaya.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Aug 15, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Back Again [KookV]Where stories live. Discover now