Prologue

3 1 0
                                    

Dibawah sana air mengalir tenang, hanya bergerak perlahan mengikuti arah angin yang bertiup ringan dihari yang telah kehilangan sinar terang sang mentari.

Malam tenang dengan semilir angin berhembus menjadi teman para penghuni bumi yang kesepian.

Waktu nampak pongah, jam tetap berjalan, menit terus berlalu, detik tak henti mendesak dan malam semakin larut, dingin merambat hebat menjalar ke seluruh tubuh, keheningan perlahan berubah menjadi kelam yang tertelan sunyi.

Meninggalkan pemuda bersetelan jas hitam rapih dengan dua tangkai bunga lili dalam genggaman tangan kanannya seorang diri, yang kini tengah berdiri didekat pembatas jembatan dengan arah pandang menatap lurus sungai tenang dihadapannya yang seolah ...

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Meninggalkan pemuda bersetelan jas hitam rapih dengan dua tangkai bunga lili dalam genggaman tangan kanannya seorang diri, yang kini tengah berdiri didekat pembatas jembatan dengan arah pandang menatap lurus sungai tenang dihadapannya yang seolah menatap balik dengan terus melempar tatap menggoda agar segera didekati, untuk masuk kedalam sana, untuk tenggelam bersama dalam dingin penuh kesepian.

Pemuda itu ingin, tetapi ia terlalu takut untuk menerima godaan tersebut karena pesan terakhir yang bercokol kuat dalam kepala yang dipenuhi banyak kegamangan saat ini.

Mati merupakan keinginannya namun tetap hidup walaupun bertahan itu sulit merupakan harapan orang yang dicintainya.

Serba salah, satu sisi ingin mendapatkan angan sedangkan disisi lain tak ingin mengecewakan yang mencintai atas keberhasilannya yang mana mengikuti keegoisan diri tanpa memikirkan pesan terakhir yang sungguh tak diharapkan keberadaannya dalam laci memori didalam benak diri.

Mati dalam kesepian, itulah angan yang bertolak belakang dengan angan seseorang yang tak akan pernah dijumpainya lagi.

Terhitung sudah keempat kalinya helaan nafas lelah lolos begitu saja dari mulut yang telah membiru akibat hawa kota Seoul yang menusuk sampai tulang.

Bibir beku yang telah kelu itu untuk pertama kali semenjak tubuh dibiarkan terpaku diatas jembatan beralas sungai dibawahnya itu akhirnya bergerak, lebih tepatnya berguman, mengucap keluhan yang dirasa, "Tapi berat untukku menurutinya, aku lelah, terlalu sulit, ku merasa mati angin saat ini."

Tangan kanan yang menggenggam erat bunga lili itu terulur kedepan, melewati pembatas jembatan. Sebentar membiarkan kelopaknya tertiup angin malam sampai akhirnya melepasnya untuk dibiarkan dua tangkai bunga lili putih itu terjatuh dan tenggelam kedalam air sungai yang masih terus menggoda agar dirinya pun ikut terbang bebas, menyusul bunga lili yang telah lebih dulu mendapatkan kebebasan.

Dan saat ini pemuda itu kalah, dirinya tergoda akibat angan yang telah memuncak.

Pesan terakhir sudah terbakar didalam laci memorinya, hanya menyisakan abu yang berterbangan. Dan satu-satunya yang mengisi didalam sana saat ini hanyalah bagaimana cara ia mengakhiri segala penderitaan tak berujung tanpa harus merasa sakit sedikitpun.

Dengan melompat, semuanya selesai.

Cukup sederhana, tapi kenapa dada semakin bertalu hebat terlebih itu terjadi disaat dirinya baru melewati pembatas jembatan, kedua tangannya masih menggenggam erat besi pembatas dibelakang tubuh yang telah mengeluarkan keringat dingin. Dirinya belum melakukan eksekusi tapi dada terus berpacu tak karuan.

Ada apa denganku?, kenapa seperti ini?, jelas-jelas inilah keinginanku. Tapi, kenapa aku takut?

Pemuda itu terpejam erat, dengan terus merenungi kata hati yang menyuarakan berbagai pertanyaan yang secara tak langsung menyatakan kenyataan jika dirinya takut mati.

Jadi inginnya bukan mati tapi ia ingin hidup tapi mungkin keinginan tuk hidupnya malah tersamarkan oleh rasa sesak dan penderitaan tak berujung yang terus menghiasi kehidupan didunianya yang fana.

Bodoh!

Pemuda itu tersenyum miris dan mengumpati dirinya sendiri. Bagaimana mungkin ia masih memiliki keinginan hidup disaat tak ada lagi seorang pun yang mengharapkannya terlebih ia sudah ditinggalkan, dasar aneh.

Akhirnya setelah berperang dengan dirinya sendiri pemuda itu pun berbalik, berniat kembali ke tempat awal. Namun baru satu kaki melewati besi pembatasan, pegangannya tiba-tiba melemah dan terlepas membuatnya terhuyung kebelakang.

Tubuh terasa ringan, angin terasa nyaman saat menggelitik kulit tak lagi dingin membekukan, suara bising tak terdengar dan perlahan semua miniatur penghias bumi menghilang, pandangan terasa kabur seketika sampai akhirnya kedua iris benar-benar gelap, tertutup sempurna oleh kelopak mata yang mengatup kuat.

Jadi begini rasanya mati, terasa tenang sekali dan...

"Hei tuan, apa kau bisa mendengarku?."

Tunggu!, ada suara perempuan. Bagaimana bisa?, apa mungkin itu suara bidadari. Orang bilangkan didunia yang kekal itu ada makhluk yang kecantikannya sempurna luar biasa dimana orang kebanyakan sering menyebut makhluk magis itu bidadari, katanya begitu.

Jadi apa mungkin suara merdu itu, berasal dari si bidadari. Aku ingin melihatnya, melihat seperti apa kecantikan sempurna seorang bidadari.

Tapi mataku terlalu lelah, tak ingin terbuka dengan tubuh yang benar-benar terasa lemas tak terkira.

Dan pada akhirnya semuanya lenyap, bayangan abu-abu semakin gelap dan perlahan berubah menjadi hitam pekat, suara si bidadari tak lagi terdengar dan jiwa merasa melayang jauh ke awang.

Apa aku benar-benar sudah mati sekarang?.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 12, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

EpiphanyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang