Suara bel rumah berbunyi. Itu mereka!! Sudah kutunggu tunggu dari tadi tapi baru datang!
Aku segera keluar kamar, menuruni anak tangga dan membukakan pintu.
"Kok baru datang sih" kataku sebal mempersilahkan dua tikus ompong ini masuk.
"Emang kamu? Kita sibuk kali. Dasar pengangguran!" jawab Haechan menyebalkan. Selain berisik, ujung lidahnya itu juga sangat tajam. Sekali ngomong kadang suka menyayat hati. Makanya, sebisa mungkin jangan buat masalah deh sama Haechan, karena enggak bakal bisa menang ngelawan mulutnya yang berbisa.
Seperti biasa, Mark tertawa melihat ekspresi ku. Aku hanya memutar bola mata. "Ya udah langsung ke loteng aja." Mereka berdua mengangguk, segera berjalan menuju anak tangga. Namun gerakan mereka terhenti saat melihat ayahku tengah berjalan menghampiri dua kingkong ompong ini.
"Halo pak" Haechan tersenyum
"Eh om... Ayah maksudnya" Ia menggelengkan kepala, menggigit bibir, segera mengoreksi panggilan yang ia berikan pada ayahku.Mark dan Ayah terkekeh, dari dulu Haechan memang susah kalau masalah panggil Ayahku. Bingung mau manggil apa katanya. Padahal Ayah sudah bilang kalau Mark dan Haechan boleh panggil beliau ayah juga. Mark memang nyaman panggil Ayahku dengan sebutan ayah, tapi Haechan enggak pernah nyaman.
Haechan emang enggak panggil orang tuanya ayah-bunda sepertiku, melainkan abeoji-eomeoni, setahuku itu bahasa ibunya untuk menyebut ibu dan ayah.
Haechan juga pernah bilang, dia enggak berani panggil ayah aku 'om', karena menurutnya itu aneh. Dia kayak gitu karena tahu kalau ayahku itu sebenarnya direktur dari sekolah kami. Candrakumara international school.
Pernah sekali Mark kesal banget mengingat fakta bahwa aku adalah anak seorang direktur.
Gara gara aku sampai detik ini selalu menggunakan seragam rok panjang dan lengan panjang, namun tak mengenakan hijab.
Karena seharusnya, siswi tak berhijab harus mengenakan seragam pendek, sedangkan siswi berhijab mengenakan seragam panjang.
Aku enggak ada di kedua opsi tersebut. Seharusnya aku kena hukum. Tapi sampai detik ini aku enggak pernah disidang di dewan etika sekolah (detik).
Beda banget sama Mark. Dia udah berkali kali mencicipi rasanya disidang di kantor detik gara gara lupa enggak pakai vest, enggak sengaja ngeluarin kemeja, atau enggak pakai topi pas upacara.
Balik lagi ke Haechan. Haechan sebenarnya lebih suka panggil ayahku 'pak', tapi lagi lagi, dia enggak enak, karena ayah pernah bilang, beliau ingin Mark dan Haechan panggil beliau ayah.
Mark dan Haechan menyalami ayah. Berbasa-basi sejenak sebelum aku yang tidak sabaran ini dengan tidak sopannya mendorong punggung Mark dan Haechan untuk segera menaiki tangga menuju loteng.
"Ayah ngobrolnya nanti lagi ya, ada urusan penting yang harus segera dibahas. Lotengnya Lyna pake Yah, daah" belum juga ayahku menjawab aku segera pergi meninggalkan ayahku yang tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.
Ngomong omong, lontengku ini bukan loteng biasa seperti yang ada difikiran kalian. Loteng ini adalah tempat terluar biasa yang ada dirumah ini menurutku.
Disini ayahku sengaja menjadikan loteng sebagai perpustakaan keluarga. Banyak sekali buku yang disimpan disini, sebagian besar milik ayah. Sebagian lagi milikku dan bunda.
Sejak ayah tahu Haechan jago bermain piano, beliau membeli satu piano dan meletakkannya di tengah ruangan ini. Aku enggak tahu gimana caranya piano itu tiba tiba ada di sana. Gimana naikin ke tangganya coba. Pasti capek banget kalau harus pakai tenaga manusia.
KAMU SEDANG MEMBACA
endless
FanfictionIni hanya cerita klise tentang 'persahabatan' And this is about life and death. About destiny, and a little bit sprinkles of a miracle. -endless ©Bughunter1901_2019