Part 3

144 25 2
                                        

Nara serius dengan rencananya, namun sebelum berbicara pada Fiona, terlebih dahulu dan sebaiknya ia memastikan Hansel tentang kesiapan mengenal orang baru dalam hidupnya.

"Hesa!" sapanya ketika menghampiri si cowok yang mengerjakan tugas di pelataran Fakultas Teknik.

Mahesa tersenyum dan menggeser tubuhnya agar Nara bisa duduk di sampingnya, lantas Nara mengamit lengan kiri Mahesa sambil menyandarkan kepalanya di bahu si cowok.

"Sampai kapan gue cuma liatin kebucinan kalian?" cibir Bima, teman Mahesa dan Hansel.

"Ya maaf." ujar Mahesa.

"Kenapa? Lo mau juga sama Gwen?"

Sontak Bima menyuruh Nara untuk diam, suara cewek itu cukup terdengar kencang, katakan Bima terlalu gengsi jika harus jujur kalau ia memang menyukai Gwen.

Sontak Bima menyuruh Nara untuk diam, suara cewek itu cukup terdengar kencang, katakan Bima terlalu gengsi jika harus jujur kalau ia memang menyukai Gwen

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bima

Hansel tertawa kecil, "Tolong kenalin Bima ke cewek yang namanya Gwen, teman lo kan?"

"Sumpah, jangan malu-maluin gue juga lah." sanggah Bima.

"Eh malu-maluin kenapa, Bim? Kan cuma kenalan biar gampang pendekatannya," ujar Mahesa, lalu beralih pada Nara, "Iya gak, cantiku?"

"Iya bener banget, gue bisa buat lo dapetin Gwen." kata Nara sambil menunjuk pada Bima, setelah itu jarinya bergeser tepat menunjuk Hansel, "Dan lo! Gue juga bisa buat lo dapetin Yona."

"Hah?" tentu Hansel mengernyit heran, pasalnya 'Yona' yang ada di pikirannya adalah Kaliona, tapi bagaimana Nara bisa tahu kalau Hansel sangat mengagumi sosok Kaliona, kedua temannya saja tidak mungkin tahu.

"Gue buat penawaran, lo mau atau enggak?" tanya Nara to the point.

"Lo lagi main taruhan?"

"Enggak Hansel! Jawab gue, mau atau enggak?"

Seperti sedang di sergap yang harus membuatnya menjawab dengan cepat dan tepat, Hansel masih nampak kebingungan.

"Kesempatan gak datang dua kali, jadi jawaban lo apa?" tanya Nara sekali lagi.

Tak ada pilihan lain, dan menurutnya ini adalah kesempatan bagus, tak peduli darimana Nara tahu tentang Kaliona, sekarang Hansel hanya ingin dekat dengan sosok yang sering terlintas di pikirannya.

"Oke, gue tunggu Yona datangin gue." final Hansel.

☆☆☆

Ketika Fiona pulang, pintu ruang lukis kembali terbuka dan di halaman rumahnya terdapat mobil yang sama persis seperti yang ia lihat beberapa hari yang lalu.

Sangat berkemungkinan besar bahwa sosok Hansel yang entah seperti apa wujudnya itu kembali ke tempatnya, Fiona melangkahkan kakinya menuju ruangannya, kedua tangannya membawa peralatan lukis yang baru saja dibeli.

Sampai di depan pintu yang terbuka lebar, terlihat jelas seorang laki-laki yang membelakangi pintu, kali ini hanya melihat-lihat hasil lukisan Fiona, mungkin sedang berdecak kagum di sana.

Fiona tidak tahu wajahnya, namun postur tubuh itu seperti tidak asing baginya, entah dimana Fiona melihatnya, tapi bayangan laki-laki yang ia temui di Fakultas Teknik terlintas di kepalanya tiba-tiba.

Kalau benar, salah satu keinginannya untuk bertemu kembali dengan orang itu tersampaikan.

"Siapa di sana?"

Hansel berbalik merasa suara itu tertuju padanya, kemudian ketika tatapan keduanya bertubrukan menghasilkan reaksi yang sama, terkejut karena dua kali mereka bertemu secara tidak sengaja.

Benar, laki-laki ini yang Fiona cari.

"Lo anak bisnis manajemen itu kan?" tanya Hansel sambil mencoba menerkanya.

"Iya, lo kenapa di sini?"

Hansel mendekat padanya, "Sebelumnya kenalin nama gue Hansel." Kemudian mengulurkan tangannya pada Fiona, gadis itu menyimpan barang-barangnya di meja agar tangannya bebas dan bisa menjabat tangan Hansel.

"Fiona." Dan di sambut baik olehnya.

"Oh jadi lo Fiona, Tante Alin sempat bilang ruangan ini punya Fiona, anak satu-satunya beliau, gak nyangka yang dimaksud itu ternyata lo."

"Btw, inisial H yang ditulis di bawah lukisan abstrak itu maksudnya Hansel?" kata Fiona sambil mengambil hasil lukisan Hansel yang masih terpasang di easel lalu menunjukkannya.

Hansel mengangguk, "Sorry pake alat-alat lo tanpa izin dan pake ruangan lo."

"Gak masalah."

"Nanti gue ganti kanvas dan cat-nya juga, gue kemarin lihat kanvas lo sisa dua."

"Oh gak perlu, gue suka lukisan lo, kalau lo mau bisa lukis lagi sesuka lo, barusan gue beli kanvasnya." Fiona mengambil kanvas kosong, lalu ia simpan di easel dan menarik kursi untuk di simpan di depannya.

"Serius?" Hansel tampak antusias, meskipun melukis bukan salah satu hobi atau bakatnya, namun ia senang melakukannya, menurutnya melukis bisa merepresentasikan dirinya menuangkan emosi dan ekspresi.

"Serius, gue bakal seneng kalau jajaran lukisan di ruangan ini bukan cuma ada punya gue aja."

"Tapi gue kan gak sehebat lo, dan lukisan gue apa adanya." aku Hansel.

"Gue suka kok." tekan Fiona sekali lagi, senyum Hansel tak bisa disembunyikan lagi, ia mulai mengambil tempat di depan kanvas dan nampak berpikir.

"Lo mau gak jadi objek lukisan gue?"

Fiona mengangguk dan siap berpose di depan Hansel, ia menarik kursi lalu duduk di sana.

"Fiona?" Hansel belum memulai, ia masih menyiapkan beberapa alat-alat seperti kuas, cat, dan pensil untuk menggambarkan sketsanya terlebih dulu karena ia belum bisa spontan melukis.

"Hmm?"

"Lukisan lo keren semua, gue bisa rasain emosi yang ada dalam lukisan lo."

"Thanks Hansel."

"Gue salut sama lo yang punya background bisnis tapi punya sisi lain juga, gue kira pas pertama kali ke ruangan ini, pemiliknya itu pasti anak seni."

Fiona terus mendengarkan perkataan Hansel yang sering kali diselingi pujian untuknya, membuat obrolan ringan dan memancing Fiona untuk bercerita banyak, Hansel bisa membuatnya nyaman dan Fiona mulai tertarik pada sosok laki-laki di depannya itu.

Hansel, jahat gak gue jadiin lo pelampiasan sakit hati gue dari Sergio? Enggak kan? Gue beneran tertarik sama lo.

☆☆☆

(not a) SECOND CHOICE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang