Pertemuan pertama.

114 2 1
                                    

Pagi itu, setelah hampir 3 tahun tak menatap wajahmu; aku memberanikan diri untuk kembali bercengkerama denganmu. Meski sesungguhnya aku tahu, luka yang pernah digoreskan olehmu -yang-hampir-kering-sepenuhnya- akan kembali basah dan menyakitkan. Apalah dayaku yang ternyata masih saja mengais-ngais harap yang seharusnya ku kubur bertahun-tahun yang lalu. Rasa ragu kembali menghampiri saat bertemu denganmu hanya butuh hitungan waktu, ingin rasanya aku berlari dan kembali mengurung diri. Terlambat! Pesan yang tadinya tak ingin kukirim padamu, akhirnya terbaca juga. Kamu bergegas membalas pesan itu dan mengatur waktu serta tempat untuk bertemu.
Akupun sampai pada sebuah taman. Di taman ini, aku pernah mencuri-curi pandang untuk sekadar melihat lekuk wajahmu yang entah mengapa begitu menarik seluruh perhatianku. Hari ini ada banyak kicauan burung di sini, mereka saling melempar tawa dan kembali menari-nari di udara. Sembari mendengarkan gemercik air yang ditimbulkan candaan ikan, aku menunggumu. Beberapa saat kemudian, kamupun datang; menyapaku dan tersenyum, memamerkan gigi gingsul yang menurutku cukup manis untuk lelaki berdarah Minang sepertimu. Aku membalas segala sapa dan senyum yang kamu berikan, sembari bersusah payah mengatur napas agar tak terdengar degup jantungku yang tak beraturan ini.
Suasana cukup kikuk saat itu, dan aku tahu bahwa kamu berusaha mencairkan suasana dengan ocehan-ocehan kecil dan cerita perihal kesepianmu dalam perantauan. Aku hanya bisa mendengarkanmu, sesekali merespon dengan canda. Yang tak pernah kamu sadari adalah pikiranku kalut, sedangkan kamu dengan asyiknya bercerita dan menatap mataku. Membuat degup jantungku makin tak beraturan. Ah... sial! Cerita dan ocehanmu cukup menyenangkan untuk terus kudengarkan. Satu jam, dua jam, lalu jam-jam berikutnya tak pernah jadi membosankan. Aku masih duduk di sini, mendengarkanmu yang sedari tadi tak ada habis-habisnya bercerita. Mungkin bisa kubuatkan buku dari semua ceritamu hari ini.
Kulihat senja mulai memancarkan rona kemerahan, sudah waktunya berpisah kupikir. Aku mencari celah untuk berpamitan denganmu, meski sejujurnya aku masih ingin duduk bersamamu sembari mendengar ocehan itu. Lalu disela cerita yang terpotong, akhirnya aku bisa mengakhiri pertemuan kita ini; dan meninggalkanmu dengan senyuman paling manis.
Kurasa hari ini aku berhasil, bukankah degup jantungku tak sampai pada telinganya? Ah.. aku tak ingin dia tahu apa yang aku rasakan hari ini, biar saja jadi rahasia aku dan hatiku. Pada akhirnya kamu tak pernah tahu bahwa hari ini adalah hari yang selalu aku nantikan, pertemuan pertama kita (setelah 3 tahun lamanya tak jumpa).

Singgahmu tak sungguh.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang