Pukul 03.03 WIB.
Fajar sebentar lagi menjemput. Bukan!!!
Bukan Fajar anaknya mang Ucup. Tapi fajar yang pagi-pagi itu loh kalo matahari mau terbit.Kok gaje ya? Ini yang nulis masih waras kan? (es kepal mau?)
Saga masih di balkon bersama gelap yang perlahan didorong semburat putih dari seberang. Sekarang yang ada hanya Hening. Embun pagi sangat menenangkan dan memberikan energi positif untuk diri Saga yang masih terduduk di balkon.
Sudah semalaman ia berada di sana, karena seperti biasa. Ia tak bisa tidur. Insomnia kembali memeluknya erat. Bahkan enggan meninggalkan Saga.
Udara sedikit dingin, membuat Saga terus menggosokkan kedua tangannya. Meskipun demikian, tak ada niatan sedikitpun bagi Saga untuk masuk ke dalam.
Bagi Saga kata 'sendiri', tak selalu merujuk pada kesedihan, kesengsaraan, kejomloan, dan kesunyian. Tetapi bukan juga kata yang memiliki makna menyenangkan, membebaskan, dan arti lainnya yang selalu tentang kebahagiaan.
Sendiri, bagi Saga untuk mencari ketenangan. Meskipun sampai sekarang tak kunjung pula ia dapatkan.
Hidup serumit itu. Oh ayolah, bohong besar jika mereka bilang hidup itu sederhana. Bukannya sok bijak, tapi memang itu yang Saga rasa.
Dan pilihan Saga setelah ke-sendiri-annya adalah memendam semua masalah hanya untuknya. Baginya, biarlah hanya ia yang terluka. Jangan orang disekitarnya.
Dan tidak adilnya, hampir semua orang disekitarnya tak mengerti itu. Melihat Saga dengan sudut pandang negatif. Apa itu masih salahnya?
Drtt.. Drtt.. Drttt... Suara itu memecah keheningan.
Getaran di ponselnya yang kini berada di meja kecil mengalihkan pikiran-pikiran yang bernaung di otaknya.
Ah! Sepertinya ada panggilan masuk. Karena getaran di ponselnya itu berlangsung lama. Padahal Saga sedang tak minat berbicara dengan siapapun. Ia abaikan saja ponselnya.
Siapa peduli?
Siapa juga yang akan menelfonnya sepagi ini. Ah! Bahkan ini masih terhitung dini hari.
Hampir lima menit ponselnya masih bergetar. Karena bunyi itu sangat berisik akhirnya Saga beranjak mengambil ponselnya yang sudah terasa dingin.
Tak ada nama.
Karena sedikit kesal Saga langsung menggeser slide answernya. Ia tempelkan ponsel tipis itu di telinga kirinya.
"Hallo," sahut orang di seberang sana.
Satu kata itu mampu memporak porandakan dunia Saga. Ia membatu diantara dinginnya angin pagi. Tak berkutik barang sedetik.
"Hallo, Sagara?" terdengar helaan nafas dari penelpon yang entahlah malah makin membuat Saga terdiam.
"Ini papa," kalimat itu makin membuat Saga hilang akal. Tubuhnya bergetar tanpa sebab, jantungnya memburu ingin meledak, apa orang ini baru saja menanam bom pada jantungnya?, "bisa kita bertemu?"
Saga tak tahu harus bagaimana. Bibirnya kelu, darahnya membeku, bahkan jantungnya terus berderu membuat nyeri makin merambati. Akhhhh!!!! Ia tak ingin mendengar suara ini. Ia benci orang ini. Sekarang ia.... ia bahkan tak bisa menggerakkan tubuhnya sedikitpun. Ia mati rasa.
Terdengar tawa miris dari orang ini, "terima kasih sudah bertahan. Papa tahu kamu sudah menderita selama ini. Maafkan papa, maafkanlah saya, nak. Bisakah kita bertemu?"
Saga masih enggan mendengar orang ini terus berbicara. Tapi, ia tak mampu memutus sambungan telepon ini. Bernafas saja rasanya susah sekali. Ada apa dengan Saga?
KAMU SEDANG MEMBACA
you call me, MONSTER! ☑
General FictionGue mati rasa. Tapi gue juga berhak punya rasa. Ada rasa sendu penuh harap akan bertemu di penghujung waktu? Berharap titik temu yang selama ini semu. Apa itu rindu? -Saga [bahasa semibaku, semi nonbaku] [storyby sucirahma303, dont copy paste, cause...