[1] Bertemu (lagi) dewa tampan

115K 3.5K 47
                                    


"Sial. Benar-benar sial hari ini!" Gerutuku seraya menyambar dompet yang tergeletak di sebelah piring makanku.

Aku melirik jam di pergelangan tangan. Pak Aidan hanya memberiku waktu 30 menit untuk makan siang. Dan sekarang sudah pukul 13.20, artinya waktu istirahatku tinggal 10 menit lagi.

Tak kupedulikan perut kembung yang mendadak mendera, akibat dari makan terburu-buru dan tak sempat aku kunyah dengan baik. Masih mending atasanku memberi waktu, kalau tidak mungkin aku sudah mati kelaparan di mejaku. Apalagi sejak bokongku mendarat di kursi kantor, perutku belum tersentuh makanan sama sekali.

Semua gara-gara supplier ini! Entah sudah ke berapa kali aku kerepotan gara-gara Hitech Manufacturing. Biarpun konon pabrik mereka sangat besar, tapi profesionalitasnya nol besar. Ada-ada saja kesalahan mereka. Komponen telat kirim sudah sering terjadi, beberapa kali salah spesifikasi, komponen cacat apalagi, dan kejadian hari ini lebih gila lagi. Komponen mereka tercampur.

Efeknya, tadi pagi aku sudah sarapan dampratan dari Departemen Engineering.

"Gimana sih, An. Ini bukan pengiriman komponen pertama mereka. Kok bisa-bisanya tercampur sama komponen yang jelas-jelas over spec 0.2 mili kayak gini?! Pokoknya kita minta mereka sortir komponen sekarang juga!" ujar Pak Ezra, Senior Manajer Departemen Engineering, dengan nada kesal.

Ya ampun. Jangan komplain ke aku...

"Elu bisa kerja nggak sih? Jangan cari supplier abal-abal dong! Bikin susah aja. Kita sampai stop satu line, sudah tak bisa change produksi lagi!" Gantian Pak Mahendro yang menghubungiku.

"Pak, bukan saya yang menentukan kita harus pakai supplier yang mana. Itu keputusan perusahaan, Pak," jawabku mencoba melapangkan kesabaran menghadapi semprotan Manajer Departemen Produksi tersebut.

"Elu bisa usul, kan? Hitech itu performance-nya kayak apa? Memang situ mau kerja diomelin orang sana-sini mulu?! Nggak mau, kan? Makanya ganti dong!" balas Pak Mahendro kian tajam.

Aku juga nggak mau! Sungutku kesal.

Tetapi, apa dayaku? Aku cuma seorang staf Departemen Procurement. Sekelas Pak Aidan, atasanku, saja tidak berkutik menghadapi supplier ini.


-oOo-


Aku mempercepat ayunan kakiku, melintas cepat lobi depan gedung perkantoranku menuju ke area lift. Untuk mempersingkat waktu, siang ini aku terpaksa makan di food court yang ada di basement. Bukan tempat jajan favoritku, karena harganya jauh lebih mahal.

Sialan. Aku jadi harus merogoh kocek lebih dalam lagi.

"Annora?"

Sekilas aku mendengar namaku bergaung di tengah udara di seputarku. Aku menggeleng pelan.

Ah, paling kupingku saja yang salah dengar.

"Annora! Kamu Annora, kan?" Lagi-lagi suara itu. Kali ini terdengar lebih jelas.

Aku membatalkan langkah, lantas memutar tubuh mencari asal suara, dan seketika mengernyitkan dahiku.

My God. Pria ini tidak salah orang, kan?

Seorang pria tengah berdiri dan tersenyum padaku. Penampilannya sangat menarik dengan setelan jas abu-abu yang membalut tubuhnya. Mereka seolah bersinergi memancarkan maskulinitas dari tubuh ramping dan kokoh yang ada di dalamnya.

Wajahnya yang dibingkai oleh rahang tegas dan bibir melengkung senyum sexy seketika mengingatkanku pada wajah-wajah model sampul depan majalah pria dewasa yang sering dibawa Cory, teman kerjaku.

Aku menelan ludah saat ia membawa tubuh tegapnya berjalan penuh percaya diri ke arahku.

"Kamu Annora, kan?" Ia berdiri tepat di depanku. Suaranya berat. Usianya kutaksir hanya beberapa tahun di atasku. Aku memberikan tatapan asing padanya.

Siapa pria ini? Memoriku mencoba menyortir wajah-wajah dari sedikit temanku laki-laki di masa lalu untuk mendapatkan kemiripan dengan wajah di depanku sekarang. Namun, aku tetap kesulitan menemukan gambaran yang cocok.

Di mana pria ini mengenalku? Aku yakin dia pasti sudah salah orang.

"Ehem, maaf. Mungkin anda salah orang," jawabku formal. Demi sopan santun, aku mengangguk dan bersiap memutar tumit untuk meninggalkannya.

Rupanya pria ini tidak mau menyerah begitu saja.

"Tidak. Aku tidak salah. Kamu Annora, putri Bapak Parviz. Wajahmu tidak berubah, hanya terlihat lebih matang sekarang." Ia memiringkan kepala, sudut bibirnya melengkung hangat. "Aku sering datang ke gedung ini, tapi mengapa aku tak pernah melihatmu?"

Aku mengernyit. Oh, dia mengenal almarhum ayah?

"Ya. Saya Annora, yang itu. Maaf. saya tak ingat______?"

"Aku Ethan. Kita pernah bertemu beberapa tahun silam, di rumahmu. Mungkin sekitar 6 tahun yang lalu. Saat itu aku masih kuliah." Dengan wajah gembira, ia mengulurkan tangan ke arahku. Aku terpaksa menyambut uluran tangannya, walau hatiku bertanya-tanya.

Ethan? Ethan?

Otakku makin menggali lebih dalam.

Perlahan gulungan kabut masa lalu mulai tertiup angin. Potongan ingatan dari wajah pria di depanku mulai tersibak sedikit demi sedikit.

Ya. Ya. Aku ingat sekarang. Peristiwa 6 tahun yang lalu. Pria ini dan seorang lagi temannya, malam itu datang menemui ayah di rumah. Dua orang mahasiswa sombong.

Sikapku berubah dingin padanya. Aku menarik tanganku buru-buru dari genggamannya yang hangat.

"Kamu sekarang bekerja di mana?" Bola matanya menatapku hangat, walau terang-terangan aku memberikan wajah datarku.

"OEM di lantai 9," jawabku singkat, sedikit enggan malah. Dulu dia adalah mahasiswa angkuh dan menyebalkan, mengapa bermetamorfosa menjadi hangat begini?

"Oh. Aku tahu. Omega Electronics Manufacturing? Farrel Zaki?" Ethan sama sekali tak melepaskan senyumnya. Tidak ada kesan sombong di sana, meski ia mengenal dengan baik CEO di tempatku bekerja.

"Ya," jawabku makin singkat. Aku pura-pura menengok jam di pergelangan tanganku, sekedar kode kalau aku tak punya waktu lagi untuk meladeni dirinya. "Maaf. Aku terburu-buru. Senang bertemu denganmu lagi, --- Ethan."

Aku memutar tumitku. Pertemuan tak sengaja ini pasti sudah menghabiskan waktuku lebih dari 5 menit.

"Tunggu. Tunggu, Annora." Ethan menggeser badannya untuk menghalangi langkahku. Aku memandang tak suka padanya. "Kapan kita bisa bertemu lagi? Mengobrol lebih lama. Informasi saja, aku sering datang ke gedung ini."

Aku menggeleng.

"Aku tak tahu. Maaf, aku benar-benar harus pergi. Selamat tinggal." Sebelum Ethan berhasil menahanku tinggal lebih lama, aku sudah berjalan cepat meninggalkannya. Berbarengan dengan beberapa orang, aku menenggelamkan tubuhku ke dalam lift. Sekilas saja, ekor mataku sempat melihat Ethan masih berdiri di tempatnya.

Aku baru menyadari kalau tadi aku tidak bertanya di mana persisnya dia bekerja.

Ck. Aku berharap tidak akan bertemu dengan manusiapaling tidak ingin aku jumpai lagi.

[END] Conditional LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang