Prolog

3 0 0
                                    


Hari yang cukup berangin untuk ukuran musim semi yang hampir bertukar peran, dalam balutan setelan jas hitam Kent Anderson menapaki jalanan berbatu yang mengantarnya pada tempat peristirahatan terakhir kakeknya. Seorang penulis jenius yang namanya memudar karena aib kebobrokan logika akibat salah satu karya miliknya, yang hingga saat ini tidak seorangpun ketahui letak maut berbalut aksara itu berada.

"Kakek orang yang hebat," ujar seorang lelaki berumur delapan belas tahun, empat tahun lebih tua darinya. Sepasang matanya yang sembab ia tutupi dengan kacamata hitam, meski sayang jejak-jejak air mata masih dapat terlihat dengan jelas di sepasang pipinya yang berwarna kemerahan akibat terpapar cahaya matahari.

Kent mengangguk singkat, sejak lahir ia memang dikenal sebagai keturunan murni keluarga Nelson, jenius yang setiap generasi selalu membawa karya baru sekaligus pemandu perubahan. Namun itu sebelum nama belakang mereka berubah menjadi Anderson karena ayah, satu-satunya orang paling keras di semesta yang ia kenal bersikukuh untuk menganggap nama tersebut sebagai aib, sebuah luka!

Sejak kecil Kent tidak pernah menunjukkan sisi emosionalnya kepada orang lain, ia mampu bersikap bijaksana dan menyimpan segala hal rapat-rapat sebagai ruang pribadi yang tidak dapat ditembus orang banyak selain dirinya. Bahkan logika sering kesulitan untuk menyentuh tempat itu.

Ibu adalah satu-satunya orang yang masih menangisi kepergian kakek hingga detik ini, tapi entah mengapa Kent merasa ia berduka untuk hal lain. Hal asing yang tak ia ketahui namanya, asalnya, tempatnya namun dapat dengan jelas ia rasakan.

Sialnya di hari yang cerah itu hujan tidak turun, Kent akan kesusahan mencari celah untuk melarikan diri. Menyembunyikan tangisnya yang sebentar lagi menuntut untuk diberi waktu. "Aku ingin pulang, ayah."

"Tunggu di mobil, sebentar lagi ayah akan datang." Kent tau bahwa ayahnya sama-sama tau, ketika ia meminta hal paling sederhana artinya ada rasa yang meminta lebih dan seperti biasa tanpa bantahan, dengan patuh ia menurut. Undur dari tempat itu secara perlahan meninggalkan luka yang entah sampai kapan akan disembuhkan waktu.

Ia sangat menyayangi kakek, bahkan meski semua orang menganggapnya sakit. Dan meski tidak ada yang tau, sebelum pergi kakeknya sempat membicarakan sesuatu mengenai karya yang menuntut untuk selalu dibaca.

"...., bukan kita. Semesta yang memilih, jika pilihan itu telah jatuh kita hanya memiliki dua pilihan. Menjalani atau merekonstruksi pilihan itu menjadi kehendak kita...,"

Kent mengingat kalimat itu ketika akhirnya setitik air mulai jatuh ke bumi, bukan gerimis tetapi tangisnya.

***

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 21, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ReverseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang