02

18.8K 2K 43
                                    

Jung Sonhee

Aku berdecak saat melihat kamarku berantakan. Pintu lemari terbuka lebar dengan isi-isinya yang berceceran di atas lantai. Tidak ada yang terlipat, semua baju beserta dalaman dan celana-celanaku sudah bertebaran di mana-mana.

Jangan tanya ini ulah siapa. Tentu saja laki-laki yang sedang bersenandung di bawah shower di dalam kamar mandiku. Merasa tak bersalah, ia malah semakin mengencangkan volume suaranya. Tak memedulikan aku di sini yang mengumpatinya dalam hati.

“Jungkook, keluar sekarang!”

Aku menggedor pintu kamar mandi—berusaha menggoda Jungkook agar dia cepat keluar. Tapi berikutnya aku mendengus saat laki-laki sialan itu malah menyuruhku untuk diam saja. Seharusnya ‘kan aku yang menyuruhnya diam.

Kujauhkan tubuhku dari pintu kamar mandi. Aku memutuskan untuk menunggu Jungkook sambil duduk di bibir ranjang, kemudian mengajaknya untuk bersama membersihkan kamarku yang serius tidak enak dilihat.

Lima belas menit. Jungkook sudah menghabiskan terlalu banyak waktunya hanya untuk bergulat dengan air. Ia pikir, ini rumah siapa, sih? Dulu aku sering bermain di rumahnya, tapi ia tak pernah mandi selama ini. Aku tidak bilang dia tertidur di kamar mandiku. Karena nyatanya, ia masih senantiasa bernyanyi tak jelas. Bahkan aku tidak tahu lagu apa dan siapa yang ia nyanyikan.

Tepat saat aku hendak berdiri untuk menggedor pintu kamar mandi,  lagi. Jungkook dengan percaya dirinya keluar dari kamar mandi. Tubuh bagian atasnya topless, sedang bagian bawahnya ia lilit dengan handuk putih dari pinggul sampai di atas lutut.

Aku memutar bola mata malas, “Kebiasaanmu tidak berubah setelah lama tidak bertemu. Aku jadi ingin muntah.” Jungkook tak bereaksi. Laki-laki itu lalu berjalan hati-hati melewati pakaian-pakaian milikku yang ia buang. “Bersihkan kamarku setelah kau mengganti bajumu, ya.” Aku bersuara pelan.

Diam-diam aku berjalan melewati punggungnya untuk keluar kamar. Namun tepat saat kaki kiriku sudah keluar melewati pintu, Jungkook membuatku semakin kesal karena melempar sesuatu hingga mengenai kepalaku. “Kau ‘kan kekasihku, Bodoh. Seharusnya kau yang membersihkan ini.”

Aku geram. Kuraih kain yang membungkus kepalaku lalu berbalil le arahnya. Sampai akhirnya aku tersadar kalau yang mengenaik kepalaku adalah handuk. Reflek aku berbalik lagi. “Ya! Pakai celanamu, Sialan!” aku memekik.

Jungkook itu gila. Kadar kewarasannya sudah tak terlihat lagi. Dulu dia sering mengatakan kalau dia termasuk laki-laki idaman semua gadis. Tubuh atletis dan wajah rupawannya tak ada yang menandingi. Tapi aku baru sadar setelah dua bulan kami resmi berpacaran. Tidak ada yang normal pada dirinya, semua hanya membuatku kesal. Namun aku selalu hangat saat bersamanya. Seolah melupakan bagaimana ayah dan ibu saat bertengkar.

Jungkook tak pernah menolak saat aku meminta. Yah, walaupun terkadang harus ada persyaratan seperti mencium pipi atau memeluk terlebih dahulu. Setidaknya ia tak meminta perawanku untuk menjadi jaminannya, ‘kan?

“Sayang, kau melamun.”

Aku tersentak. Jungkook sudah berada di depanku dengan kaos kebesaran miliknya yang sengaja ia bawa dari rumah. Aku tersenyum sejenak sebelum berbalik untuk melihat keadaan kamarku. Sudah bersih.

“Kau membersihkannya sendiri, Jeon?” Jungkook mengangguk. Secepat itu dia membersihkan kamarku yang sudah seperti kapal pecah.

Jungkook mengernyit dalam, “Aku laki-laki idaman, bukan?” pertanyaannya membuatku tersenyum kecut.

Kemudian aku mencubit perutnya. “Rasanya aku mau memuntahkan semua organ dalam di tubuhku.”

Jungkook tertawa setelahnya. Ia menarik rambut bawahku berulang kali; kebiasaannya saat aku sedang marah atau sekadar menggoda. Saat menuruni tangga pun, ia masih saja menggangguku. Mengatakan kalau aku akan bertambah jelek jika memberengut seperti ini. Jadi aku jelek, ya?

“Duduk dan makanlah makan malammu.” Aku mendorong dadanya, sedikit memiringkan kepala karena Jungkook masih memegangi rambutku. “Lepas, tidak?!”

Jungkook tahu kalau aku akan semakin kesal jika ia menarik rambutku. Tapi ia senang, gila, ‘kan? Lagi pula, siapa yang senang pacarnya kesal. Ya, baru Jungkook.

“Tidak mau.” Ia mengekoriku dari belakang saat aku berjalan ke dapur untuk membereskannya. Tapi tangannya masih saja menarik rambutku meski semakin pelan, namun membuatku jadi tambah pusing.

Sesampainya di dapur, aku sengaja menghentikan langkah. Membuat dadanya menabrak punggungku. Bukannya menjauh, Jungkook malah memelukku dari belakang. Ia berbisik, membuatku meremang. “Sayang, aku mencintaimu.”

Aku tahu, Jungkook. Tapi perlakuanmu terkadang membuatku ingin memukulmu habis-habisan.

Aku, sih, ingin menjawab begitu. Tetapi mengingat Jungkook itu mudah sekali merajuk, jadi aku mengusap lengan yang melilit perutku. “Aku tahu, kok. Jadi ... menjauh dariku dulu, ya. Aku harus membereskan ini semua.” Aku menunjuk beberapa panci yang kotor karena habis memasak makan malamku dan Jungkook.

Aku menyesali ucapanku barusan. Jungkook malah semakin mengeratkan pelukannya. Meletakkan dagunya di atas pundakku sambil bertanya, “Kalau Tuhan benar-benar menjauhkan kita, memangnya kau senang?”

Aku tak mengerti, sebenarnya apa sih yang ada di otak Jungkook. Kuputuskan untuk melepas lengan Jungkook, membalik tubuhku lalu menangkup pipinya. Aku sempat mencuri kecupan di bibirnya.

“Kau senang atau tidak?”

Jungkook menggeleng, “Aku marah jika Tuhan benar-benar menjauhkan kita.”

“Kalau begitu, aku juga akan marah jika Tuhan berniat menjauhkan kita.”

Jungkook cepat-cepat menarik tengkukku. Membawa bibirku untuk dilumatnya secara lembut. Menyapa gigi-gigiku dan berhasil menggelitik langit. Cumbuannya semakin dalam, menciptakan lenguhan yang beberapa kali keluar dari mulutku.

Tangan besarnya menelusup masuk ke dalam kaosku. Mengusap punggungku dan memberikan pijatan di sana. Dan saat tangannya berhasil menemukan pengait braku, pintu rumah terbuka lebar. Menampilkan dua sosok orang yang tidak ingin aku temui hari ini.

“Halo, Sayang ... Ibu merindukanmu.” Ibu buru-buru menghampiriku—meninggalkan ayah yang masih berdiri di ambang pintu bersama koper di sampingnya.

Aku hanya diam saat ibu mendekapku begitu erat. Sangat erat. Kurasa ibu betul-betul merindukanku. Mungkin, karena terlalu sering bekerja, membuat waktunya terbuang hanya untuk mengucapkan selamat malam padaku.

———

Apa yang kalian pikirkan untuk part ini?
Baru kali ini pake sudut pandang orang pertama, suka ga?

-25 November 2018
ymowrite

JEON JUNGKOOK ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang